Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Nomine Best in Fiction Kompasiana Awards 2024 Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gara-gara Tidur Kemalaman

2 September 2025   19:12 Diperbarui: 2 September 2025   19:12 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi diolah dengan bing.com

Hoooaaaam

Izul menguap lebar sembari tangan kanannya mengucek mata yang masih pedih. Dengan susah payah dia membuka mata. Sinar matahari yang muncul dari balik jendela membuat silau.

Sementara dari luar kamar, suara ibunya masih terdengar memanggil namanya. "Zul, lekas bangun! Biar nggak telat sampai sekolah."

"Ahhh, iya... ya, Bu. Sebentar!" jawab Izul sambil menggeser tubuhnya ke pinggir ranjang. "Jangan lupa shalat Subuh, ya!" lanjut Ibu. "Iya... Iya!" Izul menggerutu karena pagi-pagi sudah banyak nasihat yang didengarnya.

Beberapa saat dia masih telentang di pinggir ranjang. Setelah itu barulah dia duduk. Mata yang perih dan terbuka sedikit menangkap benda berbentuk lingkaran di dinding, jam dinding. Jarum panjang menunjukkan angka enam. Jarum pendek menunjukkan di antara angka lima dan enam.

"Haaaah... Aku kesiangan!" seru Izul.Buru-buru dia bangkit dari ranjang dan bergegas ke kamar mandi. Handuk yang tersampir di kursi, diambilnya dengan cepat.

**

Lima menit kemudian, Izul keluar dari kamar mandi. Dia menuju gantungan pakaian di dinding yang berdekatan dengan pintu kamar.

Hari ini Selasa, waktunya mengenakan seragam khusus, kotak-kotak warna hijau. Dia menggantungkan pakaian seragam khusus itu pada gantungan pakaian seminggu yang lalu. Namun, betapa terkejutnya dia karena tak menemukan seragamnya.

"Ibu, di mana seragamku?" tanya Izul dengan suara tinggi. Meski begitu, tak ada jawaban dari ibu. Izul pun keluar kamar, dan mencari-cari ibunya.

"Di mana seragamku, Bu?" Izul kembali menanyakan perihal seragam yang harus dikenakannya hari ini.

"Seragam apa, Zul?" tanya Ibu.

"Seragam khusus dong, Bu! Yang hijau kotak-kotak itu!" ucap Izul panik.

"Kan kamu sendiri yang menyimpan kan?" Ibu balik bertanya kepada putranya itu. "Tapi nggak ada di gantungan pakaianku. Aduh, gimana ini, Bu?"

Izul berlari ke kamar. Dia terus mencari-cari seragam khususnya. Semua pakaian yang tergantung pada gantungan pakaian diturunkan dengan tergesa. Ada yang berjatuhan di lantai. Ada yang terseret sampai ke ranjangnya.

Pakaian Izul memang banyak yang digantungkan pada gantungan pakaian. Sampai penuh!

Izul melempar-lempar pakaian seragam sekolah, pakaian olahraga maupun seragam karatenya sembarangan.

"Pakaiannya jangan dilempar-lempar begitu, Zul. Pelan saja." Izul fokus mencari pakaian seragamnya, sampai-sampai dia tidak menyadari kalau Ibu sudah berada di kamarnya lagi.

"Aku nggak nemuin seragamku, Bu. Aku harus bagaimana?" Izul terduduk di sisi ranjangnya yang kini penuh dengan pakaian kotornya. Sedangkan Ibu mencoba untuk menyisir pakaian Izul satu persatu.

"Lain kali, pakaian kotor segera dicuci, Zul. Ibu sudah berulang kali bilang kan?"

Izul yang kebingungan mencari pakaian seragamnya, diam-diam mengiyakan pertanyaan Ibu. Ibu sering bilang kalau terlalu banyak pakaian menumpuk di gantungan pakaian, maka terlihat tidak rapi dan menjadi sarang nyamuk. "Bisa jadi sarang penyakit juga lho, Zul," ucap Ibu waktu menasihati Izul.

Izul pun ingat, saat belajar IPA di kelas, Bu Guru menjelaskan kalau nyamuk bisa bertelur, lalu telur itu menetas dalam hitungan hari dan sangat cepat menjadi nyamuk dewasa. "Jaga kebersihan lingkungan. Jangan biarkan nyamuk bersarang di tempat tinggal kalian!" begitu nasihat Bu Guru.

Rupanya nasihat Ibu dan Bu Guru tidak dia turuti. Pakaian kotor disimpan pada gantungan pakaian.

"Ini seragamnya kan?" Suara Ibu membuat hati Izul terasa lega. "Tapi bau sekali, Zul."

"Ah, nggak mungkin, Bu!" seru Izul. Dia merebut seragam yang sudah ditemukan ibunya. Namun, saat mau mengenakannya, tercium aroma aneh dari pakaian itu. "Ih, Ibu, kok bau gini?"

**

Dengan wajah cemberut Izul berangkat ke sekolah dengan diantar ibunya. Sesampai di depan gerbang sekolah, dia enggan turun dari motor.

"Lekas turun, Zul! Keburu bel bunyi!" Ibu mengingatkan Izul agar segera turun dan masuk ke kelas. "Tapi, Bu..."

"Tapi apa, Zul? Kamu nggak mau sekolah?" tanya Ibu, menahan marah. Alhasil, Izul turun dari motor.

Dia berjalan pelan, sambil menundukkan kepalanya. Dia malu, pakaian seragam yang dikenakannya berbeda dengan teman se-sekolah. Hanya dia sendiri yang berseragam Pramuka. Akibatnya, siswa-siswi yang berpapasan dengannya memandang aneh ke arahnya. Mereka berbisik satu dengan lainnya. Ada juga yang terang-terangan menertawakannya.

**

"Kamu lupa hari ya, Zul?" tanya Bu Guru saat pelajaran akan segera dimulai. Izul tidak menjawab pertanyaan itu. Dia berpikir kalau mengatakan yang sesungguhnya, pasti akan jadi bahan cemoohan. Tapi kalau tidak menjawab, pasti akan diejek temannya juga.

"Ya sudah, apapun alasannya, kamu sudah melanggar kesepakatan kelas. Jadi, kamu harus menjalani hukuman," ucap Bu Guru dengan tegas. Di kelas Izul memang ada kesepakatan kelas, kalau tidak berseragam sesuai harinya, maka dihukum membersihkan toilet.

"Tapi jangan membersihkan toilet ya, Bu."

Mendengar permintaan Izul, teman-teman sekelasnya jadi ramai. Mereka memaksa Bu Guru dan Izul untuk tetap bertanggungjawab sesuai kesepakatan kelas.

"Bu Guru nggak akan memberi toleransi, Zul. Semua siswa harus tahu resiko kalau tidak tertib di kelas."

**

Sore harinya, Izul menunggu jemputan. Dia tidak bisa bercanda dengan teman-temannya. Dia menahan malu di sekolah seharian. Rasanya benar-benar membuatnya minder.

"Sudah menunggu lama, Zul?"

Izul mendongakkan kepala. Rupanya Ibu sudah menjemputnya. Senyum manis Ibu membuatnya sedikit nyaman. Dia merasa kalau ibunya sangat menyayanginya, meski dia melakukan kesalahan.

"Yuk, naik. Keburu hujan!"

Izul segera membonceng motor. Ibu melajukan motor dengan pelan. Dalam hatinya, dia bersyukur karena Ibu selalu memaafkan kesalahannya. Dia berjanji pada dirinya sendiri kalau akan selalu patuh pada nasihat Ibu. Dia tidak akan begadang lagi. Dia akan rajin menjaga kebersihan diri, pakaian, kamar dan barang-barang miliknya. Biar pengalaman buruk hari ini tidak akan terulang lagi.

"Cukup sudah aku malu karena ulahku," ucapnya lirih.

__

Branjang, 2 September 2025

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun