Mohon tunggu...
Jausyan Kabir
Jausyan Kabir Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan Masyarakat

Umur sudah kepala 4, rambut sudah memutih, dan berusaha selalu ingat kematian

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Ketika Visa Menutup Jalan ke Surga: Harapan yang Gugur di Pintu Haji

31 Mei 2025   04:44 Diperbarui: 31 Mei 2025   04:44 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Saya sudah siapkan koper sejak Februari. Saya ingin Ibu saya melihat saya di Arafah sebelum beliau wafat," ungkap Ahmad Rasyid, seorang pria berusia 64 tahun dari Maros, Sulawesi Selatan, dengan mata yang memerah menahan kecewa. Ia bukan satu-satunya yang mengalami kenyataan pahit ini. Pada Senin, 26 Mei 2025 pukul 13.50 waktu Arab Saudi, sistem pemvisaan haji resmi ditutup tanpa toleransi. Saat banyak calon jamaah lain tengah berdoa di terminal keberangkatan, sebanyak 41 orang di antaranya menerima kenyataan bahwa visa mereka tidak dapat terbit. Harapan yang telah dirawat puluhan tahun musnah dalam hitungan menit.

Tahun ini, Indonesia mendapatkan kuota haji sebanyak 221.000 orang, terdiri dari 203.320 untuk haji reguler dan 17.680 untuk haji khusus. Dari kuota tersebut, visa yang berhasil terbit mencapai 203.279 untuk haji reguler, sementara sisanya tak lagi bisa diproses akibat ketatnya tenggat waktu dari sistem e-Hajj Arab Saudi. Padahal, Kementerian Agama RI telah mengantisipasi pembatalan keberangkatan dengan menyiapkan 1.450 jamaah cadangan. Namun, realita birokrasi tak selalu sejalan dengan kecepatan sistem global.

Di balik data dan angka, ada kisah-kisah kemanusiaan yang tak terdengar. Di balik setiap visa yang gagal, ada air mata yang jatuh, doa-doa yang tertunda, dan rasa kecewa yang sulit terucap. Haji bukan sekadar perjalanan spiritual, tapi juga peristiwa hidup yang hanya datang sekali bagi banyak orang. Ketika proses pemvisaan menjadi pintu terakhir yang tertutup, maka yang hilang bukan hanya kesempatan fisik, tetapi ruh ibadah itu sendiri.

Hari ini, penyelenggaraan haji Indonesia menghadapi tantangan besar: ketidaksiapan administratif dalam menghadapi ketegasan sistem digital internasional. Sementara Arab Saudi telah mengadopsi sistem otomatisasi penuh dalam manajemen haji sejak 2022, Indonesia masih berkutat dengan sinkronisasi data, pelunasan yang tertunda, dan pemberkasan manual. Negara lain seperti Malaysia, dengan kuota jauh lebih kecil, sudah menerapkan sistem pelunasan otomatis berbasis peringkat pendaftar dan integrasi biometrik yang membuat proses lebih efisien dan adil.

Di tengah semua tantangan ini, potensi Indonesia sebagai pengirim jamaah haji terbesar dunia belum dimaksimalkan. Indonesia menyumbang hampir 9% dari total jamaah haji dunia, namun daya tawarnya dalam kebijakan internasional masih rendah. Transformasi penyelenggaraan haji tidak cukup hanya dari sisi pelayanan akomodasi dan konsumsi, melainkan harus dimulai dari fondasi sistemik: reformasi digitalisasi, pemberdayaan literasi jamaah, dan integrasi data antar lembaga yang mulus. Ini bukan tentang siapa yang bekerja lebih keras, tetapi siapa yang mampu bekerja lebih cerdas dan lebih terkoordinasi.

Prof. Hilman Latief, Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah, memang telah menyampaikan bahwa semua proses telah ditutup dan tidak akan ada penggantian visa. Namun, pernyataan itu, meski faktual, tetap menyisakan ruang kosong dalam nurani publik: apakah kita sudah melakukan yang terbaik untuk mereka yang kehilangan harapan? Dr. Mohammed Al-Issa, Sekretaris Jenderal Liga Dunia Islam, pernah berkata, "Haji adalah panggilan surgawi. Setiap kegagalan manajemen berarti menghalangi jalan seseorang ke hadirat Tuhan." Kalimat itu seharusnya menjadi cermin sekaligus cambuk bagi negara-negara Muslim, termasuk Indonesia.

Kini bukan waktunya lagi mencari siapa yang salah. Ini saatnya menjadikan momentum ini sebagai titik balik. Pemerintah perlu membangun sistem manajemen haji digital nasional yang mampu bersinergi dengan sistem global, dari pendaftaran hingga pemvisaan. Jamaah harus dibekali bukan hanya dengan manasik, tetapi juga pemahaman literasi digital agar mereka menjadi subjek, bukan korban dari sistem. Dan masyarakat, sebagai bagian dari ekosistem ini, harus mulai bersuara: mendorong akuntabilitas, mengawasi transparansi, dan menuntut perubahan yang mendasar.

Karena bagi banyak orang, haji bukan sekadar rukun Islam kelima---ia adalah puncak dari seluruh perjalanan iman dan hidup. Jangan biarkan mereka yang sudah menabung puluhan tahun, berdoa di setiap malam, dan memimpikan tanah suci sebagai penutup hidupnya, harus kembali hanya dengan koper yang tak pernah terangkat dari lantai rumah. Jangan biarkan sistem yang lamban dan tidak manusiawi merampas panggilan Tuhan dari hamba-hamba-Nya yang telah menanti seumur hidup.

Kini, saatnya kita menata ulang. Bukan hanya prosedur, tetapi paradigma. Bukan hanya regulasi, tetapi nurani. Karena satu visa yang gagal bukan hanya soal administratif. Ia adalah kisah yang menyangkut langit dan air mata. Dan di sanalah letak panggilan moral kita sebagai bangsa: menjaga agar setiap langkah menuju Baitullah tidak lagi terhenti oleh ketidaksiapan kita sendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun