Mohon tunggu...
JOE HOO GI
JOE HOO GI Mohon Tunggu... Penulis - We Do What We Want Because We Can

Author Blogger, Video Creator, Web Developer, Software Engineer, and Social Media Manager in Jogjakarta, Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Antithesa yang Memblunder pada Gerakan Mahasiswa Era 1990-an

28 Januari 2017   02:22 Diperbarui: 5 Februari 2020   15:42 1105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kekuatan Gerakan Mahasiswa era 1990-an yang membawa frame perjuangan Asal Bukan Suharto tidak dapat disejajarkan dengan kekuatan yang ada pada semangat Gerakan Mahasiswa Angkatan 1966 yang membawa frame perjuangan Asal Bukan Sukarno. Jika Gerakan Mahasiswa 1990-an sebagai sang maker inti tunggal yang mempunyai hajat Asal Bukan Suharto sebagai frame perjuangannya, tapi berbeda dengan peta politik yang terjadi pada Gerakan Mahasiswa angkatan 1966, di mana kekuatan sebagai sang maker inti tunggal yang mempunyai hajat Asal Bukan Sukarno tiada lain Suharto sebagai orang nomor satu yang membawa kekuatan garis komando di tubuh militer Angkatan Darat yang mendapat dukungan dari Gerakan Mahasiswa angkatan 1966 dan kekuatan elemen rakyat yang anti Sukarno. Kondisi Asal Bukan Sukarno inilah yang puncak akumulasinya kemudian dapat menghapus sistem Orde Lama Sukarno secara sistematis dan massif melalui strategi pembiaran dan pembenaran terhadap pembantaian tiga juta anak bangsa sendiri yang diindikasikan sebagai pengikut Sukarno (Robert Cribb, 2005).

Kekawatiran Terbukti Setelah Kondisi Pasca Suharto

Sejak awal sudah saya sebutkan di atas bahwa kawan-kawan aktivis Gerakan Mahasiswa era 1990-an memiliki berbagai kepentingan ideologi yang berbeda satu dengan yang lainnya. Meskipun semangat militansinya sama-sama sebagai Asal Bukan Suharto, tapi tidak ada kekuatan krusial yang sanggup mengantarkan Indonesia Tanpa Orde Baru. Ini artinya, boleh jadi Suharto sudah tidak memiliki kekuasaan lagi, tapi para pengikut Suharto masih mempunyai peranan di sana-sini untuk mempengaruhi dan menunggangi para kelompok yang mempunyai andil dalam setiap peranan kehidupan berpolitik. Belum lagi dari kekuatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang masih aktif, yang notabene sudah 32 tahun terbina secara solid, sistematis dan massif tentunya tidak begitu mudah mengikis peranan figur Suharto yang tertanam dalam diri setiap prajurit.

Kekuatan Gus Dur sebagai Presiden pun tidak kuasa menghadapi kekuatan-kekuatan yang tersembunyi dari peranan para pengikut Suharto yang merasa diuntungkan oleh sistem Orde Baru ini. Tidak dipatuhinya Dekrit Presiden hingga diberhentikannya Gus Dur di tengah jalan sebelum masa tugasnya habis sebagai Presiden telah membuktikan betapa masih kuatnya sistem Orde Baru yang masih tertanam pada para pengikut Suharto. Peranan Gus Dur sebagai figure Islam yang pluralis tentunya akan dibenturkan dengan kelompok Islam yang dulu pernah menolak Asas Tunggal Pancasila dan anti komunis. Dibukanya ruang berkumpul dan berserikat yang dulu tidak pernah terjadi pada kekuasaan Suharto, justru oleh para pengikut Suharto yang merasa diuntungkan oleh sistem Orde Baru telah memanfaatkan situasi dengan mendanai kelompok-kelompok Islam intoleran anti pluralis dan anti komunis untuk membentuk wadah organisasi masyarakat.

Kondisi masih kuatnya para pengikut Suharto yang merasa diuntungkan oleh sistem Orde Baru inilah yang telah membuat Indonesia tidak bisa keluar dari masa kritis, bahkan boleh jadi Indonesia berada dalam tungku sekam membara yang sewaktu-waktu bisa meledak kapan saja dalam konflik horisontal tanpa berkesudahan. Konflik horisontal bernuansa SARA sengaja diciptakan di sana-sini oleh kekuatan para pengikut Suharto yang merasa diuntungkan oleh sistem Orde Baru untuk memecah belah konsentrasi elemen kekuatan yang mengusung kekuatan anti Orde Baru. Konklusinya oleh karena begitu kuatnya para pengikut Suharto yang merasa diuntungkan oleh sistem Orde Baru memainkan peranannya, maka tidak satu pun kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa rezim Suharto dapat tuntas terselesaikan seperti kasus genosida pasca 1965, Talangsari, Tanjung Priok, Marsinah, pembunuhan wartawan Bernas Udin, penculikan aktivis dan pembunuhan mahasiswa Trisakti.

Bahkan kasus pembunuhan aktivis Munir yang terjadi di era pasca 1998 tepatnya pada pemerintahan Megawati justru telah membuktikan betapa masih kuatnya para pengikut Suharto yang merasa diuntungkan oleh sistem Orde Baru yang telah memainkan peranannya dalam era sistem Reformasi pasca Suharto. Gejala ini justru mengingatkan kepada kita semua yang masih menanamkan semangat anti Suharto, betapa Suharto sebagai figure an-sich dapat mati, tetapi semangat sistem Orde Baru pada para pengikut Suharto masih terus bergelora dan tidak akan pernah mati. Semakin banyaknya ormas yang membawa misi perjuangan intoleran dan anti pluralis yang semakin tahun semakin berkembang biak dan beranak pinak ke tengah khayalak masyarakat Indonesia telah membuktikan betapa ruang gerak penegakan Demokrasi, Hak Asasi Manusia (HAM) dan semangat anti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang dijadikan lokomotif cita-cita sistem Reformasi semakin sempit dan nyaris tidak ada ruang lagi.

Kalau kondisinya sudah corat-marut seperti ini, di mana Indonesia sudah mengalami pergantian Presiden sebanyak lima kali dari Prof.Dr.H.Bacharuddin Jusuf Habibie alias BJ Habibie, Dr.K.H.Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Dr.Hj.Dyah Permata Megawati Setyawati Sukarnoputri alias Megawati Sukarnoputri, Jend.TNI (Purn) Dr.H.Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY sampai Ir.H.Joko Widodo alias Jokowi selama dalam era pasca 1998, tapi kondisi yang terjadi di mana penegakan Demokrasi, HAM dan semangat anti KKN yang dijadikan lokomotif dari cita-cita sistem Reformasi justru selalu berakhir kandas sebagai potret wacana yang clemang-clemong tanpa berkesudahan. Kondisi ini justru mengingatkan kepada prediksi kekawatiran saya ketika saya masih intens terlibat sebagai aktivis Gerakan Mahasiswa era 1990-an betapa apa yang telah diperjuangkan oleh Gerakan Mahasiswa era 1990-an yang mengusung semangat Asal Bukan Suharto sebagai frame perjuangannya betul-betul telah mengalami antithesa yang memblunder dalam dirinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun