Mohon tunggu...
Joni Faisal
Joni Faisal Mohon Tunggu... Hamba Amatiran

Pernah menjadi guru relawan di Kampung Belajar Bina Putera, Sebekramat, Kopo, Serang, Banten dan berkesempatan menjenguk sekolah-sekolah di daerah 3T di pelosok Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan sebagian Timur Indonesia. Sekarang--sebagai penyitas stroke--bekerja menjadi binatu di Mama Wangi Laundry, Tangerang Selatan. Hobi membaca, masak-memasak dan berintetaksi dengan siapa saja sambil nyeruput kopi. Di sela-sela waktu senggangnya menghabiskan waktu menjadi pengelana kota dan penikmat transportasi publik. Belakangan aktif di media sosial sebagai "Taik Storyteller" yang memfokuskan diri bercerita perihal kotoran manusia; baik sejarah, budaya, filsafat dan segenap perintilannya. Tayangannya bisa kamu simak di media sosial dengan mencarinya melalui (tagar) #jonitaik. Motto: Aku menulis untuk mengingat apakah tangisku kemarin akan menjadi tawa atau sebaliknya.

Selanjutnya

Tutup

Financial

Seperti Cinta Remaja, Pegadaian Dibenci dan Dirindu

22 September 2025   07:43 Diperbarui: 22 September 2025   07:43 8
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keramahan pelayanan dimulai dari depan. Satpam kantor Pegadaian Ciputat, Tangsel (Foto: Joni)

Mengemaskan Indonesia - Tulisan 1

Kalau nanti kau punya anak merantau, selipkanlah emas untuk dia gunakan di kala darurat, bukan uang! - Pesan Ibu

Sudah seperti kekasih. 

Sejak jaman kuliah di Jogja awal tahun 90an, Pegadaianlah yang paling berperan. Setia. Dan cintanya tak pernah luruh. Jujur, akulah yang sering berpaling. Bagiku, Pegadaian sulit untuk dipisahkan. Meskipun aku pernah bersumpah untuk tidak kembali. Berbalik badan. Namun kadang rindu menggugah. Rasa benci tiba-tiba berubah. Di saat-saat  genting. Di kala aku membutuhkannya. 

Sebagai anak perantauan dari Pelembang yang kuliah di Perguruan Tinggi Negeri, kiriman dari orangtua tak selalu cukup. Apalagi Ayah bergaji pas-pasan. Hidup dengan uang 40 ribu sebulan, di masa itu belum memberikan rasa nyaman. Meskipun itu cukup, kadang mendadak kurang. Apalagi Pak Pos yang selalu ditunggu--yang membawa selembar wesel--telat datang. Kalau hari yang ditunggu-tunggu itu berlalu, alamat makan sekali sehari bisa sampai seminggu! 

Kawan-kawan lain punya cara. Di kala darurat membutuhkan dana, mereka bisa saja melorotkan celana. Membawanya ke Pasar Sentir di belakang Titik Nol Jogja. Menjualnya dengan harga berapa saja. Aku sendiri? Tak pernah mencoba dan tak tega.   

Ini kisah yang tak bisa kulupakan. Membawa cincin titipan ibu ke daerah Ngupasan. Di situ ada kantor pegadaian. Letaknya dekat penjara di ujung jalan. Tepatnya Malioboro bagian Selatan.   

Awalnya, aku segan dan malu. Takut berseliweran kawan-kawan di situ. Namun, gara-gara ada kawan senasib seperti aku. Menggadaikan selembar kain ibunya untuk uang saku. Maluku hilang seperti nyali penghisap candu. Kawan itu ternyata lebih parah dari aku!

Di masa itu, memang kain simpanan boleh digadai. Juga barang-barang antik dan pecah belah pun  tak masalah. Termasuk kebaya. Asal ditaksir ada nilai uangnya.   

Cincin titipan ibu tidak besar. Emas. Itu yang bikin aku tak pernah cemas. Tapi bisa kuandalkan. Untuk hidup selama 2 bulan. Itu pun tidak kugadai dengan nilai maksimal. Aku mengambil uang seperlunya. Sambil menunggu wesel tiba. Andai pun nanti kurang, aku bisa datang lagi minta tambah. Sampai pagu tertinggi nilai taksirannya.

Mengenang Pegadaian Ngupasan seperti mengenang kekasih pertama. Mantan yang tak pernah benar-benar sirna. Belakangan aku baru tahu, Pegadaian Ngupasan bukan hanya sejarahku. Tapi tonggak sejarah aksi buruh. Konon, Tan Malaka dan Bergsman memimpin pemogokan itu. Sampai-sampai Pemerintah Hindia Belanda mengasingkan keduanya ke Eropa. Pemogokan itu  terjadi pada 11 sampai 18  bulan Januari tahun 1922 (sebagaimana ditulis J. Th. Petrus Blumberger dalam buku De Nationalistische Beweging in Nederlandsch -- Indi, Dordrecht Holland / Providence-U.S.A : Foris Publications, 1987).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun