Esok, ketika angin telah menjadi bisikan, dan fajar hanya gema cahaya di kelopak langit, kita akan menoleh ke belakang dan mencari jejak yang pernah kita tinggalkan di pasir waktu. Namun, betapa halusnya jejak itu, betapa lunturnya bayangan yang dulu begitu terang.Â
Hari ini, kita adalah daun yang menari dalam hembusan takdir, tak sadar bahwa tiap ayunan adalah salam perpisahan yang tak terucap. Kita adalah sungai yang mengalir tanpa bertanya di mana muara, sebab kita terlalu sibuk mengeja riak dan gemuruh tanpa memahami makna arusnya.
Wahai jiwa yang lupa, tidakkah kau melihat cahaya kecil di jendela yang berkedip sebelum malam menelannya? Tidakkah kau mendengar desir lembut rerumputan yang berbisik tentang kehidupan yang sederhana, namun sarat rahasia?
Hari ini adalah embun di ujung dedaunan, bening, ringkih, dan hanya sekejap singgah sebelum jatuh ke pangkuan tanah. Kita tak pernah tahu kapan embun terakhir itu akan hadir, kapan sinar pagi terakhir akan menyentuh pipi kita.
Maka, berjanjilah pada angin yang melintas, pada cahaya yang menyusup di sela-sela dedaunan, pada detik-detik yang tak kembali, bahwa kita akan hidup dengan penuh kesadaran. Bahwa kita akan menatap dalam-dalam mata mereka yang kita cintai, menggenggam lebih erat tangan yang tak selamanya ada, dan mencatat dalam hati tiap lirih tawa yang hari ini terdengar.Â
Sebab esok, ketika kenangan telah menjelma doa, dan waktu telah menjadi asing, kita hanya dapat meraba bayang-bayang hari ini, yang pernah begitu nyata, namun luput kita syukuri.Â
***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI