Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Soal Kontestan dari TNI dan Polri

2 Januari 2018   19:11 Diperbarui: 2 Januari 2018   19:18 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Tapi memang berbagai upaya menegakkan supremasi masyarakat sipil selama 20 tahun terakhir ini, berjalan tertatih-tatih. Tanpa peran tentara yang hampir tiada --- di tengah euforia kebebasan sistem demokrasi baru yang kita elu-elukan --- kehidupan sosial politik kita justru berkembang liar sekaligus menakutkan. Sebab faham-faham radikal menemukan celah dan peluangnya untuk berkembang. 

Semua berakar pada rentang kesenjangan yang terlanjur sangat lebar. Bukan hanya tentang kesejahteraan "ekonomi" tapi juga tingkat "pendidikan" dan akses "politik kekuasaan".

Joko Widodo bersama dengan Kabinet Kerjanya memang mendaya-gunakan "sumberdaya" militer untuk mengisi "kekosongan" yang dbutuhkan untuk menunjang program-program pembangunan yang dicanangkan. Sama sekali bukan demi agenda kekuasaannya. Misalnya dalam hal pembukaan lahan persawahan dan berbagai pembangunan infrastruktur di daerah terpencil. 

Juga dalam hal penjagaan dan upaya menegakkan ketertiban di sejumlah obyek vital seperti bandara dan pelabuhan laut. Hal yang semestinya kita sikapi sebagai kewajaran gotong-royong dan bahu membahu --- yang sekali lagi --- untuk mengisi kekosongan sementara waktu.

Tapi radikalisme terlanjur berkembang hampir lepas kendali, setelah UU Ormas sebelumnya sempat membuka celah bagi faham-faham yang bertentangan dengan semangat persatuan dan kesatuan bangsa, berkembang. 

Sebelum Peraturan Pengganti UU Ormas tersebut diterbitkan kemarin, atmosfir republik ini kembali dijejal dengan gosip kebangkitan komunisme dan maraknya faham khilafah. Hal yang telah merenggut begitu banyak energi bangsa ini, ditengah besarnya kebutuhan untuk mengejar ketertinggalan pembangunan agar mampu memeratakan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh masyarakatnya, serta bersaing di pentas dunia.

Jenderal Gatot Nurmantyo --- Panglima TNI sebelum ini --- berulang kali "tampil" di tengah issue politik yang berkembang itu. Dibandingkan dengan panglima-panglima lain paska Reformasi 1998, sepak terjang dan keterlibatannya pada berbagai issue non-militer terekam cukup intens. 

Sejumlah jajak pendapat kemudian membuktikan bahwa issue perpecahan dan keutuhan bangsa mengemuka dan menjadi penting bagi masyarakat kita. Tak sedikit yang memimpikan hadirnya kembali sosok militer di tengah kancah kehidupan sipil. Kemungkinan karena berharap pada disiplin dan ketegasan yang dicitrakan sosok-sosok di lingkungan angkatan bersenjata tersebut.

Adalah lucu dan sangat keliru, jika  fenomena peningkatan popularitas (mantan) tentara maupun polisi sebagai calon-calon pemimpin masyarakat sipil, berkembang luas di seantero Nusantara hanya karena memimpikan sosok-sosok yang tegas dan "mampu menjamin keamanan" seperti mereka.

Dalam hal ini, saya tidak sepakat dan tidak rela jika dikatakan masyarakat sipil Indonesia telah gagal mengkonsolidasikan dirinya. Sebab ketertiban dan keamanan sejatinya hanyalah konsekuensi logis dari pemerataan dan keadilan sosial, ekonomi, politik, dan budaya.

Bukan sebaliknya.

Jilal Mardhani, 2 Januari 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun