Kesadaran yang Terhambat: Ini sering terjadi. Pelaku sebenarnya punya hati nurani dan bisa berempati, tapi kesadarannya "terhambat" atau terdistorsi oleh alasan lain. Misalnya, "Ini demi ideologi yang benar", "Saya hanya menjalankan perintah atasan", atau "Semua orang juga begitu." Korupsi atau cyberbullying sering masuk kategori ini.
Non-Reflektif: Dalam kasus ini, pelaku tidak memiliki kapasitas reflektif sama sekali, seperti penderita psikopati ekstrem. Ini tidak dikategorikan sebagai pengkhianatan moral yang disengaja, karena mereka tidak punya "cermin hati nurani" yang bisa digunakan.
Mari Bersama Menggunakan Cermin Hati Nurani Ini
Gagasan ini bersifat universal. Tidak peduli dari budaya mana kita berasal, prinsip "perlakukan orang lain sebagaimana Anda ingin diperlakukan" selalu ada dalam berbagai bentuk. Ini adalah "Aturan Emas" yang menjadi dasar empati dan moralitas.
Jadi, lain kali ketika kita melihat sebuah tindakan, baik itu di media sosial, di lingkungan kerja, atau bahkan dalam diri sendiri, mari berhenti sejenak. Angkatlah "cermin hati nurani" dan tanyakan pada diri sendiri: "Apakah saya mau jika ini menimpa saya?"
Jawaban dari pertanyaan sederhana itu bisa menjadi panduan paling jujur untuk menilai sebuah kejahatan, dan yang lebih penting, untuk menjadi manusia yang lebih baik. Bagi Anda yang ingin mendalami lebih lanjut gagasan ini dari perspektif filsafat ilmiah, pemikiran mengenai Kejahatan Reflektif Ontologis dapat ditemukan dalam makalah berjudul "Ontological Reflective Evil: A Philosophical and Empirical Framework for Universal Ethics Based on Self-Empathic Reflection."Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI