Mohon tunggu...
Joko Ismuhadi
Joko Ismuhadi Mohon Tunggu... Dosen

Joko Ismuhadi Soewarsono is an academic member of the Association of Tax Centers and Tax Academics of All Indonesia (Pertapsi), Association of Indonesian Legal Experts (Perkahi), an experienced tax audit practitioner with an educational background in a financial diploma program specializing in taxation with his latest education as a doctoral candidate in tax accounting and doctorate in tax law.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Mengungkap Kedalaman dan Dampak Ekonomi Bawah Tanah di Indonesia: Tantangan Fiskal dan Solusi Inovatif

23 Juli 2025   11:11 Diperbarui: 23 Juli 2025   11:31 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemisahan Omzet dan Pembentukan Entitas Baru: Modus operandi yang umum, terutama di kalangan usaha kecil dan menengah, melibatkan pembentukan beberapa perusahaan baru  atau terlibat dalam restrukturisasi korporasi untuk secara artifisial membagi total omzet. Strategi ini bertujuan untuk menjaga omzet entitas individu di bawah ambang batas yang akan memicu tarif pajak yang lebih tinggi atau persyaratan kepatuhan yang lebih ketat.

Evolusi skema penghindaran pajak yang semakin canggih ini menuntut adaptasi regulasi dan penegakan hukum yang dinamis. Ini menunjukkan bahwa undang-undang pajak yang statis tidaklah cukup. Ada kebutuhan berkelanjutan untuk kelincahan legislatif dan bagi otoritas pajak untuk mengembangkan keahlian yang sangat terspesialisasi dan alat analitis canggih. Adopsi prinsip-prinsip BEPS (Base Erosion and Profit Shifting) oleh Indonesia menandakan komitmen untuk menutup celah internasional, tetapi juga menyiratkan tuntutan yang lebih besar akan auditor pajak terampil yang mampu memahami dan menerapkan aturan kompleks berbasis substansi ini.

Anomali Perusahaan Rugi dengan Operasi yang Berkelanjutan

Fenomena perusahaan yang terus melaporkan kerugian finansial namun tidak bangkrut adalah tanda bahaya penting untuk potensi penghindaran pajak. Data dari Menteri Keuangan, Sri Mulyani, mendukung kekhawatiran ini, menunjukkan peningkatan konsisten dalam persentase perusahaan yang melaporkan kerugian, dari 8% pada tahun 2012 menjadi 11% pada tahun 2019. Jumlah absolut perusahaan yang melaporkan kerugian juga meningkat secara signifikan, dari 5.199 pada tahun 2012 menjadi 9.496 pada tahun 2019.

Yang krusial, meskipun berulang kali melaporkan kerugian, banyak dari perusahaan ini terus beroperasi, bertahan, dan bahkan memperluas bisnis mereka, menunjukkan ketidaksesuaian antara kinerja keuangan yang dilaporkan dan vitalitas ekonomi aktual mereka. Anomali "merugi tetapi tidak bangkrut" ini adalah pola sistemik yang luas, bukan insiden terisolasi. Ini menunjukkan adanya pemutusan hubungan mendasar antara kinerja keuangan yang dilaporkan (untuk tujuan pajak) dan realitas ekonomi aktual. Hal ini sangat menyiratkan bahwa perusahaan-perusahaan ini secara efektif "menyembunyikan" keuntungan atau membesar-besarkan biaya untuk mengurangi pendapatan kena pajak mereka, sementara masih menghasilkan arus kas yang cukup untuk mempertahankan dan mengembangkan operasi dan aset mereka.

Untuk mengatasi bentuk penghindaran pajak spesifik ini, draf RUU KUP (Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan) mengusulkan penerapan PPh minimum 1% dari pendapatan bruto untuk perusahaan yang merugi. "Pajak Minimum Alternatif" ini bertujuan untuk memastikan bahwa entitas yang tampaknya tidak menguntungkan namun layak ini memberikan kontribusi pajak tertentu. Fenomena ini tidak hanya mengakibatkan kerugian pendapatan yang substansial bagi negara tetapi juga menciptakan lingkungan persaingan yang tidak adil, merugikan bisnis yang patuh yang secara akurat melaporkan keuntungan mereka. Ini menunjukkan kebutuhan bagi otoritas pajak untuk bergerak melampaui pendekatan audit yang murni transaksional ke analisis forensik yang lebih holistik terhadap kesehatan keuangan perusahaan, pertumbuhan aset, dan substansi ekonominya, terlepas dari profitabilitas yang dilaporkan.

Kerugian Penerimaan Negara dari Penghindaran Pajak Korporasi

Bahkan ketika secara teknis legal, penghindaran pajak secara signifikan mengikis basis pajak dan mengakibatkan kerugian pendapatan yang substansial bagi pemerintah. Tax Justice Network memperkirakan kerugian Indonesia dari penghindaran pajak korporasi sebesar Rp67,6 triliun pada tahun 2020. Estimasi selanjutnya untuk tahun 2021 menunjukkan kerugian US$2,2 miliar (sekitar Rp32 triliun) khusus dari penghindaran pajak korporasi multinasional.[32] Angka tahun 2021 ini saja setara dengan 19,8% dari anggaran kesehatan nasional Indonesia.

Secara lebih luas, tingkat penghindaran pajak yang tinggi, termasuk skema korporasi, disebut sebagai alasan utama rasio pajak terhadap PDB Indonesia yang relatif rendah, yang berkisar sekitar 10%. Sebuah studi Bank Dunia menggunakan metode tidak langsung memperkirakan bahwa sekitar 25% perusahaan formal di Indonesia secara implisit mengakui tidak membayar semua pajak yang diwajibkan. Ini menunjukkan potensi pendapatan yang belum tergali dan perlunya intervensi yang lebih efektif.

5. Persamaan Akuntansi Pajak (TAE) Dr. Joko Ismuhadi Soewarsono: Pendekatan Forensik untuk Deteksi

Dasar Konseptual dan Tujuan Analitis TAE

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun