Gambaran ini mencerminkan bagaimana FoMO telah melampaui ruang digital dan menyelinap ke ruang batin. Anak muda merasa cemas bukan karena kehilangan momen nyata, tetapi karena tidak terlibat dalam momen orang lain. Kita hidup dalam budaya pembandingan terus-menerus.
Menurut Pierre Bourdieu, fenomena ini dapat dianalisis lewat konsep habitus dan capital. Media sosial menciptakan arena sosial baru (field), di mana bentuk kapital yang dihargai adalah popularitas digital. Seseorang yang tidak memiliki "kapital sosial daring" seperti jumlah pengikut atau engagement tinggi, cenderung merasa tidak punya nilai dalam arena itu.
Globalisasi, Algoritma, dan Identitas yang Tertelan Tren
Dalam dunia yang terhubung secara global, konten-konten budaya dari Korea Selatan, Jepang, Eropa, hingga Amerika Serikat dengan mudah membanjiri linimasa pemuda Indonesia. Budaya pop tak lagi dibatasi geografis. Kita bisa tahu tren gaya rambut di Seoul atau gaya minum kopi di New York hanya dalam waktu hitungan menit. Tapi apakah semua tren ini selalu relevan untuk diserap?
Anthony Giddens dalam teori globalisasi menyebutkan bahwa era modern membawa "disembedding", yaitu keterlepasan budaya dari konteks lokalnya. Anak muda Indonesia akhirnya meniru kebiasaan yang tidak tumbuh dari pengalaman atau nilai sendiri, melainkan karena dianggap keren oleh sistem algoritmik global. Di sinilah letak bahayanya dimana identitas tak dibentuk dari refleksi diri, tapi dari feed explore dan trending topic.
Litbang LLDIKTI Wilayah V (2025) menyatakan bahwa 73% mahasiswa di tiga kota besar merasa tekanan untuk selalu tampil "sejalan" dengan tren global agar tidak terlihat kuno. Akibatnya, ekspresi diri justru menjadi seragam. FoMO membentuk "identitas massal yang homogen", bukan karena pilihan, tapi karena ketakutan dikucilkan.
Fenomena ini menunjukkan bahwa algoritma tidak netral. Ia mengarahkan, mengurasi, dan bahkan menentukan wacana apa yang dianggap penting. Anak muda tidak lagi menjadi subjek aktif, tapi objek konsumsi informasi dan visual yang disuguhkan platform.
Refleksi Pendidikan: Saatnya Literasi Digital Naik Kelas
Pendidikan menjadi salah satu harapan untuk keluar dari jebakan mentalitas "ikut-ikutan ini." Tapi bukan sekadar pendidikan yang mengajarkan cara pakai media sosial, melainkan pendidikan yang mampu menumbuhkan kesadaran kritis. FoMO adalah gejala budaya, maka pendekatannya harus kultural.
Di Bandung, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) mengembangkan kurikulum Joy of Missing Out (JOMO) sebagai bentuk counter terhadap budaya FoMO. Alih-alih merasa bersalah karena tidak ikut tren, mahasiswa diajak belajar untuk menikmati momen secara sadar dan reflektif. Pendekatan ini terbukti membuat mahasiswa lebih tenang, lebih fokus dalam proses belajar, dan punya kepercayaan diri yang stabil (Berita.upi.edu, 2025).
Kementerian Pendidikan melalui Kemendikbudristek pun telah mengembangkan program Digital Wellbeing Curriculum yang diluncurkan tahun ini. Program ini ditujukan untuk siswa SMP dan SMA, dengan melibatkan psikolog, guru, dan bahkan konten kreator. Tujuannya bukan melarang anak muda menggunakan media sosial, tapi memberikan pemahaman soal batas sehat dan cara menyaring informasi secara sadar.