Mohon tunggu...
Josephine Joy
Josephine Joy Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran

our so-called modern education system sucks. opinions are cheap. hard work is overrated. luckily, I read.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Filsafat Estetika yang Terlupakan

6 Mei 2020   17:45 Diperbarui: 8 Juni 2021   21:08 6299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mengetahui filsafat estetika yang terlupakan (unsplash/eberhard-grossgasteiger)

Estetika merupakan salah satu kajian filsafat yang tertua. Sederhananya, Estetika membahas bagaimana keindahan dapat terbentuk, bagaimana seseorang mampu merasakannya, serta memberikan penilaian. 

Estetika tidak terlepas dari sentimen dan rasa, tentu saja salah satu alasannya karena yang dipelajari adalah nilai sensoris, bukan logis. 

Para filsuf dengan begitu telah menyumbangkan begitu banyak pemikiran tentang estetika atau keindahan, entah mereka berusaha untuk memberikan postulat-postulat baru atau sekadar tercermin dari karya-karya yang mereka hasilkan.

Persoalan keindahan selalu membuat estetika terikat dengan dua pilihan penilaian yang kontradiksi yakni indah (beauty) atau tidak indah (ugly). 

Beauty seringkali dianggap bermakna telah memenuhi standar keindahan yang diakui oleh banyak orang, sedangkan ugly seringkali dianggap bernilai buruk dan sama sekali tidak memenuhi standar keindahan banyak orang. 

Ketidakleluasaan ini tentu saja merupakan akibat dari refleksi kritis yang dirasakan oleh indera sebagai sensor manusia ketika menilai sebuah keindahan atau karya seni

Tak ada rumusan-rumusan tertentu, hanya mengikuti perkembangan penerimaan manusia terhadap ide-ide yang ditawarkan oleh sang pembuat karya.

Baca juga : Dialog Hippias Pencarian Arti Estetika

Sebelum istilah estetika diperkenalkan oleh Baumgarten, para filsuf Yunani Kuno seperti Plato, Socrates, Aristoteles, Plotinus, dan SA Agustinus sesungguhnya telah membicarakan seni dalam kaitannya dengan filsafat yang mereka sebut dengan keindahan. 

Seni dan keindahan. Inilah mengapa kemudian muncul istilah filsafat keindahan. Seni (art) atau techne (dalam bahasa Yunani Kuno) aslinya berarti teknik, pertukangan, keterampilan. 

Dalam perkembangannya kemudian tumbuh pengetahuan yang disebut “seni terapan” (applied arts) dan “seni halus” (fine arts). Seni terapan memiliki kegunaan langsung untuk kehidupan sehari-hari. 

Kemajuan-kemajuan peradaban kuno biasanya dinilai dari kecanggihan seni terapannya, misalnya peradaban mesir kuno yang 3000 tahun lalu sebelum masehi telah mampu membuat irigasi dan meramal timbulnya gerhana. 

Demikian perkembangan seni terapan yang tinggi juga dihasilkan oleh peradaban Cina dan India. 

Sementara di Indonesia sendiri dibuktikan dengan puncak Kerajaan Majapahit dan Sriwijaya dimana terdapat kegiatan pelayaran mengarungi samudera yang tentu menuntut pembuatan kapal dan teknologi navigasi yang tinggi pada masanya. 

Baca juga : Aksiologi sebagai Filsafat Etika dan Estetika

Tidak hanya soal navigasi, nenek moyang bangsa kita juga memiliki mutu arsitektur tinggi dibuktikan dengan adanya candi-candi yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Hasil-hasil seni terapan inilah yang kemudian digolongkan ke dalam artefak atau benda buatan manusia sehingga menjadi topik pembicaraan mengenai estetika. 

Kemudian, artefak dapat dibedakan ke dalam tiga golongan yaitu benda-benda yang berguna tetapi tidak indah, berguna dan indah, dan indah tetapi tidak ada kegunaan praktisnya.

Filsafat Estetika yang Terlupakan (pinterest(
Filsafat Estetika yang Terlupakan (pinterest(
Keindahan atau Estetika, disamping merupakan cabang filsafat, juga memiliki pendekatan dari aspek ilmiah yakni yang pertama menunjukan identitas objek artistik dan kedua menunjukan objek keindahan. Di sisi lain, terdapat dua teori tentang keindahan yaitu keindahan objektif dan subjektif. 

Keindahan objektif menempatkan keindahan pada benda yang dilihat. Yang menjadi persoalan dalam teori ini adalah ciri-ciri khusus manakah yang membuat sesuatu benda menjadi indah atau dianggap bernilai estetis. 

Namun begitu, hal ini didukung oleh Sortais yang menyatakan bahwa keindahan ditentukan oleh keadaan sebagai sifat obyektif dari bentuk (l’esthetique est la science du beau). 

Di sisi lain, keindahan subjektif terdapat pada mata yang memandangnya. Subjek membuat jarak kejiwaan antara dirinya dengan benda yang sedang diamati, melepaskan latar belakang pengetahuan subjek terhadap objek tersebut. 

Subjek harus meniadakan kepentingan apapun yang dapat mempengaruhi penilaian yang sedang dinikmati. Maka dapat kita simpulkan bahwa persoalan indah atau tidak indah itu memiliki sifat subyektif. 

Baca juga : Memahami Logika, Etika, Estetika dalam Kehidupan

Pernyataan ini didukung oleh Lipps yang menyatakan die kunst ist die geflissenliche hervorbringung des schones atau keindahan ditentukan oleh keadaan perasaan subjektif alias pertimbangan selera.

Apakah sesungguhnya keindahan itu? Tentu jawabannya beranekaragam. Keindahan pada dasarnya adalah hasil campuran dari:

  • Kesatuan (unity)
  • Keselarasan (harmony)
  • Kesetangkupan (symmetry)
  • Keseimbangan (balance)
  • Perlawanan (contrast)

Tersusun dari berbagai keselarasan dan perlawanan garis, warna, bentuk, nada, dan kata-kata. Estetika kemudian memiliki tiga teori tunggal yakni teori tentang kebenaran (epistemologi), teori tentang kebaikan dan keburukan (etika), teori tentang keindahan (estetika). 

Disisi lain estetika juga berhubungan dengan teori mengenai seni. Seni yang melukiskan bahasa perasaan dapat dilihat melalui misalnya gerak-gerik tubuh yang elok, alunan nada-nada yang bagus dan lain-lain. 

Dengan demikian dapat disebut bahwa estetika merupakan suatu teori yang meliputi penyelidikan mengenai yang indah dan juga penyelidikan mengenai prinsip-prinsip yang mendasari seni pengalaman yang berhubungan dengan seni, penciptaan seni, penilaian terhadap seni, atau perenungan atas seni. 

Nilai estetika lebih cenderung pada nilai suatu keindahan seni. Namun, seni dapat dianggap mengandung nilai suatu keindahan apabila diceritakan dengan seni yang mengungkapkan perasaan dan intuisi, seni yang mengobjektivasi keindahan rasa nikmat, keindahan sebagai tangkapan Sang Ilahi, seni sebagai ekspresi pengalaman.

Terdapat beberapa cara untuk menikmati sebuah keindahan atau yang disebut dengan Pleasures of aesthetic, yakni:

  1. Subjective-relativity Level: Selera pribadi ini merujuk pada bahwa sesuatu yang indah itu sangat relatif alias hanya sesuai selera pribadi saja. Keindahan itu relatif dan hanya disesuaikan dengan selera pribadi saja. “Oh ya, ini indah!” tidak mempedulikan apa tanggapan dari subjek lain terhadap objek tersebut.
  2. Cultural-relativity Level: Culture bounding/ background merujuk pada menentukan keindahan itu dipengaruhi oleh latar belakang budaya si penikmat. Bahwa latar belakang budaya si penikmat mempengaruhi dalam menentukan indah atau tidaknya sesuatu, misalnya: Penulis sebagai orang sunda tentu sangat kental dengan budaya sunda. Hal ini akan berbeda dengan seseorang yang berasal dari budaya luar sunda (misalnya) saat menikmati tontonan tarian tradisional sunda. Begitupun sebaliknya Penulis belum tentu dengan mudah mampu mengatakan bahwa tari bambu gila dari Maluku indah.
  3. Biological-relativity Level: Cara ini berarti mengapresiasi setelah menikmati objek. Penilaian estetik muncul setelah kita menikmati objek tersebut. Penilaian estetik muncul ketika kita sudah menikmati terlebih dahulu objek tersebut.
  4. Absolut Level: Sesuai namanya, cara mengapresiasi ini menganggap keindahan tanpa perlu untuk menghayati keindahan tersebut begitu dalam. Seolah terjadi kesepakatan bersama bahwa objek tersebut betul-betul indah alias absolut indahnya. Tidak perlu mendalami objek tersebut maka kita sudah bisa mengatakan itu indah.

Penting kemudian kita kembali mengingat pernyataan seniman Mochtar Lubis yang mengemukakan bahwa persamaan dan perbedaan ilmu seni patut diketahui dengan saksama dalam rangka meningkatkan sikap ilmiah kita bangsa Indonesia dan mengingat sikap kita yang seringkali masih berorientasi hanya pada sikap nilai estetis saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun