Mohon tunggu...
Ali
Ali Mohon Tunggu... Lainnya - Bekasi

Bekasi Bekasi Bekasi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sahabat Lama

1 Januari 2022   08:00 Diperbarui: 7 Januari 2022   19:07 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by ROMAN ODINTSOV on Pexels.com 

“Siapapun Anda … atau apapun Anda!” seruku, “aku ucapkan terima kasih,” aku membungkuk demi menghormati tuan rumah yang baik hati.

Ternyata, orang yang kubicarakan sudah menampakkan dirinya, sedang menuruni tangga; ia berusia kira-kira 27 atau 28, badannya tegap, wajahnya tampan dan ramah. Begitu tiba di anak tangga terakhir, ia berkata,

“Suka masakanku, Alex?”

Aku belum sempat menjawab, tapi ia sudah melanjutkan.

“Kau boleh menaruh kain itu lagi di tempatnya, aku sudah menyiapkan pakaian untukmu,” ia menunjuk pakaian di atas meja di sebelahku.

Sambil mengenakan pakaian baru, aku mengingat-ingat siapa laki-laki itu—ia pastinya orang yang pernah kukenal karena ia tahu namaku. Memang, belakangan ini aku kesulitan mengingat sesuatu, sedangkan ingatanku hanya sampai kemarin sore. Aku bahkan tidak tahu dari mana aku sebelum tiba di rumah ini. Meski begitu, ada satu hal yang kuingat betul selain namaku, yakni lagu Wuthering Heights itu.

Ia tersenyum melihatku sudah mengenakan pakaian yang mirip dengan yang dipakainya; sweter berkerah tinggi dan celana panjang, hanya beda di warna; aku memakai pakaian berwarna coklat, sedangkan ia memakai pakaian serba hitam. Aku, yang merasa canggung, bertanya,

“Apakah kita pernah saling kenal?”

“Namaku Pinto Ricardo, teman SMA-mu. Ingat?”

Dan di sinilah keajaiban itu terjadi, yang kumaksud adalah cara otak bekerja; ketika sudah mendapatkan satu atau dua kata sebagai petunjuk pengingat, maka serangkaian ingatan datang kemudian. Rangkaian itu berupa garis lurus, seperti berada di suatu lorong gelap dengan senter di tangan dan yang terlihat hanya jalan di depan. Nama Pinto Ricardo adalah senternya, sehingga, apa pun yang terkait aku dan Pinto, maka aku bisa mengingatnya. Akan tetapi, setiap senter punya batas jangkauan cahaya, dan aku tidak bisa mengingat di luar hal itu; seperti halnya aku tidak bisa mengingat masa laluku meski aku ingat namaku—senterku mati.

Aku tahu Pinto sejak awal masuk SMA, tapi baru kenal betul enam bulan kemudian, ketika ia menemukanku sedang membaca Wuthering Heights dan berkata,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun