Hubungan suami istri ataupun hubungan sedarah seperti, : suami ke istri, istri ke suami, anak ke orang tua ataupun saudara sedarah memiliki karakteristik khusus yang berbeda dengan hubungan antar individu pada umumnya. Karena itu, perlu adanya pertimbangan tersendiri karena masalah ini memiliki karakteristik khusus yang memerlukan pendekatan tersendiri pula.
PERSPEKTIF HUKUM KELUARGA : UU Perkawinan
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 1 menjelaskan:
"Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa."
Ikatan lahir batin dalam pernikahan menciptakan hubungan kepercayaan, tanggung jawab bersama, dan keterbukaan antara suami dan istri. Dalam banyak praktik rumah tangga, keterbukaan soal isi HP, akun media sosial, atau bahkan password ATM bukanlah hal yang asing—dan seringkali didasarkan atas kesepakatan bersama. Ikatan lahir batin yang dimaksud tentunya menghasilkan hak dan kewajiban yang tidak perlu diatur secara tertulis lebih lanjut. Setiap orang memiliki hak privasi, tetapi ikatan lahir batin antara suami istri yang timbul akibat hubungan perkawinan membuat privasi suami dan istri menyatu sampai pada batas tertentu. Maksudnya, ada perbuatan-perbuatan yang menurut umum, dan menurut batas kewajaran, dapat dilakukan oleh suami atau istri meskipun perbuatan tersebut ‘mengganggu’ atau ‘melanggar’ privasi istri atau suami. Hal ini juga dapat diberlakukan terhadap hubungan keluarga sedarah lainnya.
Dalam hukum perkawinan, perbuatan menurut umum (atau common practices) dalam hubungan suami istri meliputi kewajiban saling menghormati, setia, dan memberikan bantuan satu sama lain. Hukum juga mengatur hak dan kewajiban terkait pemeliharaan dan pendidikan anak, serta tanggung jawab suami sebagai kepala keluarga.
Dalam hubungan suami istri, perbuatan yang dianggap wajar menurut hukum dan masyarakat (batas kewajaran) adalah yang tidak melanggar norma-norma hukum dan tidak menimbulkan kesengsaraan atau penderitaan fisik, seksual, psikologis, atau penelantaran dalam rumah tangga. Perbuatan yang tidak masuk dalam kategori kewajaran dan dapat dianggap melanggar hukum adalah seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau perbuatan cabuL.
Sehingga kami berpendapat, perbuatan istri ataupun suami yang membuka HP tanpa izin pasangannya tidak dapat dikatakan melakukan perbuatan ‘tanpa hak’, sepanjang perbuatan tersebut masih merupakan batas yang wajar.
DASAR HUKUM :
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;
- Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI