"Pasti aku yang menang!" seru Kuthuk, si anak ayam. "Nggak mungkin! Aku yang akan menang!" balas Cici.
Kuthuk dan Cici adalah teman sekolah, namun sering bertengkar. Ada saja yang mereka ributkan. Padahal mereka berada dalam satu kelas yang sama. Bu Pipit, guru mereka sampai menegur berulang kali agar bisa rukun.
"Ayo, salaman sama Cici, Kuthuk," bujuk Bu Pipit. Dengan wajah cemberut dan terpaksa, Kuthuk dan Cici bersalaman.
Ternyata, permasalahan mereka berlanjut. Sepulang sekolah, saat berada dalam perjalanan, mereka berdua masih melanjutkan pertengkaran.
"Oke, sekarang kita lomba lari. Siapa yang paling cepat sampai rumah, dia yang menang!" tantang Kuthuk. "Siapa takut?" sahut Cici.
Baik Kuthuk maupun Cici mengambil ancang-ancang. Mereka berdua menghitung satu, dua, tiga untuk memulai lomba lari. Setelah hitungan ketiga, mereka berlari secepat mungkin. Akan tetapi, tetap saja kecepatan mereka seimbang.
Kuthuk sebal dengan keadaan itu. Begitu juga dengan Cici. Di tengah-tengah berlarian, mereka terus bertengkar. Tanpa terasa, mereka salah jalan pulang karenanya.
Mereka berlari semakin jauh dan sampai di tempat yang asing. Di tempat itu, mereka menjumpai banyak manusia yang sedang membawa cangkul, ada yang bersepeda. Suasananya sejuk dan nyaman. Banyak pohon rindang dan rumah joglo di sana. Hingga mereka berdua beristirahat di salah satu joglo.
"Wati, kalau sudah selesai nyapu, kamu ajak Budi untuk memasukkan ayam ke kandang!" Kuthuk dan Cici mendengar suara seorang perempuan. Suaranya lembut sekali. Mereka pun jadi ingat kepada ibu yang pasti menunggunya di rumah.
"Ya, Bu." Suara anak perempuan menjawab suara ibu-ibu tadi. Lalu terlihatlah seorang anak perempuan yang meletakkan sapu di salah satu sudut rumah.