“Tidak. Tidak sama sekali,” jawabku. “Tapi aku pasti ingat seandainya kau memberitahu nama lengkapnya, seperti halnya aku bisa mengingatmu setelah kau mengatakan nama lengkapmu—Pinto Ricardo. Sekarang katakan, siapa nama lengkap Sarah?”
“Sarah Lipsey,” jawabnya. “Itu namanya.”
Aku seakan mendapatkan senter yang lain, yang menyinari lorong kenangan antara aku dan Sarah Lipsey. Aku ingat wajah cantiknya, rambutnya yang sebahu, kulitnya yang kecoklatan dan matanya yang hitam. Dia perempuan pintar dengan prospek cerah. Sayangnya, hubunganku dengan Sarah berakhir karena kebodohanku, yang disebutnya aku seorang perokok berat, pemabuk dan pecandu narkoba.
“Kau sudah mengingatnya?”
Aku mengangguk, dan berkata, “Katakan padaku, di mana Sarah sekarang? Aku menyesal sudah menyia-nyiakannya. Lalu, bagaimana keadaanku setelah itu? Aku harus tahu apa yang terjadi padaku. Di mana aku sebelum di sini? Di mana aku seminggu yang lalu? Di mana aku sebulan yang lalu? Apa yang sudah kuperbuat selama ini? Kalau kau tidak mau memberitahuku, setidaknya kauberitahu nama lengkapku, karena itu akan menjawab semua pertanyaanku. Kumohon.”
“Dulu aku punya cukup banyak pasien sepertimu, yang tiba-tiba kehilangan ingatan. Ada yang sementara. Ada yang permanen. Ada juga yang berpura-pura. Kasusmu bukan yang terparah, tapi jika kau mampu mengingat kembali masa lalumu, maka kau akan bertambah sedih. Aku paham apa yang terjadi padamu, dan ini saat yang tepat untuk melupakan masa lalu. Tidak ada gunanya mengingat-ingat, lagi pula, kau tidak punya nama belakang. Setahuku, dan memang faktanya, namamu hanya Alex. Sobat, kau sudah kehilangan aku dan juga Sarah, pastinya kau tidak ingin kehilangan dirimu.”
Aku terdiam sejenak dan berkata, “Jadi, bagaimana keadaan dia sekarang?”
“Dia sehat walafiat. Dia bahkan baru datang ke makamku minggu kemarin. Oh, dia sangat cantik. Dia meletakkan mawar merah di nisanku dan menangis saat mengenang masa-masa kita di sekolah dulu. Dia juga bercerita tentang dirimu. Ya, tentu saja dia menangisimu. Dia berkata, ‘Kenapa? Kenapa kau melakukannya?’ Yang dimaksudnya adalah, kenapa kau bunuh diri—menembak kepalamu dengan pistol. Sobat, aku tahu kenapa kau melakukannya, dan aku yakin kau sangat menyesalinya. Kau beruntung tidak ingat peristiwa itu sehingga kau tidak dibayang-bayangi rasa bersalah. Tidak seperti aku, yang perlu waktu berminggu-minggu untuk melupakan kejadian malam aku dibunuh dan berminggu-minggu lagi untuk memaafkanmu.”
***