Pesantren juga berkontribusi dalam pembangunan ekonomi berbasis kearifan lokal. Banyak pesantren kini mengembangkan unit usaha: pertanian organik, perikanan, kerajinan batik, hingga pengolahan makanan tradisional. Hal ini bukan hanya membekali santri dengan keterampilan hidup, tetapi juga menjaga agar produk lokal tetap lestari di tengah gempuran produk impor.
Sebagai contoh, beberapa pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur berhasil mengembangkan koperasi santri yang berbasis pertanian organik. Produk mereka tidak hanya dipasarkan di lingkungan lokal, tetapi juga merambah ke kota-kota besar melalui platform digital. Dengan cara ini, pesantren tidak hanya berfungsi sebagai pusat ilmu agama, tetapi juga motor penggerak ekonomi kerakyatan.
Jika pemerintah serius ingin menguatkan ekonomi nasional berbasis kerakyatan, pesantren jelas harus dilibatkan secara lebih intensif. Sebab, pesantren tidak hanya memiliki jaringan sosial yang luas, tetapi juga memiliki legitimasi moral yang kuat di tengah masyarakat.
Jalan Sunyi Menjaga Identitas
Harus diakui, jalan yang ditempuh pesantren tidak selalu mudah. Merawat kearifan lokal di tengah derasnya modernisasi sering kali seperti melawan arus. Pesantren bekerja dalam senyap, jauh dari sorotan kamera, tetapi dampaknya nyata.
Dalam banyak kasus, santri yang kembali ke kampung halamannya menjadi agen perubahan. Mereka bukan hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga membawa semangat kebersamaan, kemandirian, dan cinta tanah air. Inilah bentuk kontribusi pesantren yang sering luput dari perhatian publik.
Karena itu, pemerintah dan masyarakat luas seharusnya memberikan dukungan yang lebih serius kepada pesantren. Bukan sekadar bantuan material, tetapi juga pengakuan bahwa pesantren adalah bagian penting dari narasi kebangsaan. Identitas nasional tidak bisa dipertahankan hanya melalui slogan, melainkan melalui kerja panjang yang salah satunya dilakukan pesantren.
Penutup
Pepatah Minangkabau mengatakan, "alam takambang jadi guru", alam yang terbentang luas menjadi guru kehidupan. Pesantren sesungguhnya menghidupkan pepatah ini: belajar dari kearifan lokal, menyerap nilai tradisi, dan memadukannya dengan ajaran agama untuk kemudian dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk keteladanan dan kontribusi nyata.
Di tengah gempuran globalisasi, derasnya budaya digital, dan rapuhnya kohesi sosial akibat polarisasi politik, pesantren hadir sebagai penjaga kearifan lokal sekaligus pengikat identitas nasional. Tradisi yang mereka rawat bukanlah romantisme masa lalu, melainkan fondasi yang meneguhkan arah bangsa ke depan.
Indonesia hari ini membutuhkan ruang-ruang pendidikan yang tidak hanya menghasilkan manusia modern, tetapi juga manusia yang berakar pada tradisi, berjiwa nasionalis, dan terbuka pada pluralitas. Pesantren adalah salah satu ruang itu.