Di titik manakah mata penaku mulai melangkah dan di mana pula letak noktah yang hendak ia jangkah?
Di satu waktu ia menuju satu arah sedang di masa lain ia meluas jelajah.
Atau ia seperti air kembara: melangit memega, lalu dihembus angin memeluk puncak-puncak, meluruh merinai menderai, diam mengendap, menyelinap, menembus rekah tanah bersemayam dalam gelap, memancar, merayap, menyenandung gemercik meliuk menderas lalu mendebur dan membuncah tarian ombak untuk kembali meninggi? berputar dari aksara ke aksara, kata demi kata... ke mana?
Atau kucari saja arti pada makna demi makna yang dicercap akar tumbuhan, pada elok dan wangi bunga, pada kelimun kepak sayap-sayap serangga, dan pada setiap rasa yang perutnya membuncit mengandung lembaga.
Pada setiap pemberhentian itukah mata penaku menuju dan memulai perjalanan baru, sehingga tak terperangkap ia pada kubangan usang yang terus diulang dan diulang?
Aku menggores, menitik, meliuk, membentuk bukan dari dan hendak ke mana. Aku menari dan terus menari menyusuri kurva demi kurva agar setiap kali kutumbuhkan tunas, kuncup, kelopak, benang-benang sari dan orkestra kepak sayap-sayap serangga. Dalam nuansa yang berbeda. (Wim.)