Tiba-tiba HPku berbunyi.Â
"Kamu nggak ikut foto bareng aku, non?", pak Widi mengirim pesannya malam ini.
"Terima kasih, lain kali saja, pak", balasku.Â
"Aamiin. Semoga di pelaminan foto barengnya". Tak kubalas lagi pesan itu. Aku mau istirahat. Capek.Â
***
Paginya. Kami bersiap untuk ke Yayasan Yatim Piatu Hasanah yang letaknya tak jauh dari sekretariat KKN-PPL. Sambil nunggu temen lain yang baru saja bangun tidur, kami ngobrol ditemani teh dan getuk lindri.Â
Rupanya temen cewek masih ngerumpiin pak Widi.Â
"Ealah... masih bicarain pak Widi. Apa sih kelebihannya? Kamu jangan ikut-ikutan ngerumpiin dia ya Ra! Aku bisa patah hati..", ucap Wahyudi.Â
Aku melengos saja mendengar ocehan tak karuan itu. Lama-lama telingaku jadi tebal juga.Â
"Kalau kamu patah hati, sana bunuh diri saja..", timpal Tio. Meledaklah tawa kami. Ya mau tak mau aku ikut tersenyum. Kulihat tatapan manis Tio ketika aku ikut tersenyum mendengar perbincangan ala anak KKN. Sejak kumengenalnya di masa SD dulu, dia emang jarang memperlihatkan senyumnya kepadaku. Urat saraf tertawanya sering hilang mendadak ketika bertemu aku. Apalagi ketika duduk di bangku SMP. Adanya cuma ketus, usil plus nyebeli.Â
***