Â
"Barang siapa tidak mengenal sejarahnya, ia akan mudah kehilangan arah." Kalimat bijak yang kerap kita dengar ini seakan menemukan relevansinya di tengah kondisi Indonesia hari ini. Di saat dunia bergerak semakin cepat dengan arus globalisasi dan budaya digital yang kian merasuk ke setiap ruang kehidupan, kita kerap lupa akan akar yang meneguhkan jati diri bangsa.
Pertanyaan besar pun muncul: masihkah kearifan lokal dan identitas nasional memiliki ruang untuk hidup, tumbuh, dan diwariskan? Pertanyaan ini tidak sekadar retoris, melainkan mencerminkan tantangan nyata yang dihadapi generasi hari ini.
Tradisi dan kearifan lokal sering kali dianggap sebagai "barang lama" yang tidak relevan dengan zaman modern. Padahal, justru di dalam tradisi itu tersimpan fondasi penting yang menjaga keutuhan bangsa. Salah satu institusi yang masih teguh menjalankan misi ini adalah pondok pesantren. Pesantren, dengan segala kompleksitas tradisi, nilai, dan sistem pendidikannya, tidak hanya berfungsi sebagai lembaga keagamaan, tetapi juga sebagai benteng terakhir pemelihara kearifan lokal sekaligus penguat identitas nasional.
Pesantren sebagai Penjaga Tradisi
Di banyak daerah, pesantren tumbuh dengan akarnya yang sangat dekat dengan masyarakat. Bahasa lokal, kesenian rakyat, hingga pola hidup sederhana yang diwariskan turun-temurun masih hidup di dalamnya. Misalnya, tradisi pengajian kitab kuning dengan metode sorogan atau bandongan bukan sekadar teknik belajar, tetapi juga sarana mentransmisikan nilai kesabaran, kerendahan hati, dan kebersamaan.
Tradisi-tradisi ini memperkuat ikatan sosial di antara santri dan masyarakat. Lebih dari itu, pesantren sering kali mengadopsi kearifan lokal untuk mengajarkan Islam yang ramah, inklusif, dan sesuai dengan konteks budaya setempat. Karena itulah, wajah Islam Indonesia tumbuh berbeda dengan wajah Islam di kawasan lain: penuh toleransi, mengedepankan gotong royong, serta menghargai keberagaman.
Dalam konteks ini, pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan agama, tetapi sekaligus pusat kebudayaan yang merawat identitas lokal.
Identitas Nasional dalam Bingkai Pesantren
Pesantren tidak berhenti pada pelestarian lokalitas. Pesantren juga memiliki peran strategis dalam mengikatkan identitas nasional. Pendidikan pesantren menanamkan nilai cinta tanah air, menjaga persatuan dalam perbedaan, dan mengajarkan pentingnya harmoni di tengah pluralitas budaya.
Konsep hubbul wathan minal iman (cinta tanah air adalah bagian dari iman) menjadi narasi yang sering dikedepankan oleh para kiai. Melalui narasi ini, santri dididik bukan hanya untuk menjadi ahli agama, melainkan juga warga negara yang bertanggung jawab atas keberlangsungan bangsa. Tidak berlebihan jika kita menyebut pesantren sebagai "miniatur Indonesia": di satu asrama bisa berkumpul santri dari berbagai daerah, bahasa, bahkan latar sosial yang berbeda, tetapi tetap hidup rukun di bawah satu atap.