Angkot, singkatan dari Angkutan Kota, atau Mikrolet, Koasi, KWK, Bemo, Pete-pete, Si Bangkong Hejo, Angkuta Surakarta,  atau apalah namanya karena setiap kota di Indonesia punya julukan sendiri-sendiri. Tapi semuanya merujuk pada kendaraan umum kecil jenis minibus yang berfungsi mengangkut penumpang umum dan melayani jurusan tertentu, yang biasa disebut trayek. Di Jakarta dan di Surabaya (setahu saya) angkot hanya diperbolehkan beroperasi di daerah pinggiran (kecuali trayek lama). [caption id="attachment_259033" align="aligncenter" width="338" caption="(tvcom-gunadarma.blogspot.com)"][/caption] Angkot sempat menjadi primadona angkutan umum. Hampir selalu penuh penumpang, dan dikemudikan dengan cara dan kecepatan yang menyaingi setan. Lari kencang menerobos jalur kanan dan tiba-tiba memotong jalur mepet ke pinggir sesukanya,  kalau ada penumpang menyetop.  Anak sekolah bergelantungan di pintu jadi pemandangan biasa, karena bayar cuma setengah dan sang sopir yang memang enggan memberi tempat duduk pada mereka..... Tapi itu tinggal masa lalu. Secara signifikan penumpang angkot menurun drastis sejak kredit kepemilikan sepeda motor menjadi sangat murah uang mukanya, sejak tahun 2000an.  Kini angkot sudah "jinak", tidak lagi adu balap seperti dulu. Kelakuan mereka sekarang paling-paling berlomba nyumpel jalanan dengan berlama-lama menunggu penumpang alias ngetem. Bisnis angkot sudah bukan lagi merupakan bisnis yang manis. Dengan harga mobil sekitar 120 juta belum termasuk ijin trayek dan sebagainya, uang mukanya sekitar 24 jutaan dengan cicilan sekitar 3 jutaan perbulan selama 4 tahun. Setoran mobil paling sekitar 100-150 ribu perhari. Sungguh bukan merupakan penghasilan yang menarik, dibanding dengan resikonya. Mobil sehari tidak narik, dan kiamatlah dunia...... Menjadi sopir angkot saat ini juga merupakan profesi yang sekadar "lumayanlah, daripada menganggur".  Dengan rata-rata 5 penumpang sekali jalan @ 3 ribuan, satu rit (pulang pergi) cuma 30 ribuan. Dengan kondisi lalulintas yang semakin padat, sehari semalam paling cuma 8-10 rit saja alias 300 ribu. Dipotong bensin, biaya makan, biaya siluman, dan sewa mobil, paling yang mampu dibawa pulang 50 ribuan, itupun harus dibagi dengan sopir tembak yang bergantian narik. Itu kalau bekerja sebulan penuh, tanpa libur Jangan tanyakan saya dapat data ini dari mana, gak ada referensinya. Cuma pengalaman jadi sopir tembak saja... Nah, saya kuatir, lonceng kematian untuk moda angkutan umum ini sudah mulai terdengar...... Jadi, bolehkah saya menghimbau  para Bapak, Ibu, Ngkong, Nyak, Kakak, Adik, Mbak, Teteh, Akang, Mas, Gus, .......marilah kita menyempatkan diri untuk naik angkot, ataupun angkutan umum lainnya. Semata-mata sebagai upaya melestarikan agar Angkot ini tidak punah tergilas jaman.  Siapa lagi yang peduli?  Pemerintah?  Mimpi kalee? Sekali seminggu mungkin,  kita layak meninggalkan mobil berpendingin udara milik kita, mengistirahatkan sopir pribadi dan membaur bersama rakyat darimana kita berasal.  Resiko?  Ya pastilah ada, mana ada lewat jalanan umum yang bebas resiko? Naik mobil pribadi pun rawan gedoran jendela di lampu merah kan? Naaaah, marilah kita menjadi Mr. (atau Miss./Mrs.) Nobody, melupakan masalah kita dan menikmati interaksi sosial dengan Mr. (atau Miss./Mrs.) Somebody, misalnya seperti ini : Malam belum lagi larut, masih dalam skala waktu jam pulang kantor. Angkot kami terisi hampir penuh. Ada seorang Bapak bersama anak isterinya, kelihatannya baru menempuh perjalanan jauh antar kota. Mereka (cerita si Bapak) ingin menengok anak sulungnya. Penumpang angkot ramai ngobrol,  mulai Arsenal, Jakmania sampai Valentino Rossi, yang bintang film itu.  Sepasang remaja berseragam sma tampak mojok, pacaran. Tiba-tiba  si Bapak itu bertanya keras, mengatasi geremang obrolan "Dimana yah  Jalan Omah Lombok III ?, saya mau berenti disitu......". Entah kepada siapa...... Ada penumpang yang cukup berbaik hati dan menjawab: "Belum pernah dengar nama itu di sini, Pak. Mungkin Bapak salah naik".  Eh, si Bapak itu dengan pede ngeyel: "Bener kok, yang ini. Saya sudah pernah kesini, tapi cuma lupa turun dimana.....". Lantas,  semuanya terdiam kena gertakan si Bapak tadi.  Kalau sudah tahu, kenapa nanya?...... Sudah cukup lama pertanyaan tadi tidak terjawab, tiba-tiba sang sopir punya ide cemerlang dan menjawab "Gak ada Omah Lombok III, Mbah.  Yang ada Pondok Cabe III".  Si Bapak berteriak kencang "Naaaaaah, itu diaaaaa....." Penumpang seisi angkot sontak meledak tertawa, termasuk yang pacaran di pojok itu.  Dan ada yang nyeletuk: "Dasar Jawa, nama tempat seenaknya dirubah-rubah!!!" Saya?  Serba salah deh, mau gak ikut ketawa itu kok ya memang kebangetan.  Mau ikut ngakak, kok ya saya juga orang Jawa...........
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI