Mohon tunggu...
Johan Japardi
Johan Japardi Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Lulus S1 Farmasi FMIPA USU 1994, Apoteker USU 1995, sudah menerbitkan 3 buku terjemahan (semuanya via Gramedia): Power of Positive Doing, Road to a Happier Marriage, dan Mitos dan Legenda China.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hanya Gara-gara Satu Kata: Peningkatan

13 April 2021   07:00 Diperbarui: 24 April 2021   11:47 1568
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sampan Khas Tanjung Balai-Sumber: youtube.com/hafizhbetta

Dokpri
Dokpri
Cerpen kocak* ini tersedia dalam bahasa Indonesia dan Tanjungbalai Asahan.

*Kocak = lucu (Indonesia), banyak uang (Tanjungbalai).

Dari Catatan Harian, 15 September 2019

Versi Indonesia
Berlayar Kita Setujuan
Bertambat Kita Setangkahan

(Semboyan kota Tanjungbalai, tambahan kata "kita" dari saya).

Sebagai anak Kota Kerang (julukan Tanjungbalai), saya menyadari bahwa, dan bangga karena, kota kelahiran saya ini memiliki banyak keunikan, entah itu bahasanya, keragaman dan kerukunan suku-sukunya, makanan khasnya, sikap hidup penduduknya, dan lain sebagainya.

Konon, menurut yang empunya cerita, saya sendiri, ada seorang anak muda bernama Udin Cengkok yang tinggal di seberang, Sungei Nangka, keponakan wak* Anzahari, ayah dari Ayu Anzahari yang merantau ke ibukota dan menjadi aktris terkenal itu.

*wak, uwak, uwa = pakde.

Tahun 1980-an, waktu cerita ini bermula, wak Anzahari ini diboyong anak perempuannya ke Jakarta dan menetap di sana sampai tutup usia beberapa tahun yang lalu.

Si Udin pula sehari-harinya bekerja sebagai nelayan. Dia mempunyai sebuah sampan yang dia pakai melaut setiap hari. Pada masa itu, hasil tangkapan si Udin ini sangat banyak, banyaklah uangnya, bisa dia memperbaiki rumahnya dan rumah orangtuanya dari yang semi-permanen menjadi permanen, bertingkat pula. Kalau perkara isi rumahnya, tak usahlah kita kaji lagi, lengkap semua perabotannya, apa pun ada.

Berkat didikan yang baik sejak kecil, Udin tak pernah sombong dengan keberhasilannya. Dia dikenal masyarakat Sungei Nangka sebagai orang yang pemurah hati dan suka membantu orang yang berkesusahan. Walaupun kecil luas wilayah Sungei Nangka yang bersebelahan dengan Sungei Pasir dan Sungei Kepayang itu, tapi setidaknya ada dualah kelebihannya.

Yang pertama, konon pada zaman kolonial Belanda dulu, orang di desa inilah yang menginspirasi orang Belanda untuk manyingkat kata "Sungei" menjadi "Sei."

Begini ceritanya.
Bagi orang kampung itu, "Sungei" kedengaran lebih enak ketimbang "Sungai."  Cocok, pikir hati orang Belanda. Tapi menurut Belanda-Belanda ini lebih mantap lagi kalau disingkat menjadi "Sei" saja. Sudahlah enak kedengaran, pendek pula, jadi mudah mengucapkannya dengan lidah Indo-Eropa cabang Germanik Barat mereka. Nah, singkat cerita singkatan ini pun lalu dibawa orang Belandalah menyebar ke mana-mana, misalnya Sungai Rampah menjadi Sei Rampah, dll. Pokoknya semua tempat yang ada Sungainya mereka ganti menjadi Sei.

Yang kedua, kampung ini memang kecil-kecil cabe burung (cabe rawit). Sungei Nangka ini sempat menelurkan beberapa artis terkenal di ibu Kota. Selain yang kita sebutkan di atas, Ayu Anzahari, ada pula aktris papan atas seperti Rani Saroya anak wak Saroya, Sujannah binti Binti', anak Ucok Mangkuk bergelar wak Binti', yang tak menggunakan nama belakangnya, mungkin karena dia malu wajah ayahnya penuh berbintik.

Dari kalangan penyanyi, ada nama-nama seperti Dian Pisesak anak wak Sesak yang menderita asma kronis, Tommy J. Pizza yang bernama asli Lokot, anak abah Lokot yang masih bersaudara dengan wak Uteh, dan Rima Mawar yang bernama asli Rima Frida, dll.

Catatan Samping
Siapa pun hendaknya janganlah sepele dengan kota Tanjungbalai ya?

Satu-satunya perantau yang mencoba mengadu nasib di Jakarta dan tak berhasil, lalu balik kampung, karena tidak bersedia mengganti namanya adalah......... Ida Benzol.

Mungkin menurut para pembaca kok aneh sekali nama belakang si Ida. Tapi begini ceritanya:
Senyawa benzena pertama kali diisolasi dan diidentifikasi pada 1825 oleh Michael Faraday, seorang ilmuwan dari Inggris, dari residu berminyak dari gas nyala. Kemudian, pada 1833, Eilhard Mitscherlich menghasilkan benzena dengan menyuling asam benzoat dan senyawa anorganik yang mengandung Kalsium, dan pada 1845, Charles Blachford Mansfield, yang bekerja di bawah bimbingan August Wilhelm von Hofmann berhasil mengisolasi benzena dari tar batubara. Jadi masing-masing kimiawan ini menemukan benzena dengan cara yang berbeda.

Nah, atok (kakek) dari atok si Ida, Tok Laut gelarnya (bedakan dengan Tok Laut kita yang sekarang ya?) pernah diberi orang Belanda beasiswa untuk berkuliah di Jurusan Kimia Universitas Giessen Jerman dan satu kelas dan satu kos dengan si Hofmann, bahkan Tok Laut sempat memberi nama "Hotman" (yang lebih mudah dia ucapkan) kepada teman kuliahnya ini, sehingga lama kelamaan semua teman mereka di Jerman pun menyapa "Hofmann" dengan "Hotman."

Sebelum berakhirnya abad ke-19 atau sebelum meninggalnya si Hotman pada 1892, beliau sempat datang bertandang ke Tandjong Balei (nama Tanjungbalai pada masa itu). Setelah berbulan-bulan berlayar dari Jerman nun, berjumpalah dia dengan Tok Laut yang menjemputnya dari Pelabuhan Labuhan Deli (masa itu belum ada Pelabuhan Belawan).

Singkat cerita, sewaktu masih di Tandjong Balei, sempatlah si Hotman ini berpesan ke Tok Laut (dalam bahasa Tanjungbalai zaman doeloe yang lumayan fasih): "Kalau sekiranya ada cucu perempuan Incek* yang lahir nanti, tolong Incek beri nama belakangnya Benzol ya, supaya setidaknya ada yang dikenang orang Tanjungbalai juga senyawa penemuanku itu."
Tok Laut manyahut singkat, "Yalah Cek Hotman."

*Incek, cek = sapaan akrab untuk teman dekat.
** Benzol = bahasa Jerman untuk benzena.

Selesai bercakap-cakap, kedua orangtua kita ini pun melanjutkan dengan kegiatan yang menjadi hobi bersama, bacokah! (taruhan dengan menebak isi buah manggis).

Konon si Hotman ini pulalah yang membawakan satu drum air dari Jerman dan membagikannya kepada orang-orang di sebuah kampung tak bernama yang sedang mengalami kekeringan, lalu, atas seizin seorang ambtenaar Belanda, dia pun menamakan kampung itu "Air Jerman" yang lama-lama berubah menjadi "Air Joman" yang kita kenal sekarang (jangan dirancukan dengan istilah "joman" wak Uteh yang artinya "jaman.")

Bertahun-tahun setelah si Hotman pulang ke Jerman, datanglah seorang sarjana teknik kimia bernama Heinrich Surbeck, seorang anak muda kelahiran Halau, Swiss. Heinrich sempat memperdalam ilmu kimianya dengan Tok Laut, seniornya. Pada 1916, si Heinrich pindah ke Pematang Siantar dan mendirikan sebuah pabrik dengan nama Naamloze Vennootschap (NV) Ijs Fabriek Siantar, yang setelah kemerdekaan berganti nama menjadi PT. Pabrik Es Siantar. Perusahaan ini memproduksi es batu dan juga minuman bersoda, jauh sebelum Coca-Cola diproduksi di Jakarta pada tahun 1932. Tok Lautlah yang memberikan nama Badak yang kemudian didaftarkan si Hendrich sebagai merek dagang minuman bersoda itu.

Minuman Bersoda Cap Badak - Sumber: Wikipedia
Minuman Bersoda Cap Badak - Sumber: Wikipedia
Demikianlah...... tahun demi tahun pun berlalu, tapi tunggu punya tunggu, tak ada pula cucu Tok Laut ini yang perempuan, maka pesan Herr Hotman itu pun diteruskanlah ke keturunan cucu Tok Laut dan mulai generasi ke-6 terhitung dari Tok Laut, barulah ada keturunan mereka yang perempuan, tak lain tak bukan adalah si ...... Ida. Sekarang jelas bagi kita semua mengapa Ida bersikeras tidak mau mengganti namanya.
Sayang seribu sayang, nama yang begitu bagus itu malah menjadi tak bagus karena disangka banyak orang Benzol itu maksudnyo (z ganti j ya? tak sampai hati saya menuliskannya). Itulah asal muasal nama belakang si Ida yang satu ini. Kalau direnung-renungkan, alangkah kasihannyalah dia ini, menjadi korban benar nama.

Nah, kembali ke cerita si Udin.
Tapi sebelumnya saya tambahkan dulu satu lagi aktris terkenal asal Asahan, tepatnya Sungai Loba (bukan Sei Nangka) yang bernama Eva Nammanja (yang manja). Ayah si Eva ini tukang smokkel (menyelundup) barang dari Port Klang dan akhirnya menjadi warganegara Malaysia dan menetap di Sungai Pasir, Shah Alam, Malaysia, dan punya rumah kedua di Sungei Besi Kuala Lumpur. Eva sendiri tetap di Sungai Loba dan belakangan pindah rumah ke Lorong Pucuk, dekat rumah si Kamal Naslom (Nasi lomak/nasi lemak, nasi yang lebih gurih ketimbang nasi gurih) dan terakhir pindah pula ke Arkat (Arah ka Toluk/ke Teluk Nibung), sehingga dia pun dipanggil orang Eva Arkat. Sebelum barangkat ke Jakarta, Eva Arkat sempat berjualan pisang tajopit (terjepit) di Lapangan Pasir, buka kira-kira mulai pukul 5 sore sampai habis jualannya.

pisang-tajopit-6074fe33d541df5e6a40fd52.jpg
pisang-tajopit-6074fe33d541df5e6a40fd52.jpg
Pisang Tajopit: Tangkapan Layar.

----------------
Bumi berputar
Musim berganti
Zaman beredar

Ini ucapan almarhumah ibu Fatima, guru matematika saya di SMP Perguruan Sisingamangaraja Tanjungbalai.

Artis-artis yang kita ceritakan di atas pun sudah hilang ditelan zaman, sedangkan penggantinya pun tak begitu jelas. Kini zamannya acara macam KDI, Indonesian Idol, The Voice Kids Indonesia dsb. Untung jugalah kini ada bakat-bakat muda asal Tanjungbalai, antara lain Anisa Irawan, dan Dalton Simanjuntak, anak saudara Jhon James Simanjuntak Kompasianer, yang sekarang menetap di Medan. Upaya anak-anak ini untuk memasyhurkan nama Tanjungbalai patut kita acungi jempol dua (kiri dan kanan).

Kejayaan si Udin sendiri pun tampaknya memudar bak lampu strongking yang minyaknya hampir habis, karena digerus dan digilas oleh perkembangan zaman. Teringat hati ini, memang sudah lama pukat langgar, yang menjadi salah satu penyebab berkurangnya tangkapan nelayan tradisional, dilarang, tapi yang menjadi masalah sekarang adalah manusia bertambah banyak dan sumberdaya laut itu banyak yang ditangkapi, bisa kita lihat keadaan sekarang ini di Tanjungbalai, memprihatinkan!

Apalagi kalau dulu cuma hasil laut yang mantap-mantap yang diekspor ke negeri-negeri jiran (udang galah, udang kelong, dll), kalau sekarang apa pun diekspor hah. Tahun lalu sewaktu saya balik berkunjung ke Tanjungbalai, saya lihat ikan kembungnya kecil-kecil tak seperti dulu, udang kecepe (rebon) pun banyak yang ditangkapi, kerang pun agak sulit dicari, sampai-sampai nasi lomak berlauk sambal ikan pari asin pun tak ada lagi, sungguh menyedihkan. Kalau ada yang salah dengan pengamatan saya ini, tolong teman-teman perbaiki ya?

Keadaan macam ini berpengaruh jugalah ke si Udin, bahkan sudah berlangsung bertahun-tahun, siapa pun sedih melihatnya.
Udin yang tadinya berbudi elok, tenang, dan rajin berbagi, kini telah berubah menjadi seorang pria paruh baya yang pemurung, mudah naik pitam dan setiap hari sepanjang hari duduk di warung, menyantap kira-kira lima bungkus nasi lomak titipan adek Kamal (kadang kalau dia tak berselera makan naslom, pergilah dia ke Sipori-pori menyantap ikan gulai asam, itu kalau ada rezeki tambahannya entah dari mana), atau hanya sekedar makan miso*  Jl. Karya kalau penghasilannya sedikit, atau mengunyah roti kelatak (sejenis roti panggang) sambil meminum kofi, dan kadang ditelannya air putih banyak-banyak agar kofinya jangan cepat habis, dan bercakap-cakap dengan teman-teman yang keadaannya kurang lebih sama. Predikat Udin sebagai seorang dermawan pun sudah tidak begitu diingat orang lagi, utamanya generasi zaman now ini.

Miso = misop, kalau di Jawa timur maknanya: omongan jorok.

Beruntung bagi Udin, lima anaknya laki dan perempuan sudah tamat kuliah semua dan sudah berumahtangga semua, punya pekerjaan yang lumayan baik di Medan (belakangan ini tak tahulah kita macam mana perkembangan anak-anak kita itu).

Kira-kira 3 tahun yang lalu, ketika Udin sedang bercakap-cakap di warung kofi, datanglah seorang orang tua menghampiri dia. Ditepuk orang tua inilah pundak si Udin dari depan, "Din!, kau kenal lagi uwak?"

Dengan gaya agak malas, si Udin menatap orang tua ini (belakangan mereka bersitatapan). Setelah sepengisap sepertiga (1/3) batang rokok Djiesamsoe (perkiraan waktu saja ini, si Udin sudah lama berhenti merokok), si Udin pun menyahut, "Wak Anzahari! Apa kabar? Mengapa lama tak balik uwak?"

Wak Anzahari: "Adoi amak (alamak), panjanglah kalau kuceritakan. Si Ayu sepupumu itu semenjak menjadi aktris terkenal sangat rajin kawin cerai, terakhir orang bule pula suaminya, wakmu ni hah tak dia gubris lagi hidupnya, untunglah dengan uang pemberiannya wak sempat membeli rumah sederhana di daerah Bogor, dengan sebidang tanah yang lumayan luas. Jadi wak dan wak perempuanmu ini sampai sekarang hidup dari menjual hasil kebun kita berupa sayur-sayuran dan buah-buahan, itu pun belakangan ini tak begitu mampu lagi kami mengurus kebun itu karena sudah tua dan tak ada yang membantu. Uwak sampai berniat hendak menjual rumah dan kebun itu dan balik sajalah ke Sungei Nangka ini sambil menunggu dipanggil oleh yang Mahakuasa.

Jadi,
Tinggalkan kampung pergi merantau
Hidup ditopang anak perempuan
Setelah tua kesadaran datang juga
Sei Nangka tetap menjadi kerinduan.
(Kalau kita simak cerita tentang wak ini di atas, berarti tak jadi dia pindah balik ke Sungei Nangka, dan maklumi ya kalau rima pantun ini kurang sempurna, karena yang mengarangnya adalah uwak-uwak).

Udin: "Oh, begitu rupanya kisah hidup wak itu ya. Sabarlah wak, di sini pun keadaannya kurang lebih sama, tak jelas."

Karena bisa dibayangkannya apa yang dimaksud si Udin ini, terenyuhlah hati wak Sulung Anzahari mendengarkan cerita anak adik Tengahnya ini, mengapa kiranya zaman begitu kejam? Bukan pemalas bukan orang bodoh keturunan adiknya ini, tapi macam manalah pula hendak mengubahkan keadaan? Dirogoh wak Anzaharilah kantong celananya sebelah kanan, dikeluarkannyalah sepuluh (10) lembar uang Soekarno-Hatta dari dompet kulitnya yang sudah lusuh, dan diserahkanyalah kepada Udin.

Udin (terharu dan senang): "Makjang (wah), beribu-ribu terimakasih wak ya. Minumlah dulu uwak sebelum kita ke rumah. Nanti kusuruh si Munah memasak gulai lomak."

Wak Anzahari: "Bah jadi. Tapi teringatnya nak Udin, apa tak ada peningkatanmu dalam menangkap ikan?"

Mendengar perkataan waknya, hendak naik lagilah pitam si Udin (hari itu di warung itu sudah sempat dua kali dia marah-marah, bahkan ada seorang anak pengunjung warung itu yang dia takik lehernya karena dianggapnya belagu dan sok jago), untunglah diingatnya bahwa yang berdiri di depannya adalah uwak kandungnya sendiri.

Udin pun menjawab dengan gaya sedikit berpantun (tak mau kalah dengan uwaknya):
"Tak bersampan lagi aku sekarang wak, hidupku kutopang dengan kerja mocok-mocok, malahan kadang-kadang kerja seribu tak kerja limaratus, terpaksalah kuambil yang kerja tak kerja, seribu limaratus! alias duduk seharian di warung bersama teman-teman baru, karena teman-teman lamaku yang wak juga kenal macam si Amir Foto, Lu Kok Siang, Ikhsan Kebal (Kecil tapi Bandel), Alpin (Ali Pincang), Juned Catuk (Pemalak gudang ikan), Bambang Lobo, Jalal Tenggen (Pemabuk), Ucok Mangkuk (karena punggungnya seperti sebuah mangkuk, namanya sudah disebut di atas), Iwan Dadah, si Asom (Aseng Ompong), kembar Tan Beng Hok dan Tan Beng Kok, Abie Lusa (kalau berjanji selalu bilang lusa, lusanya bilang lusa lagi), Amitablachan, Ebi Tegap (padahal bobot badannya di bawah 50 kilo), Munir Gendut, pak Oesman Boeang, wak Abas, wak Gani, wak Sangkot, Haji Amir dll., sudah tak ada lagi di dunia ini.

Ketika masih ada sampan kita, hendak memperbaiki bagian yang rusak pun aku tak mampu karena tak berduit. Terpaksalah kujual murah sampan itu.
Berhenti ke laut kucoba menarik becak,
tapi tak berpendapatan karena sewanya cekak,
setelah itu kucoba jadi kuli bangunan,
badan pun bersakitan semuanya kutahankan.

Masa,
Kerja seharian limabelaslah kudapat,
sembilan bahan pokok naiknya merambat-rambat,
rokok union palpal alias lima jahanam pun tak terbeliku lagi, bah... gawat
karena harganya sekarang sudah berlipat-lipat.

Apalagi,
Pas anak sedang sakit tak bisa kubawa pergi berobat,
itulah yang membuat dunia terasa kiamat.

Untunglah si Munah biniku itu tabah menghadapi cobaan hidup. Kalau tidak, mungkin dia sudah menempuh langkah seperti si Azlina, adik sepupunya, 'ceraikan aku, ceraikan.'

Keadaan waktu itu bak kata pepatah:
Buah kedekak
buah kedekik,
dimakan ayah pekak,
tak dimakan ibu bertungkik.

Atau, meminjam istilah si Pii (Syafii Panjaitan Wak Uteh Group) dalam lagu "Angin Kencang":
Balik ke rumah tak ada belanja,
ditengok sange ikan tinggal tulangnya,
singkap periuk nasi tinggal keraknya.

Untunglah lagi mertuaku tak galak dan suka membentak-bentak macam mertua si Pii yang menuangkan kesedihannya dalam lagu 'Badocak' yang liriknya diciptakan oleh Syamsul Rizal (Tok Laut zaman now). Untunglah lagi lagi (dua kali laginya) ada kawan kita Zulhasan, sempat biniku dibaginya kerja menjadi pemain dalam videoclip lagu 'Terkapar' yang diciptakannya.

Singkat cerita, lengkaplah penderitaan itu wak. Sekarang uwak tanyakan pula masalah peningkatan, INILAH HAH."

Sambil menjawab, si Udin pun tegak berdiri dan mencilakkan* punggungnya dengan menyingkap bagian belakang baju kaosnya yang sobek di sana-sini.

*Mencilakkan (kata dasarnya cilak, bedakan dengan celak) belum masuk dalam KBBI, artinya menyingkapkan sesuatu dan menampakkan isinya, tercilak artinya tersingkap dan nampak isinya.

"PENINGKATAN kata uwak, ini dia: Panu yang di punggung itu sudah MENINGKAT ke tengkuk."
Bukannya ikan yang aku dapat,
terik matahari itu yang terus menyengat.
Untung bukan teritip yang tumbuh di badan hayat,
yang semakin lama semakin penat.

Udin pun menurunkan bagian belakang baju kaosnya dan menunjuk ke tengkuknya lalu duduk kembali dan melanjutkan menyeruput kofinya.
Orang-orang di warung kofi itu, termasuk wak Anzahari, terdiam sepuluh ribu bahasa, hendak tertawa habis, mereka takut mengamuk pula si Udin nanti, tidak tertawa, geli rasa hati mereka.

Wak Anzahari pun bergumam: "Wah wah wah, sudah salah ngomong aku. Mestinya, tadi lebih baik saya jangan memakai kata PENINGKATAN, KEMAJUAN saja."
Wahai Udin keponakan uwak tercinta
Maafkan uwak atas tak berkenannya kata
Ayolah anakda kita balik ke rumah
Sambil menunggu menyantap gulai lomak si Munah.

"Mainkan teyus* wak," sahut Udin.
*teyus = terus.

SELESAI

Jonggol, 13 April 2021
Mengenang teman-teman sekampung,

Johan Japardi

Versi Tanjungbalai

Ariflah Menggunakan Kata di Tanjungbalai Asahan
Balayar Kito Satujuan
Batambat Kito Satangkahan

Sebagai anak Kota Korang, saya menyadari bahwa, dan bangga karena, kota kelahiran saya ini memiliki banyak keunikan, entah itu bahasanya, keragaman dan kerukunan suku-sukunya, makanan khasnya, sikap hidup penduduknya, dan lain sebagainya.

Konon, manurut nang empunyo carito (di sini mulai masuk bahaso Tanjungbalei tu yo incek-incek dan ocik-ocik sekalian), adolah seorang anak mudo banamo Udin Cengkok nang tinggal di saborang (Sungei Nangko), kemanakan wak Anzahari (ayah si Ayu Anzahari), yang maranto ke ibukota dan manjadi aktris takonal tu.

Tahun 1980-an waktu carito ni bamulo, wak Anzahari ni diboyong anak porompuannyo ke Jakarto dan manotap di sano sampe tutup usia beberapa tahun lalu.

Si Udin pulak sehari-harinyo bakorojo sebagai nelayan. Dio mempunyai sebuah sampan nang dipakeknyo melaut setiap hari. Pado maso tu, hasil tangkapan si Udin ni nam banyak'anlah, kocaklah dia, bisa dibolohnyo rumahnya dan rumah ongtuonyo dari yang semi-permanen menjadi permanen, batingkat pulak. Kolok pekaro isi rumahnyo, tak usahlah kito kaji lagi, longkap samuo parabotannyo, antah apo sajo ado.

Berkat didikan yang elok sejak kocik, Udin taronah sombong dengan keberhasilannyo. Dio dikonal masyarakat Sungei Nangko sebagai orang nang pemurah hati dan suko membantu orang yang berkesusahan.

Biarpun kocik luas wilayah Sungei  Nangko nang basabolahan samo Sungei Pasir dan Sungei Kepayang tu, tapi setidaknyo ado duolah kalobihannyo.

Nang pertamo, konon pada zaman Balando dulu orang di desa inilah yang menginspirasi orang Balando untuk manyingkat kato "Sungei" menjadi "Sei."

Bagini caritonyo. Bagi ong kampung tu, "Sungei" kadongaran lobih sodap doropado "Sungai."  Cocok, pikir hati orang Balando. Tapi manurut Balondo-Balando ini lobih paten lagi kolo disingkat "Sei." Sudahlah sodap kadongaran, pendek pulak, jadi mudah mangucapkannyo dengan lidah Indo-Eropa cabang Germanik Barat orang tu.

Nah, singkat carito singkatan ini pun lalu dibawa ong Balandolah manyobar ke mano-mano, misalnya Sungai Rampah menjadi Sei Rampah. Pokoknyo samuo tompat yang ado Sungainya diganti orang tu manjadi Sei.

Nang kaduo, kampung ni memang kocik-kocik cabe burung baya dah. Sungei Nangko ini sompat manolurkan beberapa artis takonal di ibu Kota. Salain nang kito sobutkan di atas (Ayu Anzahari), ado pula aktris papan atas seperti Rani Saroya anak wak Saroya, Sujannah (binti Binti'), anak Ucok Mangkuk bagolar wak Binti', nang tak memake namo balakangnyo, mungkin malu dio korno muko ayahnyo ponuh babinti'.
Dari kalangan penyanyi, ado namo-namo mocam Dian Pisosha anak wak Sosak yang menderita asma kronis, Tommy J. Pizza (nama aslinyo Lokot) anak abah Lokot nang masih basudaro samo wak Uteh, dan Rima Mawar yang namo aslinyo Rima Frida, dll.

Catatan Samping
Siapo pun ondaknyo janganlah layas dengan kota Tanjungbalai yo?
Satu-satunyo paranto yang mencubo mengadu nasib di Jakarto dan tak berhasil lalu balek kampung korno tak basadio mengganti namonyo adalah......... Ida Benzol.

Mungkin menurut teman-teman nang anehlah namo balakang si Ida ni jang. Tapi begini ceritonyo:

Senyawo benzena pertamo kali diisolasi dan diidentifikasi pada 1825 oleh Michael Faraday, seorang ilmuwan dari Inggris, dari residu baminyak dari gas nyala. Kemudian, pada 1833, Eilhard Mitscherlich menghasilkan benzena dengan manyuling asam benzoat dan senyawa anorganik nang mengandung kalsium, dan pada 1845, Charles Blachford Mansfield, nang bakorojo di bawah bimbingan August Wilhelm von Hofmann berhasil mengisolasi benzena dari tar batubara.

Nah, atok dari atok si Ida, Tok Laut golarnyo (bedakan dengan Tok Laut kito yang sekarang yo?) pornah dikasih ong Balando bea siswa untuk berkuliah di Jurusan Kimia Universitas Giessen Jorman dan satu kolas dan satu kos samo si Hofmann, bahkan Tok Laut sompat mengasih namo "Hotman" samo kawan kuliahnya ini sahingga lamo-lamo samuo orang pun menyapo "Hofmann" dengan "Hotman."

Sabolum berakhirnya abad ke-19 atau sebelum meninggalnya si Hotman pada 1892, beliau sompat datang batandang ke Tandjong Balei (namo kota kito maso itu) setelah babulan-bulan balayar dari Jorman nun, bajumpolah dio dengan Tok Laut yang manjomputnya dari Pelabuhan Labuhan Deli (maso tu bolum ado Pelabuhan Belawan).

Singkat carito, selamo berada di Tandjong Balei, sompatlah si Hotman ni baposan ke Tok Laut (dalam bahaso Tanjungbalai yang lumayan fasih):
"Kolok sekironyo ado cucu porompuan Incek nang lahir karang, tolong Incek kasihlah namo belakangnyo Benzol (bahasa Jorman untuk benzena) supayo pinomat adolah dikonang ong Tanjungbalai jugo senyawo penemuanku tu yo?"

Tok Laut manyahut singkat, "Yolah Cek Hotman."
Salosei bakombur, kedua ongtuo kito ni pun melanjutkan dengan kagiatan nang manjadi hobi basamo, bacokah!

Konon si Hotman ini pulaklah nang membawakan satu tong air dari Jorman dan membagikannyo kepado orang-orang di  sebuah kampung tak benamo nang mengalami kakoringan, lalu atas seizin seorang ambtenaar Balando dio pun menamokan kampung tu "Air Jorman" nang lamo-lamo berubah menjadi "Air Joman" yang kito konal sekarang (jangan dirancukan dengan istilah "joman" wak Uteh nang artinyo "jaman.")

Bertahun-tahun setelah si Hotman pulang ka Jorman, datanglah seorang sarjana teknik kimia banamo Heinrich Surbeck, seorang anak mudo kelahiran Halau, Swiss. Heinrich sompat memperdalam ilmu kimianyo samo Tok Laut, seniornyo. Pado tahun 1916, si Heinrich pindah ke Pematang Siantar dan mandirikan sebuah pabrik dengan nama Naamloze Vennootschap (NV) Ijs Fabriek Siantar, yang setelah kemerdekaan baganti namo menjadi PT. Pabrik Es Siantar. Perusahaan ini memproduksi es batu dan juga minuman basoda, jauh sabolum Coca-Cola diproduksi di Jakarta pado tahun 1932. Tok Lautlah nang memberikan namo "Badak" yang kemudian didaftarkan si Hendrich sebagai merek dagang minuman basoda tu.

Demikianlah...... tahun domi tahun pun berlalu, tapi tunggu punyo tunggu, tak ado pulak cucu Tok Laut ni nang porompuan, maka tona Herr Hotman tu pun ditoruskanlah ke katurunan cucu Tok Laut dan mulai generasi ke-6 terhitung dari Tok Laut, barulah ado katurunan orang tu nang porompuan, tak lain tak bukan adalah si ...... Ida.
Sayang seribu sayang, namo nang begitu elok tu malah menjadi tak elok korno disangko banyak orang Benzol tu maksudnyo (z ganti j yo? tak sampai hati aku menuliskannyo). Itulah baya asal muasal namo belakang si Ida nang satu ini, kolok dironung-ronungkan, alangkah kasihannyolah dio ni, manjadi kurban bonar namo.

Nah, balek ke carito si Udin.

Tapi sabolumnya kutambahkan dulu satu lagi aktris takonal asal Asahan, topatnya Sungai Loba (bukan Sei Nangko) nam banamo Eva Nammanja. Ayah si Eva ni tukang smokkel barang dari Port Klang dan akhirnyo menjadi warganegara Malaysia dan manotap di Sungai Pasir, Shah Alam, Malaysia, Dan punyo rumah kaduo di Sungei Besi Kuala Lumpur. Eva sandiri totap di Sungai Loba dan balakangan pindah rumah ke Lorong Pucuk, dokat rumah si Kamal Naslom, dan tarakhir pindah pulak ke Arkat (Arah ka Toluk), sehingga dia pun dipanggil orang Eva Arkat. Sabolum barangkat ke Jakarto, Eva Arkat sompat bajualan pisang tajopit di Lapangan Pasir, buko muloi jam 5 sore sampe habis jualannyo.
----------------
Bumi baputar
Musim baganti
Zaman beredar

Inilah ucapan almarhumah ibu Fatima, guru matematika saya di SMP Perguruan Sisingamangaraja Tanjungbalai.

Artis-artis nang kito caritokan di atas pun sudah hilang ditolan zaman, sadangkan penggantinyo pun tak jolas. Kinin zamannyo acara mocam KDI, Indonesian Idol, The Voice Kids Indonesia dsb.
Untung jugolah ado bakat-bakat mudo asal Tanjungbalai kinin, seperti Anisa Irawan dan Dalton Simanjuntak, anak sudaro Jhon James Simanjuntak, Kompasianer yang  kinin manotap di Medan. Upayo anak-anak ni untuk mamasyhurkan namo Tanjungbalai patut kito acung jempol duo (kiri dan kanan).

Kejayaan si Udin sendiri pun tampaknyo mamudar bak lampu strong king yang minyaknyo hampir habis, korno digorus dan digilas perkembangan zaman. Taringat hati ni, memang sudah lamo pukat langgar (yang menjadi salah satu panyobab kurangnyo tangkapan nelayan tradisional) dilarang, tapi nang menjadi masalah kinin adalah manusio ni batambah banyak dan sumberdayo laut tu banyak yang ditangkapi, biso kito tengok keadaan sekarang ni di Tanjungbalai, parah!

Apolagi kolok dulu cuma hasil laut nam paten-paten yang diekspor ke negeri-negeri jiran (udang galah, udang kelong, dll), kolo kinin apopun diekspor hah. Tahun lalu sewaktu balek bakunjung aku ke Tanjungbalai, kutengok ikan kombungnyo kocik-kocik tak mocam dulu, udang kecepe pun banyak ditangkapi, korang pun agak payah dicari, lanjar nasi lomak balauk sambal ikan pari asin pun tak ado lagi, baya dah. Kolo ado nang salah dengan penengokanku ni, tolong kawan-kawan boloh yo?

Keadoan mocam ni bapangaruh jugolah ke si Udin, bahkan sudah balangsung bertahun-tahun, siapo pun sodih manengoknyo.
Udin nang tadinyo babudi elok, tonang, dan rajin bebagi, kinin telah barubah menjadi pria separoh baya nang pamurung, mudah naik pitam dan saban hari sepanjang hari hontok di kode, menyontap kiro-kiro limo bungkus nasi lomak titipan adek Kamal (kadang kolok tak basalero dio memakan naslom, pogilah dio ke Sipori-pori manyontap ikan gule asam, itu kolok ado rajoki tambahannyo antah dari mano), atau hanyo sakodar makan miso Jl. Karya dio kolok pamasukannyo sadikit, atau mangunyah roti kelatak sambil maminum kopi (dan kadang ditungapnyo air putih bak jangan copat habis kopinyo), dan bakombur samo kawan-kawannya yang keadaannyo kurang lobih samo. Predikat Udin sebagai seorang dermawan pun tak palah diingat orang lagi, utamonyo generasi zaman now ni.

Baruntung bagi Udin, limo anaknyo jantan dan porompuan sudah tamat kuliah samuo dan sudah barumahtanggo samuo, punyo pakorojoan nang lumayan elok di Medan (belakangan ni tak taulah kito mocam mano parkombangan anak-anak kito tu).

Kiro-kiro 3 tahun yang lalu, tongah bakombur Udin di kode kopi, datanglah seorang orang tuo menghampiri dio. Ditopuk ong tuo nilah pundak si Udin dari muko, "Din!, kau konal lagi uwak?"
Dengan gayo agak malas, si Udin menatap orang tuo ni (balakangan bersitatapan orang tu). Setelah sepengisap sepertigo () batang rokok Djiesamsoe (perkiroan waktu sajonyo ini, si Udin sudah lamo baronti marokok), si Udin pun menyahut, "Wak Anzahari! Apo kabar? Mengapo lamo tak balek uwak?"

Wak Anzahari: "Adoi amak, panjanglah kolok kucaritokan. Si Ayu sepupumu tu semenjak menjadi aktris takonal nang rajinan kawin corei, tarakhir ong bule pulak lakinyo, wakmu ni hah tak dipatontunyo lagi hidupnyo, untunglah dengan duit pemberiannyo sompat wak boli rumah sederhana di daerah Bogor, dengan sebidang tanah yang lumayan bosar. Jadi wak dan wak porompuanmu ni sampai kinin hidup dari manjual hasil kobun kito berupa sayur-sayuran dan buah-buahan, itu pun belakangan ini tak palah tolap lagi kami mangurus kobun tu korno sudah tuo dan tak ado nang membantu. Uwak sampe baniat ondak manjual rumah dan kobun tu dan balek sajolah ke Sungei Nangko ni sambil manunggu dipanggil oleh nang Mahakuasa. Jadi,
Tinggalkan kampung pogi maranto
Hidup ditopang anak porompuan
Setelah tuo kesadaran datang jugo
Sei Nangko totap manjadi kerinduan."
(Kolo kito tengok carito tontang wak ni di atas, berarti tak jadi dio pindah balek ke Sungei Nangko, dan maklumi yo kolo rima pantun ni tak begitu sempurna, koromo yang mengarangnyo uwak-uwak).

Udin: "Oh, bagitu ruponyo kisah hidup wak tu yo. Sabarlah wak, di sini pun keadaannyo kurang lobih samo, tak jolas."

Korno biso dibayangkan apo nang dimaksud si Udin ni, taronyuhlah hati wak Ulong Anzahari mandongarkan carito anak dek Ongahnyo ni, mengapo agaknyo zaman bagitu kojam? Bukan pemalas bukan ong bodoh katurunan adeknyo, tapi mocam manolah pulak ondak mengubahkan keadaan?

Dirogoh wak Anzaharilah kantong celanonyo sabolah kanan, dikaluarkannyolah sapuluh (10) lombar duit Soekarno-Hatta dari dompet kulitnyo nang sudah lusuh dan dikasihkannyolah ke Udin.

Udin (terharu dan sonang): "Makjang, baribu-ribu tarimo kasih wak yo. Minumlah dulu uwak sabolum kito ke rumah. Karang kusuruh si Munah mamasak gule lomak."

Wak Anzahari: "Bah jadi. Tapi taringatnyo nak Udin, apo tak ado paningkatanmu nang menangkap ikan tu?"

Mandongar perkatoan waknyo, ondak naik lagilah pitam si Udin (hari tu di kode tu sudah sompat duo kali dio marah-marah, bahkan ado seorang budak pangunjung kode tu nang ditakiknyo lehernyo korno dianggapnyo puak labu dan anggar jago), untunglah diingatnyo bahwa nang badiri di mukonyo adalah uwak kandungnyo sendiri. Udin pun manjawab dengan gayo sadikit bepantun (tak ondak kalah samo uwaknyo):

"Tak basampan lagi aku kinin wak, hidupku kutopang dengan korjo mocok-mocok, malahan kadang-kadang korojo saribu tak korojo limo ratus, tapaksolah kuambek nang korojo tak korojo, saribu limo ratus! alias ontok di kode basamo kawan-kawan baru, korno kawan-kawan lamoku yang wak jugo konal mocam si Amir Foto, Lu Kok Siang, Ikhsan Kobal (Kocik tapi Bandal), Alpin (Ali Pincang), Juned Catuk, Bambang Lobo, Jalal Tenggen, Ucok Mangkuk, Iwan Dadah, si Asom (Aseng Ompong), kombar Tan Beng Hok dan Tan Beng Kok, Abie Luso, Amitablachan, Ebi Togap, Munir Gondut, pak Oesman Boeang, wak Abas, wak Gani, wak Sangkot, Haji Amir dll, sudah tak ado lagi di dunio ni.
Tongah masih ado sampan kito, ondak memboloh bagian nang rusak pun tak tolap aku korno tak baduit. Tapaksolah kujual murah sampan tu.
Baronti ka laut kucubo manarik becak,
tapi tak bebalen korno sewonyo cokak,
habis tu kucubo jadi kuli bangunan,
badan pun besakitan samuonyo kutahankan.

Adokan,
Korjo seharian limobolaslah kudapat,
sembilan bahan pokok naiknyo marambat-rambat,
rokok union palpal alias limo jahanam pun tak lagi taboli awak, bah... gawat
korno hargonyo kinin sudah balipat-lipat.

Apolagi,
Pas anak sodang sakit tak bisa awak bawak pogi barubat,
itulah nam mambuat dunio raso kiamat.

Untunglah si Munah biniku tu tabah menghadapi cobaan hidup. Kolo tidak mungkin dio sudah manompuh langkah mocam si Azlina, adik sepupunyo, 'coreikan aku, coreikan.'
Keadaan waktu itu bak kato pepatah:
'Buah kadokak buah kadokik,
dimakan ayah pokak tak dimakan omak batungkik.'

Atau maminjam istilah si Pii (Syafii Panjaitan Wak Uteh Group) dalam lagu 'Angin Koncang'
Balek ka rumah tak ado balanjo,
ditengok sange ikan tinggal tulangnyo,
singkap pariuk nasi tinggal koraknyo.

Untunglah lagi mintuoku tak galak dan suko mambontak-bontak mocam mintuo si Pii nang manuangkan kasodihannyo dalam lagu 'Badocak' yang liriknyo diciptakan oleh Syamsul Rizal (Tok Laut zaman now).

Untung jugolah lagi lagi (duo kali) baya ado kawan kito Zulhasan, sompat biniku dibaginyo korojo manjadi pemain dalam video clip lagu 'Takapar' nang diciptakannyo.

Singkat carito, longkaplah panderitaan tu wak. Sekarang uwak tanyokan pulak masalah paningkatan, inilah hah."
Sambil menjawab, si Udin pun togak badiri dan mancilakkan* punggungnyo dengan menyingkap bagian balakang baju kaosnyo yang takuyak  di sano sini.
"PANINGKATAN koto uwak, ini dio, panu nang di punggung tu dah MANINGKAT ka tongkuk.
Bukannyo ikan yang awak dapat,
torik matahari tu nang torus manyongat.
Untung bukan teritip nang tumbuh di badan hayat,
nang samangkin lamo samangkin ponat."

Udin pun menurunkan bagian balakang baju kaosnyo dan manunjuk ka tongkuknyo lalu duduk balek dan melanjutkan menyoruput kopinyo.
Orang-orang di kode kopi tu, termasuk wak Anzahari, tadiam saribu bahaso, ondak dibante orang tu tagolak takut orang tu mengamuk pulak si Udin karang, tak tagolak, goli raso hati orang tu.

Wak Anzahari pun bagumam: "Baya dah, salah bacakap aku bah. Agaknyo, eloklah tadi jangan memake kato paningkatan aku, kamajuan sajo."
Wahai Udin kamanakan uwak tercinta
Maafkan uwak atas tak bakonannyo kata
Mohlah anakda balek kito ke rumah
Sambil menunggu menyontap gule lomak si Munah.

*Mancilakkan (kata dasarnya cilak, bedakan dengan celak) belum masuk dalam KBBI, artinya menyingkapkan sesuatu dan menampakkan isinya, tercilak artinya tersingkap dan nampak isinya.

Jonggol, 13 April 2021
Mangonangkan teman-teman sekampung,

Johan Japardi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun