Diam-diam Nadiya menghindari pertemuan dengan sosok lelaki yang sejak pertama kali dijumpainya telah membuatnya jatuh hati. Sekalipun ada senyum yang terlempar saat dia berpapasan, tak ada kemampuan dalam dirinya untuk menerjemahkan arti senyuman lelaki itu.
Tak jarang, dari arah berseberangan, mereka saling menatap sekilas. Tetap saja yang dirasakan Nadiya hanya perasaan yang tak berbalas. Segala bayang di kepala, bunga-bunga di hati yang berkuncup, seakan tak menemukan titik temu.
"Ini hanya cinta pada bayangan. Aku nggak boleh begini terus," batin Nadiya.
Dia teringat pada sebuah video dari sosial media yang mengatakan kalau seorang perempuan yang suka dengan lelaki, apa susahnya mengatakan secara jujur. Kata-kata itu benar, tapi sebagai seorang perempuan timur, hatinya mengatakan kalau itu sangat tabu. Apa kata teman-teman kerjanya kalau dia mendahului untuk mengungkap perasaannya?
Perempuan mungil, berkulit sawo matang dengan senyum khas itu mengambil napas dalam-dalam. Digelengkan kepalanya. Apalagi mengingat kejadian beberapa hari sebelumnya, lelaki dambaannya itu tengah berjalan berdua dengan seorang perempuan cantik, berkulit bersih, rambut tergerai, dan penampilannya sangat modis. Mereka terlihat serasi.
Pertemuan tanpa sengaja itu membuat dada Nadiya sesak. Hampir semalaman tidak bisa tidur. Sesekali air mata hadir di sudut matanya.
"Nad, ada tawaran mengajar di sekolah unggulan. Mau nggak?"Â
Pertanyaan dari sahabat semasa kuliahnya kembali terngiang di telinganya. "Kamu kan harus mulai memikirkan karir dan penghasilan, Nad. Ingat orang tuamu dan adik-adik yang harus kamu bantu."
Nadiya memang memiliki tanggung jawab untuk membantu kedua orangtuanya yang tidak tentu penghasilannya. Sekalipun mereka tidak pernah meminta putri sulungnya untuk membantu perekonomian keluarga.
Gawai yang sedari tadi hanya dipegang dan ditatap, kembali dibuka. Jemari tangan kanan Nadiya mulai mengetikkan pesan kepada sahabatnya.