Mohon tunggu...
Johan Japardi
Johan Japardi Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Lulus S1 Farmasi FMIPA USU 1994, Apoteker USU 1995, sudah menerbitkan 3 buku terjemahan (semuanya via Gramedia): Power of Positive Doing, Road to a Happier Marriage, dan Mitos dan Legenda China.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hanya Gara-gara Satu Kata: Peningkatan

13 April 2021   07:00 Diperbarui: 24 April 2021   11:47 1568
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konon si Hotman ini pulalah yang membawakan satu drum air dari Jerman dan membagikannya kepada orang-orang di sebuah kampung tak bernama yang sedang mengalami kekeringan, lalu, atas seizin seorang ambtenaar Belanda, dia pun menamakan kampung itu "Air Jerman" yang lama-lama berubah menjadi "Air Joman" yang kita kenal sekarang (jangan dirancukan dengan istilah "joman" wak Uteh yang artinya "jaman.")

Bertahun-tahun setelah si Hotman pulang ke Jerman, datanglah seorang sarjana teknik kimia bernama Heinrich Surbeck, seorang anak muda kelahiran Halau, Swiss. Heinrich sempat memperdalam ilmu kimianya dengan Tok Laut, seniornya. Pada 1916, si Heinrich pindah ke Pematang Siantar dan mendirikan sebuah pabrik dengan nama Naamloze Vennootschap (NV) Ijs Fabriek Siantar, yang setelah kemerdekaan berganti nama menjadi PT. Pabrik Es Siantar. Perusahaan ini memproduksi es batu dan juga minuman bersoda, jauh sebelum Coca-Cola diproduksi di Jakarta pada tahun 1932. Tok Lautlah yang memberikan nama Badak yang kemudian didaftarkan si Hendrich sebagai merek dagang minuman bersoda itu.

Minuman Bersoda Cap Badak - Sumber: Wikipedia
Minuman Bersoda Cap Badak - Sumber: Wikipedia
Demikianlah...... tahun demi tahun pun berlalu, tapi tunggu punya tunggu, tak ada pula cucu Tok Laut ini yang perempuan, maka pesan Herr Hotman itu pun diteruskanlah ke keturunan cucu Tok Laut dan mulai generasi ke-6 terhitung dari Tok Laut, barulah ada keturunan mereka yang perempuan, tak lain tak bukan adalah si ...... Ida. Sekarang jelas bagi kita semua mengapa Ida bersikeras tidak mau mengganti namanya.
Sayang seribu sayang, nama yang begitu bagus itu malah menjadi tak bagus karena disangka banyak orang Benzol itu maksudnyo (z ganti j ya? tak sampai hati saya menuliskannya). Itulah asal muasal nama belakang si Ida yang satu ini. Kalau direnung-renungkan, alangkah kasihannyalah dia ini, menjadi korban benar nama.

Nah, kembali ke cerita si Udin.
Tapi sebelumnya saya tambahkan dulu satu lagi aktris terkenal asal Asahan, tepatnya Sungai Loba (bukan Sei Nangka) yang bernama Eva Nammanja (yang manja). Ayah si Eva ini tukang smokkel (menyelundup) barang dari Port Klang dan akhirnya menjadi warganegara Malaysia dan menetap di Sungai Pasir, Shah Alam, Malaysia, dan punya rumah kedua di Sungei Besi Kuala Lumpur. Eva sendiri tetap di Sungai Loba dan belakangan pindah rumah ke Lorong Pucuk, dekat rumah si Kamal Naslom (Nasi lomak/nasi lemak, nasi yang lebih gurih ketimbang nasi gurih) dan terakhir pindah pula ke Arkat (Arah ka Toluk/ke Teluk Nibung), sehingga dia pun dipanggil orang Eva Arkat. Sebelum barangkat ke Jakarta, Eva Arkat sempat berjualan pisang tajopit (terjepit) di Lapangan Pasir, buka kira-kira mulai pukul 5 sore sampai habis jualannya.

pisang-tajopit-6074fe33d541df5e6a40fd52.jpg
pisang-tajopit-6074fe33d541df5e6a40fd52.jpg
Pisang Tajopit: Tangkapan Layar.

----------------
Bumi berputar
Musim berganti
Zaman beredar

Ini ucapan almarhumah ibu Fatima, guru matematika saya di SMP Perguruan Sisingamangaraja Tanjungbalai.

Artis-artis yang kita ceritakan di atas pun sudah hilang ditelan zaman, sedangkan penggantinya pun tak begitu jelas. Kini zamannya acara macam KDI, Indonesian Idol, The Voice Kids Indonesia dsb. Untung jugalah kini ada bakat-bakat muda asal Tanjungbalai, antara lain Anisa Irawan, dan Dalton Simanjuntak, anak saudara Jhon James Simanjuntak Kompasianer, yang sekarang menetap di Medan. Upaya anak-anak ini untuk memasyhurkan nama Tanjungbalai patut kita acungi jempol dua (kiri dan kanan).

Kejayaan si Udin sendiri pun tampaknya memudar bak lampu strongking yang minyaknya hampir habis, karena digerus dan digilas oleh perkembangan zaman. Teringat hati ini, memang sudah lama pukat langgar, yang menjadi salah satu penyebab berkurangnya tangkapan nelayan tradisional, dilarang, tapi yang menjadi masalah sekarang adalah manusia bertambah banyak dan sumberdaya laut itu banyak yang ditangkapi, bisa kita lihat keadaan sekarang ini di Tanjungbalai, memprihatinkan!

Apalagi kalau dulu cuma hasil laut yang mantap-mantap yang diekspor ke negeri-negeri jiran (udang galah, udang kelong, dll), kalau sekarang apa pun diekspor hah. Tahun lalu sewaktu saya balik berkunjung ke Tanjungbalai, saya lihat ikan kembungnya kecil-kecil tak seperti dulu, udang kecepe (rebon) pun banyak yang ditangkapi, kerang pun agak sulit dicari, sampai-sampai nasi lomak berlauk sambal ikan pari asin pun tak ada lagi, sungguh menyedihkan. Kalau ada yang salah dengan pengamatan saya ini, tolong teman-teman perbaiki ya?

Keadaan macam ini berpengaruh jugalah ke si Udin, bahkan sudah berlangsung bertahun-tahun, siapa pun sedih melihatnya.
Udin yang tadinya berbudi elok, tenang, dan rajin berbagi, kini telah berubah menjadi seorang pria paruh baya yang pemurung, mudah naik pitam dan setiap hari sepanjang hari duduk di warung, menyantap kira-kira lima bungkus nasi lomak titipan adek Kamal (kadang kalau dia tak berselera makan naslom, pergilah dia ke Sipori-pori menyantap ikan gulai asam, itu kalau ada rezeki tambahannya entah dari mana), atau hanya sekedar makan miso*  Jl. Karya kalau penghasilannya sedikit, atau mengunyah roti kelatak (sejenis roti panggang) sambil meminum kofi, dan kadang ditelannya air putih banyak-banyak agar kofinya jangan cepat habis, dan bercakap-cakap dengan teman-teman yang keadaannya kurang lebih sama. Predikat Udin sebagai seorang dermawan pun sudah tidak begitu diingat orang lagi, utamanya generasi zaman now ini.

Miso = misop, kalau di Jawa timur maknanya: omongan jorok.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun