Mohon tunggu...
Jemi Kudiai
Jemi Kudiai Mohon Tunggu... Pemerhati Governace, Ekopol, Sosbud

Menulis berbagi cerita tentang sosial, politik, ekonomi, budaya dan pemerintahan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Postfigurative ke Cofigurative: Menakar Masa Depan Papua dalam Bingkai Otonomi Khusus

21 September 2025   00:32 Diperbarui: 21 September 2025   00:32 8
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Dalam masyarakat postfigurative, generasi muda belajar hampir seluruhnya dari orang tua. Dalam masyarakat cofigurative, mereka belajar dari teman sebaya."-Margaret Mead, Culture and Commitment (1970).

Kutipan antropolog asal Amerika ini terasa relevan untuk membaca Papua hari ini. Otonomi Khusus (Otsus) tidak hanya bicara soal anggaran dan regulasi, melainkan juga arena perjumpaan antar generasi: antara orang tua yang memegang tradisi dan pengalaman birokrasi, serta generasi muda yang tumbuh bersama pendidikan modern, teknologi digital, dan jaringan global. Pertanyaan yang muncul: apakah Papua akan bertahan dalam pola lama postfigurative, atau melompat ke pola cofigurative yang lebih dinamis dan demokratis?

Birokrasi vs Nilai Budaya

Birokrasi Papua masih kental dengan logika administratif pusat: hierarki, prosedur panjang, dan kecenderungan menutup diri. Padahal, nilai budaya Papua lebih cair, menekankan musyawarah, relasi kekerabatan, serta pengakuan terhadap otoritas adat.

Inilah yang sering melahirkan benturan. Karakter birokrasi cenderung menolak nilai budaya lokal karena dianggap menghambat modernisasi. Sebaliknya, masyarakat menilai birokrasi sering mengabaikan jati diri Papua. Ego pejabat tua yang menganggap diri lebih tahu sering berhadapan dengan semangat anak muda yang merasa punya energi dan pengetahuan baru.

Ego Tua vs Muda

Dalam kerangka Mead, generasi tua berada dalam logika postfigurative: pengetahuan dan otoritas ada di tangan orang tua atau elite birokrasi.

Namun, generasi muda Papua kini bergerak dengan pola cofigurative: belajar dari sesama, membentuk komunitas mahasiswa, mengelola gerakan lingkungan, membangun musik dan seni jalanan, hingga menciptakan solidaritas melalui media sosial.

Konflik ego antara tua dan muda inilah yang mewarnai dinamika Otsus. Jika tidak dikelola, ia bisa melahirkan jurang antar generasi yang makin lebar.

Masa Depan Papua dan Demokrasi

Papua memiliki modal sosial yang unik untuk mengembangkan demokrasi. Demokrasi di Papua seharusnya tidak sekadar prosedur pemilu lima tahunan, melainkan ruang partisipasi aktif dalam pengambilan keputusan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun