Produk-produk hasil daur ulang menjadi bukti bahwa konsumsi yang cerdas dan inovasi dalam produksi bisa berjalan seiring untuk membentuk pola hidup berkelanjutan.
Krisis lingkungan akibat akumulasi sampah, terutama plastik, menjadi tantangan besar yang dihadapi Indonesia dalam dekade terakhir.Â
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun 2024, jumlah timbulan sampah di Indonesia mencapai 73,2 juta ton per tahun, dengan komposisi sampah organik mencapai sekitar 62%, dan sisanya didominasi oleh anorganik seperti plastik.Â
Fakta ini menunjukkan bahwa pengelolaan sampah, khususnya sampah plastik, menjadi isu strategis yang harus diatasi dengan pendekatan lintas sektor, salah satunya melalui integrasi ekonomi sirkular dalam skala usaha mikro.
Ekonomi sirkular merupakan model ekonomi yang mengedepankan efisiensi sumber daya dan minimasi limbah melalui praktik reduce, reuse, recycle.
Berbeda dengan sistem ekonomi linear yang hanya mengandalkan proses produksi, konsumsi, lalu pembuangan, ekonomi sirkular justru menghidupkan kembali nilai dari limbah untuk digunakan dalam siklus produksi yang berkelanjutan.Â
Integrasi konsep ini dalam usaha mikro, khususnya yang berbasis daur ulang plastik, memiliki potensi besar dalam menciptakan dampak ganda: menyelamatkan lingkungan sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi inklusif.
Di berbagai daerah, telah muncul berbagai inovasi dari pelaku usaha mikro yang memanfaatkan limbah plastik menjadi produk bernilai ekonomi tinggi, seperti tas, dompet, paving block, kerajinan tangan, dan perabot rumah tangga.
Inisiatif ini tidak hanya mengurangi volume sampah plastik, tetapi juga membuka peluang usaha dan menciptakan lapangan kerja baru, khususnya bagi kelompok marginal seperti perempuan, penyandang disabilitas, hingga pengangguran usia produktif.
Penerapan ekonomi sirkular dalam skala mikro secara langsung mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs), khususnya SDG 8 (Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi) dan SDG 12 (Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab).Â
SDG 8 menekankan pentingnya pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan melalui penciptaan lapangan kerja yang layak bagi semua.Â
Sementara SDG 12 mendorong pola konsumsi dan produksi yang efisien, berwawasan lingkungan, dan berkelanjutan.
Menurut data Kementerian Koperasi dan UKM, sebanyak 64 juta pelaku UMKM menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia, menyerap lebih dari 97% tenaga kerja nasional dan berkontribusi sekitar 61% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).Â
Mayoritas UMKM masih menggunakan pendekatan produksi linear dan belum memiliki kesadaran atau akses terhadap model ekonomi sirkular.
Oleh karena itu, integrasi ekonomi sirkular dalam UMKM berbasis daur ulang plastik adalah keniscayaan untuk memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi juga ramah lingkungan dan tidak eksklusif.
Dari sisi lingkungan, model ini mampu mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku baru, memotong siklus limbah, serta menurunkan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari proses produksi konvensional.Â
Sebagai contoh, produksi paving block dari plastik daur ulang tidak hanya lebih murah dibandingkan bahan konvensional, tetapi juga memiliki daya tahan yang tinggi serta tidak memerlukan pembakaran dalam prosesnya sehingga lebih ramah lingkungan.
Namun demikian, pengembangan usaha mikro berbasis daur ulang plastik tidak lepas dari berbagai tantangan, antara lain terbatasnya teknologi pengolahan, kurangnya pelatihan dan literasi bisnis berkelanjutan, serta akses yang minim terhadap pembiayaan hijau (green financing).Â
Peran pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya sangat penting dalam memperkuat ekosistem pendukung UMKM berbasis ekonomi sirkular.
Program pelatihan, inkubasi bisnis, subsidi teknologi ramah lingkungan, hingga fasilitasi akses pasar dan sertifikasi produk adalah bentuk konkret dukungan yang diperlukan.
Pemerintah daerah juga diharapkan dapat mengintegrasikan kebijakan pengelolaan sampah berbasis masyarakat dengan program pemberdayaan ekonomi lokal.Â
Misalnya, melalui pendirian bank sampah terpadu, kemitraan dengan pelaku industri daur ulang, serta pengadaan produk berbasis plastik daur ulang untuk keperluan kantor pemerintahan.Â
Di sisi lain, edukasi kepada masyarakat terkait pentingnya memilah dan menyetorkan sampah juga harus digencarkan agar pasokan bahan baku daur ulang tersedia secara konsisten bagi pelaku usaha mikro.
Selain itu, kerja sama dengan sektor swasta, termasuk industri besar dan lembaga pembiayaan, menjadi peluang strategis untuk membangun rantai pasok yang lebih inklusif.Â
Menciptakan sistem circular supply chain yang saling menguntungkan dan berorientasi jangka panjang.
Dalam jangka panjang, adopsi ekonomi sirkular oleh usaha mikro berbasis daur ulang plastik tidak hanya berdampak pada pengurangan beban lingkungan, tetapi juga akan menciptakan model ekonomi baru yang resilien, adaptif, dan inklusif.Â
Model ini memberikan peluang yang adil bagi semua pelaku ekonomi untuk berkembang, tanpa harus mengorbankan keberlanjutan sumber daya alam dan masa depan generasi mendatang.
Integrasi ekonomi sirkular dalam usaha mikro daur ulang plastik adalah langkah strategis yang dapat mengatasi dua permasalahan utama sekaligus: pencemaran lingkungan dan ketimpangan ekonomi.
Dengan mengubah sampah menjadi berkah, Indonesia tidak hanya berkontribusi dalam menurunkan timbulan sampah nasional, tetapi juga menumbuhkan ekonomi lokal yang inklusif dan berkelanjutan.Â
Inilah saatnya menjadikan ekonomi sirkular sebagai arus utama pembangunan nasional menuju tercapainya SDG 8 dan 12 secara simultan dan nyata.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI