Nadiem Makarim dalam Webinar Pendidikan Digital oleh UNESCO Indonesia menekankan, "Literasi digital bukan hanya skill teknis, tapi kemampuan membaca, mengkritisi, dan menyikapi informasi dengan sadar." Ini penting karena pada akhirnya, kesadaran itulah yang bisa mengalahkan tekanan algoritmik.
Selain itu, implementasi Profil Pelajar Pancasila menjadi pondasi karakter yang kuat. Nilai-nilai seperti mandiri, bernalar kritis, dan bergotong-royong bisa menjadi senjata anak muda dalam menghadapi tekanan sosial digital. Karena eksistensi sosial yang sehat tidak dibentuk dari validasi daring, tapi dari jati diri yang otentik dan hubungan nyata dengan sesama.
Sekolah-sekolah di Jakarta dan Yogyakarta pun mulai menguji coba kebijakan zona bebas gawai selama 2 jam setiap harinya. Hasilnya? Interaksi antar siswa meningkat, ruang diskusi hidup kembali, dan ketergantungan pada ponsel sedikit demi sedikit menurun (Detik.com, 2025). Ini membuktikan bahwa ruang pendidikan masih bisa jadi ruang aman dari arus media sosial yang membabi buta.
Menutup Tab, Membuka Kesadaran Sosial
FoMO memang anak kandung zaman. Ia lahir dari kebutuhan manusia untuk merasa diterima, relevan, dan diakui. Namun di era digital ini, kebutuhan itu dimanipulasi oleh sistem yang terus-menerus menyodorkan rasa kurang. Kita harus mulai bertanya: benarkah kita ingin sesuatu, atau hanya takut tidak memilikinya?
Dengan pendekatan sosiologis, kita tahu bahwa masalah ini bukan sekadar pilihan individu, melainkan konstruksi sosial yang terus-menerus diperkuat oleh struktur dan simbol. Maka solusinya pun harus kolektif.
Pendidikan punya peran penting, tapi harus didukung oleh kesadaran keluarga, komunitas, dan media. Orang tua perlu menjadi model sehat dalam penggunaan teknologi. Media harus berhenti mengejar engagement dengan menyebarkan tren-tren toxic. Dan anak muda perlu diberi ruang untuk menjadi dirinya sendiri dimana bukan hanya yang viral, tapi juga yang otentik dan merdeka secara psikologis.
FoMO tidak akan benar-benar hilang. Tapi ia bisa dihadapi. Bukan dengan menjauh dari teknologi, tapi dengan menguasainya. Menjadi pengguna yang sadar, bukan korban tren. Karena pada akhirnya, manusia bukan sekadar angka views atau followers, tapi makhluk sosial yang butuh makna, bukan hanya citra.
Reformasi Kultural: Dari Sekadar Edukasi ke Transformasi Nilai
Namun satu hal yang tak boleh luput dari perhatian adalah bahwa pendidikan dan literasi digital saja tidak cukup jika nilai-nilai dasar yang melandasinya tidak mengalami pergeseran. Kita tidak sedang melawan teknologi, tetapi cara kita membentuk budaya menggunakannya. FoMO tidak akan pernah hilang jika budaya validasi eksternal dan glorifikasi popularitas masih dianggap sebagai norma sosial.
Apa yang perlu dibangun adalah budaya baru yaitu budaya yang merayakan keautentikan, proses belajar, dan pencarian makna, bukan sekadar hasil akhir atau angka-angka digital. Ini artinya, institusi pendidikan harus berani menyasar ranah nilai, bukan hanya keterampilan. Pelajaran tentang kritik sosial, filsafat media, atau bahkan studi budaya populer perlu diintegrasikan ke dalam kurikulum agar generasi muda paham bahwa menjadi "berbeda" bukanlah kegagalan, tetapi bentuk resistensi terhadap hegemoni digital.