Melalui sebilah bingkai, hanya menilik kerontang rongga yang kering
adakalanya terkepung gulita serta hampa sepermukaan.
Meski tak nampak, curahan hujan sekali dua kali berdecak
tetapi ruang itu terus kering dan tetap kosong,
Sekian kali, ibu bertanya "Ada apa di jendela?"
Tak ada sesuatu bu,
Sia-sia saja, toh Ibu tak akan bisa melihatnya.
Namaku Pelangi, dan ini kisah yang hendak kamu simak,
Di kota ini, kenangan tak boleh diberi ruang
Sedangkan lahan terhampar disemuti semut-semut kekosongan
Yang manis, yang pahit, bersamaan diwanti-wanti
Untuk sekadar merefleksikan nostalgia saja tak mungkin.
Retak siang membuatku kesulitan,
Memori yang kuingat tentang almarhumah Nenek meledak tiba-tiba,
Boom!
Uh,
aku bisa direhabilitasi kalau ada mata yang menangkap
tapi Langit ulurkan tangannya
ia naungi aku dalam tangan raksasa,
menjadi aku tak nampak di jendela
aku nikmati perihal kebahagian bocah kecil yang naik becak pertama kali dengan neneknya,
dibuatkan kue jahe yang manis,
dongeng sebelum tidur,
atau fotoku yang ia bangga-banggakan kepada tetangga,
tangan kecil menyeka si mata,Â
segera Langit menarik uluran
 seraya ia berujar,
"Kelak, Langit perlu sesuatu yang berwarna,
Ketika saat itu datang, itulah waktunya kamu pulang,"
Sebetulnya Pelangi tak sepenuhnya memahami kata-kata Langit,
tapi Pelangi tak merasa takut lagi,
Puisi lainnya :