Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Nomine Best in Fiction Kompasiana Awards 2024 Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tentang Tiga Nama

21 April 2019   11:48 Diperbarui: 9 November 2019   23:45 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Baksos tiba. Perlengkapan alat tulis  yang sudah dipacking siap didistribusikan ke sebuah yayasan---yang menampung anak-anak yatim, piatu, putus sekolah---dibawa secara berboncengan. 

Semalam, persiapan baksos dipantau oleh dosen pembimbing KKN-PPL kami, Pak Widi. Kebetulan dia dosen di jurusannya. Masih muda, cerdas, ehm.. Tambah ganteng. Jadi peserta KKN putri senengnya minta ampun. Aduh... termasuk aku atau bukan ya? Aku jadi tertawa sendiri. 

"Hei... ngapain kamu tertawa sendiri? Ada pak Widi. Sini. Kumpul. Ada monitoring kegiatan kita...", ajak Fira, mahasiswi jurusan Pendidikan Bahasa Jawa. Meski ambil jurusan itu bukan berarti dia bisa berbahasa Jawa sesuai pakemnya. Ampun deh. Cuma sebelas-dua belas sama aku. Nggak tahu tuh IPKnya berapa sampai semester ini. 

"Sukses itu bukan karena IPK, Ra. Tapi faktor keberuntungan. Bisa jadi nanti aku lebih sukses dari kalian yang lebih pinter", ucap Fira diplomatis. 

"Bukan berarti pula kau asal kuliah, Fir. Kalau kau ngajar Bahasa Jawa trus salah konsep, ya eman-eman alias sayang sama budaya Jawa adiluhung itu...", timpal Opik. 

***

Kami dimonitoring Pak Widi. Beliau selalu menekankan harus ada kekompakan kelompok biar KKN-PPL lancar. Kulihat temen-temen cewek hanya bengong saja. Terpana sama kharisma dan kegantengan dosenku yang ter...  eh... nggak. Kok aku malah jadi ikut-ikutan seperti mereka. 

Setelah monitoring selesai, mereka buru-buru minta foto bareng sama beliau. OMG, biasa aja. Gimana kalau ketemu di fakultasku terus bisa rame. Aku tak ikut-ikutan aja. Lebih baik aku ke kamar terus tidur nyenyak. Kalau aku ikut foto bareng, nanti pak Widi kepedean pula. Wong sebenarnya setahun yang lalu dia kirim pesan ke aku, dia tanya "kamu mau nggak jadi pacarku?"

Kaget plus surprise sebenarnya. Kurasa dia terlalu terburu-buru. Aku khawatir kalau "tembakan" itu aku terima, bakalan tak obyektif ketika menilai pekerjaan baik tugas maupun ujian tengah semester dan ujian akhir semester. Kasihan temenku yang lebih pinter. 

Terkadang sih nyesel juga nolak dia. Tapi prinsipku jodoh takkan kemana. Meski akhirnya nilaiku agak seret juga di mata kuliah yang diampunya. Ya.. Dia agak dendam dengan penolakanku. Ah... biarin. Toh nanti dia juga tahu kalau aku ngelakuin ini demi obyektivitasnya sebagai dosen. Tapi ini rahasia loh ya. Cukup hatiku saja yang tahu. Teman-teman lain tak ada yang tahu. 

Kalau misalnya dia ngungkapin cinta pas aku selesai kuliah, beda lagi ceritanya. Aku bakalan nggak mau jadi pacarnya. Tapi maunya jadi istrinya. Dia nggak tahu sih. Hihihi.

Tiba-tiba HPku berbunyi. 

"Kamu nggak ikut foto bareng aku, non?", pak Widi mengirim pesannya malam ini.

"Terima kasih, lain kali saja, pak", balasku. 

"Aamiin. Semoga di pelaminan foto barengnya". Tak kubalas lagi pesan itu. Aku mau istirahat. Capek. 

***

Paginya. Kami bersiap untuk ke Yayasan Yatim Piatu Hasanah yang letaknya tak jauh dari sekretariat KKN-PPL. Sambil nunggu temen lain yang baru saja bangun tidur, kami ngobrol ditemani teh dan getuk lindri. 

Rupanya temen cewek masih ngerumpiin pak Widi. 

"Ealah... masih bicarain pak Widi. Apa sih kelebihannya? Kamu jangan ikut-ikutan ngerumpiin dia ya Ra! Aku bisa patah hati..", ucap Wahyudi. 

Aku melengos saja mendengar ocehan tak karuan itu. Lama-lama telingaku jadi tebal juga. 

"Kalau kamu patah hati, sana bunuh diri saja..", timpal Tio. Meledaklah tawa kami. Ya mau tak mau aku ikut tersenyum. Kulihat tatapan manis Tio ketika aku ikut tersenyum mendengar perbincangan ala anak KKN. Sejak kumengenalnya di masa SD dulu, dia emang jarang memperlihatkan senyumnya kepadaku. Urat saraf tertawanya sering hilang mendadak ketika bertemu aku. Apalagi ketika duduk di bangku SMP. Adanya cuma ketus, usil plus nyebeli. 

***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun