Mohon tunggu...
Jihan Agnel
Jihan Agnel Mohon Tunggu... Penulis - Your secret writer

You matter. No matter what.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ungkapan Terakhir

24 Oktober 2021   00:00 Diperbarui: 24 Oktober 2021   00:16 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bandung, 2 Maret 2021

"Sial!"

Aku memukul setir mobil. Dua orang petugas lalu lintas berkacamata hitam sedang berjalan santai menuju mobilku yang sudah dipinggirkan. Sebelum mereka datang, tidak henti-hentinya aku mengumpat. Sial!

Salah satu petugas itu mengetuk kaca mobilku. Tanpa perlawanan, aku membuka kaca mobil.

"Selamat siang mba, tau kesalahannya apa?"

"Maaf pak, saya sedang buru-buru. Nenek saya sekarat."

"Semua orang juga pernah buru-buru tapi tetap mematuhi rambu lalu lintas kok mba."

"Tapi saya beneran pak, Nenek saya lagi sekarat."

"Kalau gitu alasannya kasih tau di sidang saja ya. Boleh saya lihat surat-suratnya?"

Dalam hati aku kembali mengumpat dengan keras. Menerima surat tilang karena menerobos lampu merah sembari membayangkan pesan dari Nenek yang sedang di ujung usianya.

Sampaikan surat ini pada alamat ini ya. Bilang, maaf baru bisa mengungkapkannya sekarang.

***

Bandung, 28 Februari 2021

Aku memerhatikan jemari nenek yang semakin mengeriput dimakan usia. Tabung infuse sudah habis setengah. Bau kamar Rumah Sakit yang sangat khas dengan perasaan membiru yang menyelimutinya. Orang tua dan kakaku baru saja pergi. Kini gantian aku yang menjaga nenek malam ini.

Kata dokter, kondisi nenek lebih baik dari sebelumnya. Perasaan antara lega namun tetap sedih melihat kondisi nenek saat ini yang membuatku gelisah. Aku menatap wajah nenek yang perlahan bangun dan tersenyum padaku.

"Nona?"

"Iya ni."

Aku memanggil neneku dengan sebutan nini. Selain karena ayahku yang memang orang Sunda, rasanya memanggil nini sangat mudah diucapkan.

"Nini ingat sesuatu."

"Ingat apa ni?"

"Nini pernah ngomong ke bapak... uhuk uhuk!"

"Aduh, udah nini istirahat aja jangan banyak ngomong dulu ya."

Nini menarik nafas yang dalam. Tetapi ia masih melanjutkan ceritanya meskipun terbata-bata. Ia tidak peduli pada larangan dariku.

"Bapak kamu dulu tuh pemalu banget. Masa untuk ngungkapin perasaannya ke ibu kamu, harus nini dulu yang maksa, kasih dorongan biar segera ungkapkan." Nini tersenyum lemah. Matanya menerawang ke atas langit-langit seolah melihat kejadian di masa lalu.

"Nini istirahat aja dulu ya, udah malem juga."

"Bosen non, masa nini tiduran terus."

"Kan nini emang masih harus istirahat."

Perlahan nini menoleh pada diriku, lama sekali tatapan matanya yang lembut nan hangat tersebut menatapku.

"Ungkapkan ya, non."

Aku tidak mengerti dengan maksud dari perkataan nini.

"Segala perasaan yang terasa, segera ungkapkan. Jangan dipendam, non. Biasanya jadi penyakit. Apalagi kalau udah seusia nini, penyakitan kaya gini, kayanya menyesal dulu gak sempet ngungkapin perasaan."

Aku masih terdiam dan membiarkan nini berbicara. Meskipun aku masih menebak-nebak arah pembicaraan nini.

"Bapak kamu dulu nini paksa untuk mengungkapkan perasaannya pada ibumu. Padahal selama memaksa bapak kamu, nini juga inget ke diri sendiri, uhuk... uhuk...!"

"Udah ni, udah, istirahat dulu yuk. Dengerin dong kata Nona..."

"Non, di dunia ini ada satu hal yang akan kamu sesali sampai di ujung usia bila tidak segera diungkapkan."

"Nini ngomongin apa sih? Dari tadi tuh Nona bingung banget, gak ngerti ni."

"Perasaan, Non."

Aku terdiam dan menunggu kelanjutan pembicaraan dari nini.

"Di dunia ini, perasaan yang tidak diungkapkan akan disesali oleh siapun hingga ujung usianya. Uhuk... uhuk..."

Nini menghela nafas untuk beberapa kali sedangkan aku mengelus-elus pundak nini dengan penuh kasih. Aku tidak berani menyela pembicaraannya, karena kini aku yakin, nini memiliki maksud tersendiri.

"Nini sudah memendam perasaan ini dari dulu, semenjak nini memilih aki."

Mata nini kembali menerawang jauh di atas langit-langit. Dari sudut matanya terlihat genangan air mata yang menyesakkan dadaku. Dengan perlahan nini menceritakan kisahnya.

***

Bandung, Desember 1976

"Esih paling tidak suka memilih yah."

"Yayah tau, tapi apa Esih bisa menikahi kedua pria itu? Tidak kan?"

Malam itu di sudut kota Bandung, dengan udara dingin yang menyelimutinya semakin menambah suasana genting menjadi lebih mencekam dari biasanya. Bila saja Agung tidak datang, barangkali Esih tidak akan sulit memilih dan menerima pinangan dari Koswara. Namun takdir berkata lain. Malam itu Agung dating setelah menghilang selama satu tahun. Ia datang 15 menit lebih awal dibanding Koswara, yang berniat melamar Esih.

"Kalau kata Yayah, udah, Koswara aja. Inget, siapa yang menghibur kamu saat Agung itu tiba-tiba menghilang? Siapa yang selalu ada di sisi kamu? Itu modal dasar dalam hubungan rumah tangga, Esih. Saling menguatkan, saling berada di sisi masing-masing, saling memahami karakter masing-masing. Satu tahun cukup untuk mengenal karakter masing-masing kan? Buat apa kamu masih mempertimbangkan Agung yang mendadak baru muncul lagi setelah satu tahun hilang gak ada kabar? Buat apa Esih?"

"Yayah ga tau perasaan Esih kaya gimana."

"Iya, Yayah paham maksud Esih. Tapi dengerin kata Yayah sekarang. Gak apa Esih benci dengan nasihat Yayah juga, cuma nanti suatu saat, ketika Esih sudah memahami arti hidup lebih jauh, Esih bakalan terima kasih sama nasihat Yayah sekarang."

Esih meninggalkan ruang tamu dan mengunci diri di kamar. Air mata tidak hentinya mengalir di pipinya. Dalam benaknya, wajah Agung dan Koswara saling bergantian muncul.

***

Bandung, Februari 2021

Hari semakin malam, namun semangat nini dalam menceritakan masa lalunya belumlah padam. Ia masih menatap langit-langit dan menerawang jauh. Seolah ingatannya mengajak ia tamasya pada Desember tahun 1976 ketika dua orang laki-laki yang sangat berarti dalam hidupnya datang bersamaan di hari itu.

"Gimana cara Nini akhirnya buat keputusan?"

"Nini dengerin kata Yayah, ga mau kualat Nini, bahaya Non. Tapi, ada satu perkataan yang bikin Nini semakin yakin untuk milih aki."

"Apa nin?"

"Aki bilang, saya anggap Agung ga pernah datang sebelum saya tiba. Karena hal itu bikin saya sakit hati. Tapi saya menghargai masa lalu kamu, kalau pun kamu akhirnya menjadi goyah, itu wajar. Bila seandainya kamu pun memilih Agung, maka saya tau, bahwa memang bukan kamu yang telah Tuhan ciptakan untuk saya. Esih, perasaan saya masih sayang, tapi saya juga tidak bisa memaksa perasaanmu. Sekarang, segala keputusan ada padamu."

"Aki memang laki-laki hebat ya?"

"Betul sekali, non. Nini tidak pernah menyesal telah memilih aki sebagai pendamping hidup nini. Namun yang Nini sesali, bahwa setelah Agung datang, Nini tidak pernah benar-benar mengungkapkan perasaan Nini kepada dia."

"Kenapa nin?

"Karena Agung langsung menyerah, ia bilang, Nini pantas berbahagia dengan laki-laki yang selalu ada di samping Nini, yaitu Koswara, aki kamu."

"Ish, maksud Agung apa dong kalau dateng untuk menyerah gitu aja?"

"Entahlah non, hanya dia dan Tuhan yang tau. Nini sebetulnya ingin sekali mengirimkan surat untuk dia. Nini mau mengungkapkan perasaan yang sesungguhnya. Biar lega perasaan nini."

Setelah lama sekali menatap langit-langit, perlahan Nini menggerakan kepalanya dan kembali menatap diriku yang berada di samping kanannya.

"Non mau bantu?"

"Bantu apa nin?"

"Tolong ambilkan surat yang nin taruh dalam laci meja di kamar nin. Nanti ada dompet rajut berwarna abu-abu, di dalamnya ada surat. Lalu kirimkan ke alamat yang ada di dalam dompet rajut itu. Bila ia masih tinggal di alamat itu, berarti Nini masih bisa mengungkapkan perasaan Nini di ujung usia. Namun bila tidak, maka biarlah perasaan ini menguap di langit seiring usia nini yang akan menemui ujungnya."

"Nini jangan ngomong gitu ah, Non sedih." Air mataku mulai menggenang. Nini menatapku lembut. Tangannya sudah sulit untuk digerakkan meski aku tau, bila mampu, Nini pasti akan mengusap air mata di pipiku.

"Non, hidup ini hanya sementara. Kelahiran dan kematian itu pasti. Maka sewajarnya kita bersiap menghadapi segala bentuk perpisahan. Apapun bentuk perpisahan itu, satu pesan Nini, jangan sampai menyesal tidak mengungkapkan perasaanmu meski untuk terakhir kalinya."

Aku menangis sejadi-jadinya setelah mendengar nasihat dari Nini. Untuk Nini, akan aku lakukan segalanya demi mengungkapkan perasaan terakhirnya.

***

Bandung, Maret 2021

Rumah yang bernuansa putih, hijau tua dan hitam tampak asri dengan beberapa tumbuhan di halamannya. Rumahnya tidak besar namun cukup untuk dihuni oleh sebuah keluarga. Dengan perasaan deg-degan, aku mengetuk pintu. Tidak lama terdengar suara Langkah kaki dari dalam rumah, ia tampak sedang membuka pintu menggunakan kunci. Setelah itu pintu terbuka. Aku melihat seorang laki-laki berperawakan bagus menyambut kedatangan diriku. Rambutnya agak panjang dan tebal, matanya besar dengan bibir yang tipis. Raut wajahnya menyiratkan perasaan bingung melihat diriku.

"Cari siapa?"

Suaranya yang sedikit ngebass terdengar renyah di telingaku.

"Ada pak Agung?"

Matanya membelalak Ketika aku menyebutkan Namanya.

"Pak Agung? Agung Sastrowardoyo?"

"Iya betul, Agung Sastrowardoyo."

Ia memiringkan kepalanya ke arah kanan pertanda kecurigaan mulai menyelimuti pikirannya.

"Ada urusan apa dengan kakek saya?"

"Saya ingin mengantarkan surat ini."

Aku memberikan sepucuk surat dari Nini kepadanya. Tangannya menerima surat itu tetapi matanya tetap awas kepadaku. Seolah harimau yang tidak mau melepaskan mangsa dari pengelihatannya.

"Kamu cucunya juga? Kok bisa? Setau aku kakek cuma punya satu istri, gak mungkin kakek selingkuh."

"Oh bukan, nenek saya adalah teman pak Agung. Sekarang kondisi nenek saya sedang sakit dan ia meminta saya untuk memberikan surat ini."

"Nenek kamu ada hubungan apa dengan kakek saya?"

"Mau saya ceritakan di depan pintu ini saja?"

"Oh iya, maaf. Saya ga bisa ngizinin kamu masuk dulu, soalnya gak ada orang di rumah. Orang tua saya lagi ke rumah sakit. Kakek juga sedang sakit. Bahkan mungkin, kakek udah diujung waktunya."

"Nenek saya pun begitu."

"Silahkan duduk, dulu. Mau minum apa?"

Aku pun melanjutkan obrolan dengan cucu dari cinta pertamanya nini. Dari ceritanya, aku tahu bahwa pak Agung bertemu dengan cinta lainnya tepat setahun setelah nini menerima lamaran aki. Dari ceritanya juga aku tahu bahwa pak Agung sangat mencintai istrinya. Entah mengapa, perasaanku menjadi lega dan puas setelah mendengar cerita mengenai pak Agung.

Seketika aku lupa perasaan kesal karena telah menerima surat tilang.

***

Bandung, 2 Maret 2021

Aku membuka pintu ruangan nini dengan hati-hati agar nini tidak terbangun. Wangi rumah sakit langsung tercium dari balik maskerku. Perlahan aku menaruh tasku di atas kursi dan pergi ke kamar mandi untuk mencuci tangan serta kakiku. Tepat setelah aku selesai mencuci tangan dan kaki, nini memanggilku dengan lemah.

"Non..." Panggilnya dengan sisa tenaga yang ia miliki.

"Iya nin?" Aku segera menjawab panggilan Nini dan menghampirinya.

Nini membalikkan perlahan kepalanya untuk melihat diriku. Matanya tepat menatap mataku.

"Sudah diberikan suratnya?"

"Sudah nin."

"Kamu ketemu dengan dia?" Mata Nini tampak sedikit berbinar.

"Sayangnya engga nin, aku cuma ketemu cucunya. Dia baik. Katanya pak Agung juga sedang berada di rumah sakit dan tiap malam dia akan menemani pak Agung di rumah sakit. Jadi mungkin malam ini suratnya dikasih ke pak Agung."

Nini tersenyum lemah. Namun dari sorot matanya aku tau, Nini merasa lega.

"Non."

"Iya, nin?"

"Ungkapkan segala perasaan. Jangan dipendam ya. Jangan seperti Nini."

Aku tersenyum mendengar ucapan tersebut dari Nini. Bahkan di ujung usianya, Nini masih memberikan aku pelajaran hidup. Aku menatap Nini dengan berlinang air mata. Seluruh emosi yang aku rasakan hari ini tidak lagi mampu aku tahan. Aku takut, ini akan menjadi terakhir kalinya aku akan mengatakan perasaan sayang kepada Nini.

"Aku sayang Nini. Sayang banget."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun