Lemang adalah masakan tradisional yang dimasak dalam seruas atau dua ruas bambu dan berisi beras ketan yang bagian bambunya terlebih dahulu dilapisi dengan daun pisang.
Bagi masyarakat Indonesia, masakan ini sudah bukan hal baru lagi. Terutama bagi masyarakat Muslim Minangkabau. Penganan ini biasanya menjadi juadah hari-hari istimewa seperti Maulid Nabi, Isra' Mi'raj, menyambut Ramadhan dan hari Raya. Masakan seperti ini akan mudah di temukan hampir  di setiap rumah penduduk.
Proses pembuatannya juga tidaklah sederhana. Biasanya, berasnya di siapkan terlebih dahulu. Direndam beberapa jam sebelum di aduk dengan bumbu-bumbu  lainnya.
Setelah beberapa jam, beras di keringkan. Lalu di campur dengan santan bawang goreng, garam dan lainnya. Setelah di aduk rata. Selanjutnya, semua adonan akan dimasukkan kedalam bambu yang sudah dilapisi daun pisang, kemudian dibakar.
Lemang ketan atau lemang Sipuluik di Minang masih bertahan hingga sekarang sebagai kuliner khas meskipun di gores masa. Bahkan sekalipun bukan hari besar tertentu, lemang juga bisa di temukan di pasar tradisional.
Menyambut bulan Ramadan, Lemang kembali jadi pilihan favorit terutama di daerah-daerah adat di Sumatera Barat. Namun sekarang lebih banyak yang membeli di pasar dari pada membikin sendiri.Â
Meskipun masih ada banyak orang yang melakukannya, generasi z  kebanyakan tidak mengetahuinya lagi. Sebagai kearifan lokal ini patut menjadi kekhawatiran kita bersama.
Beberapa tahun yang lalu, kerapatan Adat di sebuah Nagari mengangkat festival Malamang yang pesertanya adalah kawula muda. Para gadis dan bujang berkolaborasi menyajikan masakan tradisional itu sesempurna mungkin.
Para lelaki akan membantu mencari kayu api dan membuat tungku pemanggangan. Yang wanita sibuk dengan adonan. Hasilnya tentu saja beragam. Ada yang sukses menyajikannya di depan panitia, ada yang setengah matang dan lebih banyak yang gagal.
Positifnya adalah, kegiatan yang bertema, "Lupo-lupo Maingekkan, Usang-usang Mampabaharui" ini akan  menghidupkan kembali warisan leluhur yang hampir hilang di gerus zaman, jika sering di adakan. Mengembalikan kearifanmlokal warisan leluhur.
 Tentu fasilitator pendukungnya seharusnya adalah pemerintah dan tokoh adat dan budaya. Kedepan ,kita berharap kegiatan ini bisa di munculkan di banyak tempat di ranah bundo