Mohon tunggu...
Ali
Ali Mohon Tunggu... Lainnya - Bekasi

Bekasi Bekasi Bekasi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sahabat Lama

1 Januari 2022   08:00 Diperbarui: 7 Januari 2022   19:07 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by ROMAN ODINTSOV on Pexels.com 

Keputusanku memilih berteduh di rumah mewah bercat putih itu lebih karena teras parkirnya yang luas—tempat yang kupikir aman untuk berlindung dari terjangan hujan deras. Hari sudah menjelang malam, tidak ada lampu rumah dinyalakan, yang artinya tidak ada penghuni di dalamnya. Namun, itu baru kesimpulan awal, mungkin pemilik rumah sedang berpergian dan bisa balik kapan saja, lagi pula, bukankah di saat-saat badai begini listrik memang sengaja dimatikan?

Selama sekitar sepuluh menit aku masih berdiri di teras parkir, tapi karena angin kencang yang tidak beraturan, aku pun berpindah ke sisi kanan rumah dan berlindung di celah ruang belakang. Di bagian ini memang relatif lebih aman, dindingnya menghalangi tiupan angin dan hujan, hanya percikan air lumpur yang berhasil mengenai bagian bawah tubuhku. Hujan badai seperti ini bisa berlangsung seharian atau sampai keesokannya, tapi aku belum berencana keluar dari rumah ini. Untuk mengisi waktu, aku memutar Wuthering Heights di kepalaku dan bersenandung.

Lalu, kulihat pintu di sampingku terbuka. Aku mendorongnya lebih lebar, dan terpikir untuk masuk ke dalam. Aku tahu tindakanku bisa saja berakibat fatal karena aku akan dianggap pencuri, akan tetapi, di sisi lain, aku berharap hati sang pemilik rumah akan terenyuh saat melihatku menggigil kedinginan, meskipun kemungkinan itu sangat kecil terjadi.

Aku melangkah masuk; air merembes keluar dari sepatu ke lantai, juga menetes dari pakaianku yang basah. Aku akan mengelapnya nanti, pikirku, tapi untuk saat ini aku lebih memikirkan diriku dulu. Kulepas sepatuku dan menyandarkannya ke dinding; jari-jari kakiku pucat dan mengerut. Lalu kulepas bajuku, memerasnya di tempat cuci piring, mengibas-ngibasnya dan menggantungnya di sandaran kursi. Aku baru akan melepas celana jinsku ketika tiba-tiba kompor di belakangku menyala—aku bersumpah, tidak ada orang yang menyalakannya. Hantukah?

Apa yang terlintas di pikiranku tidak lebih menakutkan dari keadaan di luar; suara angin menderu-deru, cahaya kilat menyambar-nyambar dan gelegar halilintar yang sesekali mengejutkanku. Aku menghangatkan tubuh di dekat kompor selama sepuluh menit, lalu melepas celana jinsku dan menggantungnya di pintu. Waktu kembali ke kompor, kutemukan laci paling atas sudah terbuka dan kulihat di dalamnya ada beberapa batang lilin. Aku kemudian menyalakan sebatang lilin dengan api kompor dan meletakkannya di atas meja marmer; terlihat peralatan dapur tersusun rapih di atas meja dan berbaris di gantungan. Lalu kunyalakan satu lilin lagi. Aku baru akan melangkah pergi ketika tiba-tiba api kompor mati sendiri.

Aku selanjutnya berpindah ke ruang tengah. Dari sini kusimpulkan rumah ini benar-benar kosong karena semua perabotan ditutupi kain putih. Kutarik satu kain penutup meja untuk menutupi tubuhku, kemudian pergi ke sisi kanan yang bersebelahan dengan sebuah kamar yang terkunci dan ruang makan utama, lalu menuju ruang tamu yang luas, dan lewa jendela aku melihat ke arah jalanan yang diselimuti kabut air dan pohon-pohon di tepi jalan yang diterjang angin puyuh.

Setelah itu aku kembali ke ruang tengah, meletakkan lilin di atas meja, lalu duduk di atas sofa yang nyaman sambil memeluk dua kaki dan memandangi api lilin yang menari-nari tertiup angin. Sebentar saja aku sudah tertidur. Aku terbangun lewat tengah malam saat listrik sudah menyala; sinar lampu menyilaukan mataku dan samar-samar terdengar Wuthering Heights. Lagu itu tidak berputar di kepalaku, melainkan ada seseorang yang menyetelnya, tapi aku masih terlalu mengantuk untuk mencari tahu.

Keesokan paginya aku bangun dalam keadaan segar bugar; hujan masih belum berhenti, tapi cahaya matahari sudah terlihat. Hawa dingin membuatku terus-terusan berbalut kain putih yang terseret-seret sewaktu berjalan ke dapur. Aku membuka lemari es, tapi tidak ada makanan sama sekali di dalamnya, pun dengan rak dapur yang sudah aku geledahi sampai ke sudut-sudutnya.

Aku kemudian naik ke lantai atas, menaiki tangga dengan hati-hati, melihat dari balkon jalanan yang porak-poranda akibat pohon-pohon yang bertumbangan, lalu pergi ke bagian lain; memutar gerendel pintu tiap pintu kamar yang terkunci, mengintip ke kamar mandi, membaca judul-judul buku di atas rak di ruang santai, menaiki tangga menuju lantai tiga; melongok sebentar loteng yang gelap dan sunyi, dan kembali ke lantai ke bawah.

Sewaktu melintasi ruang makan utama, kulihat di meja sudah tersaji roti panggang madu kesukaanku dan secangkir kopi hitam. Bagaimana mungkin? pikirku, padahal barusan aku ke dapur tapi tidak ada makanan di sana. Mungkin sarapan itu dibuat untuk orang lain, tapi untuk siapa? Tidak ada siapa-siapa di rumah ini selain aku. Kemudian, tiba-tiba saja kursi meja makan bergeser ke belakang. Dengan ragu aku melangkah menuju kursi itu, mendudukinya, lalu menyantap roti panggang itu sedikit-sedikit; tidak ada efek apapun setelah menghabiskannya, selain rasa lezat dan kenyang—kopinya juga lumayan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun