Menari untuk di ulas dan analisis pandangan ini karena masih relevan dengan konteks. Papua adalah tanah dengan paradoks: kaya sumber daya alam, tetapi juga salah satu wilayah dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia. Di satu sisi, emas, tembaga, dan hutan tropisnya memberi keuntungan besar bagi negara dan korporasi global. Namun di sisi lain, masyarakat Papua sering kali tertinggal dalam pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan.
Inilah wajah paling jelas dari logika lama pasar modal: profit jangka pendek mengalir deras ke pusat, sementara keadilan sosial-lingkungan di daerah penghasil justru tercecer. Kini, ketika dunia memasuki era sustainable finance, Papua hadir sebagai cermin. Cermin untuk menguji apakah ESG, CSV, dan SDGs sungguh menjadi paradigma baru, atau sekadar jargon yang memoles wajah lama pencitraan hijau (greenwashing).
Era Sukarela yang Sudah Berakhir
Selama ini, isu keberlanjutan sering diperlakukan sebatas kampanye sukarela. Perusahaan bisa menempel label "hijau" pada produknya, membuat laporan CSR, atau mendeklarasikan kepedulian lingkungan, tanpa kewajiban menyajikan data terukur.
Fenomena ini yang kita kenal dengan greenwashing. Indah dalam brosur, kosong dalam kenyataan.
Kini, masa itu lewat. Hadirnya Standar Pengungkapan Keberlanjutan dari Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) menandai era baru: laporan tidak lagi hanya memuat data keuangan, tetapi juga dampak sosial, lingkungan, dan tata kelola (ESG).
Bagi Papua, ini penting. Selama puluhan tahun, operasi tambang dan perkebunan di Papua sering diliputi kabut: siapa yang mendapat untung, siapa yang menanggung kerugian? Dengan standar ini, data harus terbuka, dan pencitraan semata tidak lagi cukup.
ESG, CSV, dan SDGs: Dari Jargon ke Fondasi
Tiga kerangka keberlanjutan global sering kita dengar:
ESG (Environmental, Social, Governance): ukuran dampak lingkungan, sosial, dan tata kelola perusahaan.
CSV (Creating Shared Value): strategi bisnis yang menciptakan nilai ekonomi sekaligus sosial.
SDGs (Sustainable Development Goals): agenda pembangunan global 2030.
Di masa lalu, ESG, CSV, dan SDGs lebih banyak dipakai sebagai jargon. Perusahaan tambang bisa menulis laporan tentang "penghijauan" meskipun di sisi lain hutan adat hilang. Perkebunan bisa memajang program pendidikan meski masyarakat adat kehilangan tanahnya.
Namun dalam logika pasar modal baru, ESG, CSV, dan SDGs tidak lagi bisa menjadi hiasan. Mereka kini adalah fondasi penilaian. Investor global menuntut data konkret: berapa jejak karbon dikurangi, berapa tenaga kerja lokal terserap, bagaimana kontribusi pada tujuan SDGs.
Papua menjadi panggung uji paling nyata: apakah perusahaan yang beroperasi di sana sungguh mengintegrasikan keberlanjutan, atau hanya melanjutkan pola lama dengan kemasan baru?
Logika Lama: Profit di Atas Segalanya
Logika lama pasar modal sederhana: siapa yang memberi keuntungan terbesar dalam waktu tercepat, dialah pemenangnya. Risiko sosial dan kerusakan lingkungan jarang masuk hitungan.
Di Papua, logika ini terlihat gamblang. Tambang emas dan tembaga terbesar dunia beroperasi di tanah Papua, menghasilkan devisa besar bagi Indonesia. Tetapi fakta lain berbicara: tingkat kemiskinan Papua masih di atas rata-rata nasional. Infrastruktur pendidikan dan kesehatan jauh tertinggal. Konflik sosial bahkan sering dipicu oleh ketidakadilan pengelolaan sumber daya.
Logika lama inilah yang kini dipertanyakan.
Logika Baru: Profit + Purpose
Pasar modal masa depan tidak hanya mengejar profit, tetapi juga purpose. Uang harus bekerja bukan hanya untuk menambah kekayaan pemilik modal, tetapi juga untuk menciptakan nilai sosial dan menjaga kelestarian lingkungan.
Dalam bahasa sederhana:
money runs the world, but sustainable finance runs the future.
Bagi Papua, logika baru ini berarti:
Perusahaan tambang wajib mengukur dampak lingkungannya dengan jelas.
Perkebunan wajib memastikan masyarakat adat tidak kehilangan hak tanah.
Investor wajib menuntut transparansi dampak sosial.
Negara wajib memastikan manfaat pembangunan tidak berhenti di angka PDB, tetapi hadir nyata di meja makan masyarakat Papua.
Mengapa Pencitraan Hijau Gagal
Ada tiga alasan mengapa pencitraan hijau tidak akan bertahan:
1. Regulasi Wajib
Dengan standar pengungkapan, laporan sukarela sudah tidak berlaku. Semua dampak sosial-lingkungan harus terukur.
2. Investor Kritis
Generasi milenial dan Gen Z, yang kini mendominasi investasi ritel, punya sensitivitas tinggi pada isu keberlanjutan. Mereka menolak investasi yang hanya menjual citra.
3. Transparansi Digital
Di era media sosial, kebohongan mudah terbongkar. Skandal lingkungan di Papua, misalnya, bisa menjadi isu nasional bahkan global dalam hitungan jam.
Papua: Ujian Nyata ESG, CSV, dan SDGs
Mengapa Papua disebut cermin? Karena di sanalah benturan antara profit dan keadilan sosial-lingkungan paling terasa.
ESG di Papua: Apakah perusahaan tambang transparan soal limbah, emisi, dan dampak ekologisnya? Apakah mereka memberi ruang bagi masyarakat adat dalam pengambilan keputusan?
CSV di Papua: Apakah bisnis yang beroperasi menciptakan nilai bersama? Misalnya, pendidikan, pelatihan, dan lapangan kerja bagi orang asli Papua?
SDGs di Papua: Apakah kegiatan ekonomi berkontribusi pada target pengentasan kemiskinan, pendidikan berkualitas, kesetaraan gender, dan pembangunan inklusif?
Jika semua ini dijalankan, Papua bisa menjadi model keberlanjutan. Jika tidak, Papua akan terus menjadi bukti bahwa jargon keberlanjutan hanyalah kosmetik.
Momentum Indonesia
Indonesia punya peluang emas. Instrumen keuangan berkelanjutan sudah berkembang: green bonds, sukuk hijau, hingga pembiayaan proyek energi terbarukan. Jika diarahkan dengan benar, Papua bisa menjadi laboratorium pembangunan berkelanjutan Indonesia.
Bayangkan:
Energi terbarukan di tanah Papua yang kaya potensi air dan matahari.
Ekowisata berbasis budaya Papua.
Produk lokal Papua masuk pasar global dengan dukungan pembiayaan hijau.
Itu semua bisa menjadi bukti bahwa pasar modal tidak hanya melayani pemilik modal, tetapi juga masyarakat dan alam.
Dari Simbol ke Sistem
Tantangan kita adalah menggeser keberlanjutan dari simbol ke sistem. Masih banyak perusahaan yang melihat ESG sebagai beban, bukan investasi. Masih ada pemerintah daerah yang melihat pembangunan berkelanjutan hanya sebagai proyek, bukan paradigma.
Namun, jika kita serius, Papua bisa menjadi pionir. Apa yang terjadi di Papua akan menjadi tolok ukur dunia: apakah Indonesia sungguh-sungguh membangun dengan paradigma keberlanjutan, atau sekadar mengulang pola lama dengan label baru.
Pasar Modal Berkeadilan untuk Papua
Pasar modal yang berkelanjutan bukan hanya tentang lingkungan, tetapi juga keadilan sosial. Untuk Papua, ini berarti:
Lapangan kerja layak untuk orang asli Papua.
Pendidikan dan kesehatan yang diperkuat dari hasil eksploitasi sumber daya.
Pengakuan hak-hak masyarakat adat dalam pengelolaan tanah.
Transparansi manfaat yang mengalir ke daerah, bukan hanya ke pusat.
Jika semua itu bisa dijalankan, pasar modal benar-benar menjadi instrumen pembangunan berkeadilan.
Penutup: Papua, Cermin Masa Depan
Pencitraan hijau akan berakhir. ESG, CSV, dan SDGs kini menjadi cermin yang menyingkap realitas. Dan Papua adalah cermin paling jernih bagi Indonesia: apakah kita serius membangun pasar modal berkelanjutan, atau hanya mengganti jargon tanpa perubahan nyata.
Indonesia punya momentum besar. Dunia sedang mencari arah baru lewat sustainable finance. Jika Papua bisa dikelola dengan paradigma baru, Indonesia akan diakui sebagai pelopor. Tetapi jika Papua tetap terpinggirkan, semua jargon keberlanjutan hanya akan terdengar hampa.
Karena pada akhirnya, benar pepatah modern itu:
Money runs the world. But sustainable finance runs the future.
Dan masa depan itu akan terlihat pertama kali di Papua.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI