Bekasi, 2025 - Ketika notifikasi muncul lebih sering daripada sapa orang rumah, dan tren TikTok berganti lebih cepat dari musim hujan, satu hal jadi benang merah kehidupan anak muda hari ini: rasa takut ketinggalan. Fenomena ini dikenal luas sebagai Fear of Missing Out (FoMO). Tapi di Indonesia, FoMO bukan sekadar istilah psikologi. Ia telah menjelma jadi gaya hidup. Sebuah budaya ikut-ikutan yang tidak selalu disadari, namun pelan-pelan mengendalikan narasi diri dan identitas generasi Z.
FoMO bukan barang baru. Tapi skalanya kini membengkak. Bukan lagi sekadar ketakutan tidak datang ke pesta ulang tahun teman, melainkan rasa terancam ketika tidak ikut tren, challenge, atau membeli produk yang viral. Menurut data Monitoring Media Litbang Kompas (2025), 7 dari 10 pemuda di kota besar merasa cemas jika tidak mengetahui atau mengikuti tren terbaru di media sosial, terutama TikTok dan Instagram.
Vero (28), warga Tangerang, jadi contoh nyata. Ia mengaku rela mengantre berjam-jam hanya demi membeli serabi viral dari TikTok. Bukan karena penasaran soal rasa, melainkan takut disebut "kudet" (kurang update) di tongkrongan. "Udah capek-capek antre, tapi pas upload view-nya cuma 48," keluhnya. Di sini kita melihat, nilai dari sebuah aktivitas tidak lagi berdasarkan pengalaman, tetapi pada validasi digital.
Fenomena ini tentu tak berdiri sendiri. FoMO muncul dari interaksi yang terus-menerus dengan platform digital yang membanjiri kita dengan konten visual, referensi hidup orang lain, serta definisi sukses dan relevan yang dikurasi oleh algoritma. Anak muda tak sekadar terpapar, tapi juga dipaksa masuk dalam arena performatif yang tak pernah selesai.
Sosiolog klasik Erving Goffman dalam bukunya The Presentation of Self in Everyday Life pernah menyebutkan bahwa setiap manusia memainkan peran sosial di hadapan publik, ibarat aktor di atas panggung. Namun kini, panggung itu tak hanya ada di ruang sosial nyata, melainkan diperluas ke ruang digital. Di media sosial, apa yang ditampilkan bukan sekadar potret diri, melainkan konstruksi identitas yang ingin kita tunjukkan, dan sering kali itu jauh dari kenyataan.
Bukan hanya tekanan personal yang jadi masalah, tetapi bagaimana struktur sosial membentuk dan menormalisasi pola ikut-ikutan ini. Menurut analisis sosiologis Universitas Jambi (2025), FoMO berkaitan erat dengan konsumerisme digital dan kontrol simbolik yang bersifat laten. Anak muda yang tidak memiliki daya beli atas tren, misalnya, kerap merasa tersisih secara sosial. Dalam satu survei terhadap 500 mahasiswa, 64% mengaku pernah membeli sesuatu hanya karena takut ketinggalan, bukan karena benar-benar membutuhkannya.
Fenomena ini menjadi lebih kompleks ketika media sosial tak hanya menyebarkan tren, tapi juga menciptakan sistem reward: like, comment, followers. Ketiganya menjadi metrik sosial baru yang sering kali menggantikan pengakuan di dunia nyata. Akibatnya, banyak pemuda terjebak dalam mentalitas kuantitatif yaitu merasa bernilai hanya ketika kontennya viral.
Kementerian Kominfo bahkan mencatat bahwa penggunaan TikTok di Indonesia pada 2025 mengalami lonjakan 24% dibanding tahun sebelumnya, mayoritas penggunanya berusia antara 17--25 tahun. Tak mengherankan, TikTok bukan hanya aplikasi hiburan, tapi sudah menjadi arena utama pembentukan opini publik dan tren gaya hidup.
Kapitalisme digital membaca fenomena ini sebagai peluang. Flash sale, campaign FYP, hingga challenge berbayar jadi strategi pemasaran ampuh. "FoMO itu mesin uang," kata Reni Mustika, praktisi digital marketing, dalam laporan Kumparan Ekonomi (2025). Menurutnya, FoMO dijaga tetap hidup agar konsumen selalu merasa kurang dan terdorong untuk membeli.
Namun, tekanan ini tidak hanya berdampak pada dompet. Ada konsekuensi serius pada psikologis dan kesehatan mental. Berdasarkan data Yayasan Pulih (2025), 28% remaja yang mengikuti konseling mengeluhkan kecemasan sosial yang berkaitan dengan ekspektasi media sosial. "Mereka merasa tidak cukup hanya jadi diri sendiri," ujar Amelia Trisnawati, psikolog klinis. "Bahkan waktu offline pun terasa menyiksa karena khawatir ada sesuatu yang mereka lewatkan."
Gambaran ini mencerminkan bagaimana FoMO telah melampaui ruang digital dan menyelinap ke ruang batin. Anak muda merasa cemas bukan karena kehilangan momen nyata, tetapi karena tidak terlibat dalam momen orang lain. Kita hidup dalam budaya pembandingan terus-menerus.
Menurut Pierre Bourdieu, fenomena ini dapat dianalisis lewat konsep habitus dan capital. Media sosial menciptakan arena sosial baru (field), di mana bentuk kapital yang dihargai adalah popularitas digital. Seseorang yang tidak memiliki "kapital sosial daring" seperti jumlah pengikut atau engagement tinggi, cenderung merasa tidak punya nilai dalam arena itu.
Globalisasi, Algoritma, dan Identitas yang Tertelan Tren
Dalam dunia yang terhubung secara global, konten-konten budaya dari Korea Selatan, Jepang, Eropa, hingga Amerika Serikat dengan mudah membanjiri linimasa pemuda Indonesia. Budaya pop tak lagi dibatasi geografis. Kita bisa tahu tren gaya rambut di Seoul atau gaya minum kopi di New York hanya dalam waktu hitungan menit. Tapi apakah semua tren ini selalu relevan untuk diserap?
Anthony Giddens dalam teori globalisasi menyebutkan bahwa era modern membawa "disembedding", yaitu keterlepasan budaya dari konteks lokalnya. Anak muda Indonesia akhirnya meniru kebiasaan yang tidak tumbuh dari pengalaman atau nilai sendiri, melainkan karena dianggap keren oleh sistem algoritmik global. Di sinilah letak bahayanya dimana identitas tak dibentuk dari refleksi diri, tapi dari feed explore dan trending topic.
Litbang LLDIKTI Wilayah V (2025) menyatakan bahwa 73% mahasiswa di tiga kota besar merasa tekanan untuk selalu tampil "sejalan" dengan tren global agar tidak terlihat kuno. Akibatnya, ekspresi diri justru menjadi seragam. FoMO membentuk "identitas massal yang homogen", bukan karena pilihan, tapi karena ketakutan dikucilkan.
Fenomena ini menunjukkan bahwa algoritma tidak netral. Ia mengarahkan, mengurasi, dan bahkan menentukan wacana apa yang dianggap penting. Anak muda tidak lagi menjadi subjek aktif, tapi objek konsumsi informasi dan visual yang disuguhkan platform.
Refleksi Pendidikan: Saatnya Literasi Digital Naik Kelas
Pendidikan menjadi salah satu harapan untuk keluar dari jebakan mentalitas "ikut-ikutan ini." Tapi bukan sekadar pendidikan yang mengajarkan cara pakai media sosial, melainkan pendidikan yang mampu menumbuhkan kesadaran kritis. FoMO adalah gejala budaya, maka pendekatannya harus kultural.
Di Bandung, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) mengembangkan kurikulum Joy of Missing Out (JOMO) sebagai bentuk counter terhadap budaya FoMO. Alih-alih merasa bersalah karena tidak ikut tren, mahasiswa diajak belajar untuk menikmati momen secara sadar dan reflektif. Pendekatan ini terbukti membuat mahasiswa lebih tenang, lebih fokus dalam proses belajar, dan punya kepercayaan diri yang stabil (Berita.upi.edu, 2025).
Kementerian Pendidikan melalui Kemendikbudristek pun telah mengembangkan program Digital Wellbeing Curriculum yang diluncurkan tahun ini. Program ini ditujukan untuk siswa SMP dan SMA, dengan melibatkan psikolog, guru, dan bahkan konten kreator. Tujuannya bukan melarang anak muda menggunakan media sosial, tapi memberikan pemahaman soal batas sehat dan cara menyaring informasi secara sadar.
Nadiem Makarim dalam Webinar Pendidikan Digital oleh UNESCO Indonesia menekankan, "Literasi digital bukan hanya skill teknis, tapi kemampuan membaca, mengkritisi, dan menyikapi informasi dengan sadar." Ini penting karena pada akhirnya, kesadaran itulah yang bisa mengalahkan tekanan algoritmik.
Selain itu, implementasi Profil Pelajar Pancasila menjadi pondasi karakter yang kuat. Nilai-nilai seperti mandiri, bernalar kritis, dan bergotong-royong bisa menjadi senjata anak muda dalam menghadapi tekanan sosial digital. Karena eksistensi sosial yang sehat tidak dibentuk dari validasi daring, tapi dari jati diri yang otentik dan hubungan nyata dengan sesama.
Sekolah-sekolah di Jakarta dan Yogyakarta pun mulai menguji coba kebijakan zona bebas gawai selama 2 jam setiap harinya. Hasilnya? Interaksi antar siswa meningkat, ruang diskusi hidup kembali, dan ketergantungan pada ponsel sedikit demi sedikit menurun (Detik.com, 2025). Ini membuktikan bahwa ruang pendidikan masih bisa jadi ruang aman dari arus media sosial yang membabi buta.
Menutup Tab, Membuka Kesadaran Sosial
FoMO memang anak kandung zaman. Ia lahir dari kebutuhan manusia untuk merasa diterima, relevan, dan diakui. Namun di era digital ini, kebutuhan itu dimanipulasi oleh sistem yang terus-menerus menyodorkan rasa kurang. Kita harus mulai bertanya: benarkah kita ingin sesuatu, atau hanya takut tidak memilikinya?
Dengan pendekatan sosiologis, kita tahu bahwa masalah ini bukan sekadar pilihan individu, melainkan konstruksi sosial yang terus-menerus diperkuat oleh struktur dan simbol. Maka solusinya pun harus kolektif.
Pendidikan punya peran penting, tapi harus didukung oleh kesadaran keluarga, komunitas, dan media. Orang tua perlu menjadi model sehat dalam penggunaan teknologi. Media harus berhenti mengejar engagement dengan menyebarkan tren-tren toxic. Dan anak muda perlu diberi ruang untuk menjadi dirinya sendiri dimana bukan hanya yang viral, tapi juga yang otentik dan merdeka secara psikologis.
FoMO tidak akan benar-benar hilang. Tapi ia bisa dihadapi. Bukan dengan menjauh dari teknologi, tapi dengan menguasainya. Menjadi pengguna yang sadar, bukan korban tren. Karena pada akhirnya, manusia bukan sekadar angka views atau followers, tapi makhluk sosial yang butuh makna, bukan hanya citra.
Reformasi Kultural: Dari Sekadar Edukasi ke Transformasi Nilai
Namun satu hal yang tak boleh luput dari perhatian adalah bahwa pendidikan dan literasi digital saja tidak cukup jika nilai-nilai dasar yang melandasinya tidak mengalami pergeseran. Kita tidak sedang melawan teknologi, tetapi cara kita membentuk budaya menggunakannya. FoMO tidak akan pernah hilang jika budaya validasi eksternal dan glorifikasi popularitas masih dianggap sebagai norma sosial.
Apa yang perlu dibangun adalah budaya baru yaitu budaya yang merayakan keautentikan, proses belajar, dan pencarian makna, bukan sekadar hasil akhir atau angka-angka digital. Ini artinya, institusi pendidikan harus berani menyasar ranah nilai, bukan hanya keterampilan. Pelajaran tentang kritik sosial, filsafat media, atau bahkan studi budaya populer perlu diintegrasikan ke dalam kurikulum agar generasi muda paham bahwa menjadi "berbeda" bukanlah kegagalan, tetapi bentuk resistensi terhadap hegemoni digital.
Program seperti JOMO hanya akan efektif jika dibarengi dengan perubahan atmosfer sosial di sekitar anak muda, baik di sekolah, rumah, maupun media. Bahkan kampus dan komunitas online pun harus ikut serta sebagai ruang aman yang tidak menilai seseorang hanya dari jumlah engagement. Jika ruang-ruang ini bisa dibentuk, maka kita bisa menciptakan generasi digital yang lebih tahan banting, lebih sadar, dan lebih bermakna lagi.
Tanggung Jawab Kolektif dalam Menghadapi Budaya FoMO
FoMO bukan milik anak muda saja. Orang dewasa pun mengalami gejala yang sama, hanya saja dalam bentuk berbeda, entah itu takut tertinggal dalam karier, investasi, gaya hidup parenting, hingga pembentukan citra profesional di LinkedIn. Oleh karena itu, pendekatan untuk mengatasi FoMO harus lintas generasi.
Perusahaan media sosial pun tidak boleh terus-menerus lepas tangan. Mereka punya algoritma, tapi kita punya regulasi dan etika. Pemerintah bisa mulai dengan menyusun pedoman penggunaan algoritma yang etis serta mendorong transparansi platform digital dalam penyusunan feed pengguna. Ini bukan bentuk pembatasan kebebasan, tapi perlindungan terhadap hak dasar manusia untuk tidak hidup dalam tekanan eksistensial terus-menerus.
Sementara itu, tokoh publik dan influencer juga punya tanggung jawab moral. Apa yang mereka tampilkan bukan hanya soal branding pribadi, tapi bisa berdampak pada persepsi jutaan pengikut mereka. Semakin banyak figur publik yang berani menampilkan sisi jujur, tidak sempurna, dan manusiawi, semakin banyak pula ruang untuk narasi alternatif terhadap budaya FoMO.
Kesimpulan: Melangkah Menuju Era Kesadaran Digital
Kita hidup di era yang tidak mungkin lepas dari media sosial. Tapi yang bisa kita pilih adalah bagaimana kita hadir di sana. Apakah sebagai pengguna yang sadar, atau sekadar pengikut algoritma yang terus menelan tren tanpa jeda?
FoMO tidak bisa dianggap remeh karena ia mempengaruhi aspek mendalam dalam kehidupan sosial dan psikologis generasi muda. Ia bukan sekadar rasa ingin tahu atau ingin update, tetapi juga bentuk kecemasan struktural yang terbangun dari sistem sosial baru yaitu sistem validasi digital.
Maka, perlu upaya dari semua pihak yaitu pendidikan, keluarga, komunitas, dan kebijakan publik, untuk menciptakan budaya baru yang di mana budaya yang memberi ruang pada keautentikan, refleksi, dan keberanian untuk tidak ikut-ikutan. Karena pada akhirnya, hidup bukan soal selalu ada di mana-mana, tapi benar-benar hadir di satu tempat dengan utuh, sadar, dan bermakna.
Referensi
Monitoring Media Litbang Kompas (2025)
Data cuplikan: “7 dari 10 pemuda di kota besar merasa cemas jika tidak mengetahui atau mengikuti tren terbaru di media sosial...”
Wawancara Vero (28), Tangerang (Kompasiana, 2025)
Kutipan langsung: “Udah capek‑capek antre, tapi pas upload view‑nya cuma 48,” menggambarkan pengalaman nyata tekanan digital atas validasi
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI