Kapal pertama bangsa Eropa yang berlabuh di pelabuhan Sunda Kalapa milik kerajaan Pajajaran terjadi pada tahun 1513. Yakni empat kapal Portugis yang dipimpin oleh de Alvin. Mereka datang dari Malaka, yang dua tahun sebelumnya dikuasai oleh Alfonso d'Albuquerque.
Kelimpahan hasil bumi melalui pelabuhan Sunda Kalapa ini telah memikat pemimpin-pemimpin Eropa utamanya Portugis yang bermarkas di Malaka untuk menjalin hubungan dengan kerajaan Pajajaran dengan maksud membangun benteng di Sunda Kalapa.
Ketika itu para pedagang Eropa mempunyai obsesi untuk menjadi pusat produksi tanaman lada. Oleh karena itu, Portugis dengan antusias melakukan perjanjian dengan Pajajaran (1522), dengan harapan akan menguasai perdagangan lada di pelabuhan Sunda Kalapa.
Pajajaran mengizinkan Portugis membangun benteng (lodji) di Sunda Kalapa, karena kekawatiran kekuasaannya terancam kekuatan-kekuatan kerajaan Islam Demak, Cirebon dan Banten di Pesisir Jawa.
Tetapi belum sempat Portugis mendirikan benteng di Sunda Kalapa, keburu pada tahun 1527 kota pelabuhan kerajaan Pajajaran ini diserbu dan dikuasai oleh armada perang Fatahillah atau Faletehan, menantu Sultan Demak yang juga laksamana perang kerajaan Cirebon.
Sunda Kalapa pun diganti namanya jadi Jayakarta oleh Faletehan. Dan setelah berhasil mengislamkan Banten, maka Jayakarta pun berada di bawah kekuasaan Banten.
Sejak 1527 itu, selama beberapa dasawarsa abad ke-16, Jayakarta banyak dihuni oleh orang-orang Banten yang terdiri dari mereka yang berasal dari Demak serta Cirebon.
Sementara kerajaan Pajajaran sendiri, kemudian hancur lebur  diserbu oleh Banten -- yang dipimpin sultan-sultan anak Sunan Gunung Jati Cirebon -- pada tahun 1579.
Keruntuhan kerajaan Hindu terakhir di Jawa itu ditandai dengan diboyongnya Watu Gilang alias Palangka Sriman Sriwacana alias singgasana pelantikan raja Pajajaran dari Pakuan. Singgasana lambang kerajaan Pajajaran ini diboyong oleh Sultan Maulana Yusuf pemimpin Kesultanan Banten, dan sampai kini Watu Gilang ini masih bertahan di Banten.
Sebelum diruntuhkan oleh Banten, raja terakhir Pajajaran Siliwangi sempat mengirimkan empat utusan yang disebut sebagai Kandaga Lante (empat bupati setingkat patih) ke kerajaan Sumedang Larang untuk mengamankan mahkota lambang kerajaan Pajajaran, yang disebut sebagai Mahkota Bino Kasih serta sejumlah pusaka utama kerajaan Pajajaran. (Pusaka-pusaka ini masih tersimpan baik di Sumedang Larang sampai hari ini).
Maksud kedatangan Kandaga Lante, yang terdiri dari Sanghyang Hawu atau Jaya Perkosa, Batara Dipati Wiradijaya alias Nangganan, Sanghyang Kondanghapa, serta Batara Pancar Buana alias Terong Peot ke Sumedang, membawa mahkota dan sejumlah pusaka utama Pajajaran, tentunya agar kerajaan Sumedang Larang yang sudah eksis sejak abad ke-8 itu, untuk meneruskan kekuasaan kerajaan Sunda.