Mohon tunggu...
Jihad Talib
Jihad Talib Mohon Tunggu... Lainnya - Aktif dalam sosial humaniora

Hidup titian untuk memahami hakikat diri. Hakikat diri dengan Maha Pencipta, dengan alam semesta, dan dengan sesama manusia. Hanya dengan memahami diri, hidup akan menjadi lebih bermakna.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Yang Muda dan Pemartabatan Bahasa Konjo yang Terancam Punah

24 Maret 2022   19:55 Diperbarui: 24 Maret 2022   22:15 725
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Hari Bahasa Ibu Internasional, 21 Februari baru saja  diperingati termasuk di Indonesia. Kita ketahui bahwa di Indonesia terdapat 1.100 bahasa daerah yang digunakan oleh 714 suku.  Dari jumlah tersebut, Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Kemdikbud berhasil mendokumentasikan 652 bahasa daerah.  

Sayangnya, seiring dengan perjalanan waktu, perbincangan mengenai bahasa daerah menjadi topik yang kurang populer bagi generasi muda khususnya milenial. Terlebih lagi jika akan diajak untuk membahas mengenai  pentingnya penggunaan bahasa ibu dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam kesehariannya, kita menyaksikan bahwa generasi milenial umumnya secara tidak sadar telah mengabaikan seluruh pemikiran, perasaan, dan keyakinannya akan pentingnya bahasa ibu. Sikap bahasa terhadap bahasa ibunya dirasakan mulai pudar akibat terpaan modernisasi. Kecenderungan tersebut terjadi karena desakan penggunaan bahasa Indonesia, bahasa asing  dan bahasa daerah tertentu yang dianggap lebih berprestise.

Pengikisan Sikap Bahasa

Sebagai penutur bahasa Konjo, pernah mengalami kekagetan dan keprihatinan pada tahun 2019.  Mengapa?  Secara tidak terduga Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa mengabarkan  bahwa bahasa Konjo masuk daftar sebagai bahasa daerah di pulau Sulawesi  yang terancam punah.  Terancam punah karena penutur bahasa Konjo hanya didominasi usia 20 tahun ke atas dan relatif sedikit. Bahkan, penggunaan bahasa Konjo sebagai bahasa ibu dalam lingkungan keluarga muda cenderung tidak diajarkan lagi kepada anak mereka.   

Bagi saya, kabar tersebut sangatlah mengejutkan sekaligus sebagai alarm bahwa bahasa Konjo sudah mengalami “krisis penutur”. Krisis penutur generasi muda yang tidak sadar telah mengikis  bahasa ibunya. Muncul gejala bahwa bahasa Konjo mengalami peminggiran dalam kehidupan sehari-harinya. Mereka mulai melakukan peralihan bahasa Konjo dengan bahasa Indonesia, bahasa Konjo dengan bahasa Bugis, bahkan bahasa Konjo cenderung dilupakan dalam interaksi sosial sehari-hari. Bahasa Konjo seolah kurang berprestise seperti bahasa Bugis dan bahasa Indonesia.  Ibaratnya bahasa Konjo seperti kerakap tumbuh di atas batu, hidup enggan, mati tak mau.

Pengikisan dan pergeseran penggunaan bahasa Konjo oleh generasi milineal yang terjadi secara terus-menerus dapat menyebabkan tradisi, sastra lisan, dan sebagai bahasa ibu sedang menuju kondisi “sakit parah”, “kritis” dan akhirnya mengalami “kematian”. Misalnya, kelong a’basing yang menggunakan bahasa Konjo di masyarakat Amma Toa suku Kajang seperti yang diberitakan di https://budaya-indonesia.org/ bahwa  pemain  a’basing umumnya berusia lanjut, ironisnya generasi muda yang tertarik untuk belajar memainkannya dan menyanyikannya hampir tidak ada. Kekhawatiran kelong a’basing menuju kepunahan sisa menunggu waktu.  

Kenyataan ini menunjukkan kepada kita, bahwa sastra lisan dan tradisi adat yang menggunakan bahasa Konjo sebagai bahasa ibu secara perlahan telah mengalami pergeseran dan pengikisan. Pergeseran dan pengikisan tersebut tanpa disadari akan memengaruhi pewarisan berbagai bentuk budaya. Misalnya, proses pewarisan Pasangnga ri Kajang, andingingi, kelong a’basing, attunu pangroli, pabbitte passapu, pamali, dan kelong ajjaga.  

Penggunaan bahasa Konjo dalam tradisi lisan Pasangnga  ri Kajang, pamali, dan kelong ajjaga. Misalnya  tabe’ bentuk ketakziman yang tidak hanya ditujukan kepada manusia, namun juga kepada alam (Reskiani et al., 2021). Pamali yang diungkap oleh (Muhammad Yusuf Abdullah, Reski Dian Utami, 2018) misalnya, kasimpalli ammake panggalasa bangkeng (pamali menggunakan alas kaki), kasimpalli anggalle parring ri borong ada’a (pamali mengambil rotan di hutan adat), kasimpalli nu makkala na lohe bicaranna buru’nea tu disalaia mate ri bahinenna pakungjo todo bahinea tu disalaia ri buru’nenna (jangan tertawa dan banyak bicara suami yang istrinya meninggal begitu pun istri yang meninggal  suaminya).

Kelong ajjaga, yang diungkap oleh (Yeri, 2021) misalnya Sombereaji mallabbang, tunayyaji ma’guliling, tinggi langga kanacallaki taua (kemurahan hati yang menyebar, kerendahan hatilah menyelimuti, sombong  dicelah manusia). Tradisi lisan di atas mengandung nilai luhur, moral, dan tuntunan mulia dalam kehidupan.

Pemartabatan Bahasa Ibu 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun