Pesantren dengan demikian memainkan peran ganda: menjaga kearifan lokal sekaligus memperkokoh identitas nasional. Dua hal ini saling melengkapi, karena tanpa kearifan lokal, identitas nasional akan kehilangan akarnya; sementara tanpa identitas nasional, kearifan lokal mudah terfragmentasi oleh kepentingan sempit.
Tantangan Era Digital
Tugas mulia ini kini berhadapan dengan tantangan besar. Era digital menghadirkan budaya instan yang kerap menggerus nilai-nilai tradisional. Anak muda lebih akrab dengan budaya pop global daripada tradisi lokalnya sendiri. Media sosial, dengan algoritma yang memanjakan sensasi, sering kali mengubah arah perhatian generasi muda dari warisan kearifan lokal menuju tren global yang serba cepat dan dangkal.
Lebih dari itu, derasnya arus informasi kadang melahirkan polarisasi di tengah masyarakat. Sentimen keagamaan, politik, atau identitas kerap dimanfaatkan secara sempit untuk kepentingan sesaat. Dalam situasi inilah peran pesantren kembali relevan: sebagai ruang yang menenangkan, yang mengajarkan moderasi beragama, serta sebagai pusat pendidikan yang menyeimbangkan tradisi dan modernitas.
Di beberapa pesantren, misalnya, kini mulai berkembang literasi digital, penguasaan bahasa asing, hingga keterampilan wirausaha. Semua ini dilakukan tanpa meninggalkan tradisi sorogan, bandongan, atau halaqah. Artinya, pesantren mampu beradaptasi tanpa kehilangan jati dirinya.
Relevansi dengan Kondisi Terkini Indonesia
Ketika bangsa ini menghadapi berbagai isu seperti polarisasi politik, intoleransi, hingga degradasi moral akibat budaya instan, pesantren hadir sebagai "oasis" yang menawarkan jalan tengah. Di saat sebagian pihak sibuk memperdebatkan identitas, pesantren justru sudah lama mempraktikkan pluralitas dalam kehidupan sehari-hari.
Belum lama ini, publik dikejutkan oleh meningkatnya kasus intoleransi di beberapa daerah: mulai dari penolakan pembangunan rumah ibadah, ujaran kebencian di media sosial, hingga diskriminasi berbasis identitas. Fenomena ini menunjukkan betapa rapuhnya fondasi kebangsaan jika tidak dijaga dengan kesadaran kolektif. Dalam konteks ini, pesantren menjadi model pendidikan yang menegaskan pentingnya toleransi. Banyak pesantren mengajarkan santri untuk berinteraksi dengan masyarakat lintas agama dan budaya melalui kegiatan sosial, bakti masyarakat, atau kerja sama antarorganisasi pemuda lintas iman.
Contoh lain dapat dilihat dari peran pesantren dalam merespons isu lingkungan hidup. Ketika bencana kabut asap melanda Sumatra beberapa tahun lalu, sejumlah pesantren di Riau dan Jambi menginisiasi gerakan menanam pohon, membagikan masker, serta membuka dapur umum bagi korban terdampak. Ini membuktikan bahwa pesantren tidak hanya menjaga nilai keagamaan, tetapi juga mempraktikkan identitas nasional dalam bentuk solidaritas sosial yang nyata.
Dalam ranah politik, Indonesia juga tengah menghadapi ujian serius. Polarisasi akibat pemilu beberapa tahun terakhir masih menyisakan luka dan fragmentasi sosial. Pesantren hadir dengan narasi ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan) dan ukhuwah insaniyah (persaudaraan kemanusiaan). Nilai ini bisa menjadi tawaran jalan keluar bagi bangsa yang sering terjebak dalam konflik kepentingan politik jangka pendek.
Pesantren dan Ekonomi Lokal