Mohon tunggu...
Jaid Brennan
Jaid Brennan Mohon Tunggu... Penulis Freelance -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Pulang - Pelangi Pucat Pasi Bagian (13)

18 Januari 2017   08:43 Diperbarui: 18 Januari 2017   08:58 436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : https://record.adventistchurch.com/2012/08/20/go-home/

Bagian 13. 

Pulang 

Kulangkahkankaki lelahku pulang. Kubuka pintu pagar, aku masuk melewati taman garasi, dankulihat Bapak angkatku di teras duduk tenang. Seperti biasa matanya menatap kosong ke depan. Tapi kurasa dia tahu dari langkahku. Atau mungkin dari aroma keringatku yang sudah ia cium dari balik pintu pagar.

“Syan, “ ucapnya tenang tanpa tekanan saat aku lewat di sampingnya.

“Syan ganti bajumu. Setelah itu kau temani aku”. Aku segera naik ke atas mengganti baju danturun lagi untuk menemuinya. “Syan“, ucapnya ketika aku sudah berada di depannya.

“Kau cerita apatentang kejadian di rumah ini di sekolah?” Aku hanya diam.


“Hey, kamu bisajawab nggak?”. Aku masih diam. Dan mungkin diam lebih nyaman daripada akumenjawab tapi keliru. Mantan walikota itu geram. Tangannya sudah melayangmenghantam pipiku. Sesaat kurasakan gelap dan pening sebelum aku bisa menguasaidiriku. Inilah saatnya, pikirku.

“ Ya, aku  memang cerita.  Cerita tentang apa yang Bapak lakukan selamaini padaku.” Selesai bicara kurasakan seperti ada yang menghantamkan palu besarke ulu hatiku. Dadaku sesak, dan kepalaku kembali pening. Belum hilang rasasakit yang seperti menjalar ke sekujur tubuhku, kurasakan rasa sakit itu dibagian tubuhku yang lain. Entah sudah beberapa kali pukulan dan tendangannyayang bersarang di tubuhku. Aku hanya pasrah diam, tak bergerak dan tak berdaya.Aku hanya bisa berharap siksaannya dapat menghentikan nafasku. 

“Kenapa tidakkau bunuh saja aku?” teriakku lantang. 

“Bukankah akuhanya boneka, bukankah aku tidak berharga di matamu, kenapa tidak kau akhiri saja penderitaan ini.  Kenapa, manusia tak berhati... dimana nuranimu? Kenapa kau lakukan ini padaku?”, teriakku histeris.Aku hanya ingin dia tahu betapa sakitnya aku, betapa menderitanya aku dengansiksaannya. Pak Susastio hanya diam. Ditatapnya aku dan dia seketika terduduk lemah tanpa bicara di teras itu, diam dan hanya diam. Rasanya ingin sekali akumengatakan padanya kalau aku sudah tidak tahan tinggal di rumah ini. Kucoba atur nafasku. Menahan emosi yang sempat tertumpah. Kutatap Bapak angkatku tapisedari tadi dia hanya diam, diam, dan diam.

“Syan, Bapak kenapa?”, tanya ibu angkatku yang tiba-tiba sudah berada di tempat itu. Seraya menggoyang -goyang tubuh Pak Susastio namun tubuh itu tetap tak bergeming. 

“Ada apa, bu”,tanya seseorang yang sudah aku kenal entah sejak kapan orang itu sudah beradadi rumah itu. Orang itu adalah Pak Arian dokter pribadi Pak Susastio. Ibu dibantu Pak Arian membawa Pak Susastioke dalam, sementara aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku hanya diam di teras. Salahkah apa yang aku lakukan? salahkah aku membela diri. Oh, Tuhan mungkin mereka mengangkatku memang untuk menjaga Pak Susastio bukan untukmembuat sakitnya bertambah parah.  Tapiapakah mereka bisa kalau mereka jadi aku.

“Syan”. Suaraibu angkatku mengagetkan aku.

“Apa yang telahkau lakukan pada Bapak?”

“Aku…., aku tidak menyentuhnya.”

“Lalu kenapa dengan Bapak?”

“Aku...”

“Aku apa?”

“Aku hanyamenghentikan siksaannya padaku”. Ibuku angkatku terdiam mendengarnya.

“Bagaimanadengan Bapak, bu?”

“Syan kau adalahanak angkat yang paling lama mampu bertahan di sini dan kau tahu semua tentangbapak. Ibu harap kau bisa memahaminya.”

“Aku sudahmencobanya, bu. Tapi aku hanya manusia biasa. Mungkin aku juga seperti merekayang tidak bertahan. Aku kadang merasa tidak sanggup menghadapi bapak. Saat bersama bapak aku sudah mencoba untuk membunuh perasaanku agar aku tidak sakit hati. Agar aku tidak tersinggung dengan ucapannya. “Tapi bapak  bukan hanya menyerangku secara psikis tapijuga phisik.  Jujur bu, aku kadang nggak tahan dengan semua ini. Kadang ingin rasanya aku pulang lagi. Kadang aku berpikir untuk apa aku berada di sini “.Ibu angkatku terdiam. Ia seperti merasakan apa yang aku rasakan.

“Syan, maafkan bapak, maafkan ibu...”. Kami terdiam, hening. 

“Bu, boleh akubicara berdua dengan ibu, sebenarnya ini waktunya tidak tepat. Bapak juga sedang sakit.”

“Apa yang inginkau bicarakan Syan?”

“Masalah aku danbapak, Bu.”

“Baiklah Syan.Kita bicara di sini saja.”

“Bu, berat inikukatakan pada Ibu tapi Ibu harus tahu”. Ibu Susastio menatapku menungguku untuk melanjutkannya.

“Bu,sesungguhnya aku sangat senang berada di sini, kalau saja keadaannya tidak seperti ini. Sesungguhnya aku senang bisa menemani Bapak. Tapi bu...”

“ Tapi apa,Syan?”

“Kurasa ibu sudah tahu apa yang di lakukan Bapak padaku.”

“Ya, aku paham itu Syan. Jadi?”

“Bu, Syan inginpulang Syan juga masih punya Ibu di rumah yang butuh teman . Ibu Syan sendiridan tidak ada siapa-siapa di rumah.”

“Aku sudahmenduganya Syan. Aku tidak bisa menahanmu. Tapi apakah tidak menunggu sampai bapak sembuh.”

“Baik, bu. Syanakan temani bapak sampai bapak sembuh. Syan janji Syan tidak akan menyakitibapak lagi.”

“Terima kasihSyan. Tapi apakah orang tuamu maaf, masih mau melanjutkan sekolahmu.”

“Aku tidak tahubu. Tapi ini sudah keputusanku.” 

“Syan,sesungguhnya ibu sangat senang Syan ada di sini”. Mungkin kalau bapak tidak seperti sekarang ini. Mungkin Syan cocok dengan bapak. Maafkan Syan selama disini kami tak pernah bisa memberimu sedikit kebahagiaan.”

“ Tidak apa kokbu, Syan juga senang bisa bertemu dengan Ibu, bertemu dengan Bapak dan pernah menjadi bagian dari keluarga ini.”

“Baiklah, Syan.Syan mau lihat bapak.”

“Tentu, Bu”.Tapi baru saja kami mau masuk dokter Arian ke luar.

“Bapak lagi istirahat, biarkan saja dulu.”

“Bagaimanakeadaannya dok?” ucap Ibu angkatku.

“Tidak apa-apakok Bu, bapak cuma kelelahan nanti juga dia akan sehat.”

“Baiklah Syan temani dokter Arian. Ibu ke dalam.”

“Bagaimanakabarmu, Syan?” ucap dokter Arian.”

“Baik, Pak.”

“Bagaimana dengan Bapak?”

“Bapak?”

“Apakah kau sudah bisa mengerti Bapak?”

“Sulit, Pak.Syan tidak tahu bagaimana mengerti Bapak.”

“Syan kalau kaubisa memahaminya. Semuanya akan lebih baik.”

“Aku sudahmencobanya tapi kurasa aku tak cukup mampu untuk memahaminya.” 

“Pak Arian.”

Panggil IbuSusastio dari balik pintu. Pak Arian masuk dan aku masih terduduk lemas di’’Syan” kata Pak Susastio ketika kami sedang bersama seperti biasa di teras,kadang aku tak tahu bagaimana aku harus bersikap di depan Bapak angkatku .Mengingat sifatnya yang labil dan sulit dipahami. Sesungguhnya saat berada disampingnya, aku sangat tersiksa. Hanya diam dan menunggu apa yang akan dilakukannya padaku. Jujur jauh di dalam hatiku sesungguhnya aku juga marah,marah karena aku merasa tidak memiliki diriku sendiri. Hidupku seperti ada ditangannya. Sewaktu-waktu atau kapanpun ia ingin memainkan phisik dan psikiskuaku harus siap.

Mungkin PakSusastio punya hak untuk membentakku, mencaci maki aku atau memukulku dengan tangan atau menendang mukaku dengan kakinya yang Rapuh.dan saat ia bicara akuharus mencatat baik-baik di kepalaku.Agar aku tidak salah menjawab ataubertindak.

“Syan, kaudengar aku.” Kali ini suaranya terdengar agak lembut.

“Iya, Pak.” PakSusastio menatapku dengan matanya yang menakutkan.

“Kudengar kaumau pulang?”. Aku belum menjawab pertanyaannya kudongakkan sedikit wajahku ,dan mataku bisa  menagkap wajah laki-lakiTua di depanku itu.wajah itu seperti monster yang menakutkan, dan aku mulai menduga -duga dan berpikir, jika kujawab ia aku akan pulang apa yang akan dilakukan bapak angkatku pada anak yang tidak memuaskan hatinya,marah-marah dan memukul kepalaku. Itu sudah biasa ia lakukan padaku.tapi inimasalah serius.

“Iya, Pak Syanharus pulang …”

“Kenapa kamu maupulang, apa karena aku sudah jahat padamu”.

“Bukan, Pak.Eh..”

“Lalu kenapa kamu mau pulang, jawab jujur“. Aku gelagapan, tidak tahu apa yang akan akukatakan pada mantan pejabat itu jika aku katakan jujur, sebenarnya aku tidak tahan dengan siksaaanya.

“Hai anak dunguberapa kali aku harus mengulang pertanyaanku”. Pak Susastio mulai naik darah.

“Ibuku kemaren telepon dan memintaku pulang, Pak”.

“Apa kau tidakbisa katakan pada Ibumu kalau kau sekolah di sini.”

“Tapi Pak…”

“ Tapi apa?”

“Ibu sendiri dirumah dan aku harus menemaninya “

“Bukankah adaAyahmu?.”

“Ayahku..., ayahkusudah meninggal ucapku berbohong”. Pak Susastio menatapku, aku menunduk.

“Syan sebenarnyaaku ingin jadikan kamu orang yang sukses. Orang kuat yang tidak gampangmenyerah”.

“Terima kasihPak. Aku menghargai keinginan Bapak, tapi Pak....”

“ Tapi apa ? Kalau bicara jangan di penggal-penggal.”

“Apakah Bapak tidak bisa sedikit menghargai Syan “

“Apa lagi Syanapakah kurang fasilitas di rumah ini untukmu. Apakah kurang…”

“Bukan itu Pak,maksud saya...”

“Apa?”

“Apakah Bapak tidak bisa sedikit bersabar pada Syan, agar Syan lebih nyaman berada di rumah ini, dan lebih tenang belajar. Mantan pejabat itu terdiam.dari kerutan wajahnya dan pipinya yang tirus aku bisa melihat amarah yang dipendamnya. Selanjutnyaaku tidak berani menatap wajahnya. Aku hanya menunduk namun setelah beberapasaat. Tak kudengar suaranya namun setelah kudongakkan kembali wajahku kulihat tangan Pak Susastio memegangi dadanya. Nafasnya cepat dan matanya membelalak.Oh, Tuhan kenapa dia? Aku segera berlari kedalam memanggil ibu yang sedang ngobroldengan dokter Arian.

“Bu, Bapak….”.Mendengar suaraku ibu dan dokter Arian segera berlari ke teras, dan membawa bapak angkatku ke kamarnya . seperti yang aku duga beberapa saat kemudian akudi interogasi.

“Syan, apa lagiyang kau lakukan dengan

Bapak?”

“Kami cuma ngobrol, bu. Dan tiba-tiba Bapak memegangi dadanya nafasnya memburu.dan matanya membelalak”

“Apa yang kaubicarakan dengan Bapak?”

“Bapak menanyakan tentang aku? “

“Tentang apa?”

“Tentang keputusanku untuk pulang“.

“Syan apakah kautidak bisa sedikit berbohang untuk tidak mengatakan itu dulu”

“Bu, cepat atau lambat bapak pasti juga akan tahu ini hanya masalah waktu”.

“Syan kesehatanBapak belum pulih benar.

“Aku tahu itubu”

“Lalu kenapa kaubicarakan itu“.

“ maafkan sayabapak yang memaksa Saya hanya bicara jujur . perempuan itu hanya diam sebelum  meninggalkan aku yang masih bingung sendiri. Oh .Tuhan . bagaimana memberi pengertian mereka agar aku diizinkan untuk pulang . malam telah larut aku masih duduk diam di teras . danaku baru menyadari sepenuhnya akibat apa yang aku katakan pada Bapak angkatku.dapat aku lihat dari teras mereka belum tidur . dari teras dapat kulihat lampu di kamar Bapak masih menyala dan kulihat Ibu dan dokter Arian masih mondar-mandir keluar masuk kamar Bapak , tanpa mempedulikan aku yangmasih ada di luar.Aku sendiri tidak mengerti

apa sesungguhnya yang mereka inginkan dariku.kalau mereka tidak butuhaku tapi kenapa mereka menahanku untuk pulang. Tapi kalau mereka sayang kenapaBapak angkat ­­kuterus-terusan menekanku.Aku benar-benar tidak mengerti .mungkin jawabannya mereka membutuhkan aku hanya sebagai pelampiasan emosi. agarBapak bisa mengeluarkan semua yang mengganggu pikirannya padaku.  Oh,Tuhan haruskah ku korbankan diriku untukmereka , haruskah aku tetap di sini.

Aku memasukiRuang kelasku dengan hati berdebar. Berdebar karena aku akan mengatakan sesuatuyang mungkin tidak terpikirkan oleh mereka.mungkin apa yang akan ku ucapkanmelukai beberapa teman-temanku yang mengharapkan aku tetap bersama mereka.Berat memang tapi aku harus katakan ini pada mereka.mungkin sebagian merekatidak akan percaya. Aku yang ceria aku yang seperti tanpa beban. Sesungguhnyamenyimpan beban yang berat, dan saat inilah waktuku untuk mengatakan padamereka. Bahwa hari ini adalah hari terakhir aku bersama mereka.aku mengikuti langkah Pak Sophyan guru matematikaku yang mendampingiku untuk mengucap satukata yang sangat aku takutkan didepan teman-temanku selamat tinggal.satutahun aku dan teman-teman telah melewati banyak hal. Tawa tangis senang susahdan inilah saatnya. Inilah waktu yang tepat untuk berpisah. Kutegarkan diriku.Kupastikan langkahku memasuki ruang kelas itu. Beberapa teman-temanku kagetketika aku datang bersama Pak Sophyan guru matematika. 

“ Anak-anak”ucap Pak Sophyan  seisi kelas itu terdiammenunggu apa yang akan diucapkan Pak Sophyan.

“ Syan temankita hari ini hari terakhir dia bersama kalian. Banyak hal yang tidak bisa kamijelaskan kenapa Syan memutuskan untuk pindah sekolah biar Syan sendiri yangmenjelaskannya pada kalian.” Pak Sophyan duduk sebelum mempersilakanku.

Aku majuselangkah di depan Pak Sophyan.kuedarkan pandanganku pada seluruh penjuru kelas. dari bagian depan sampai belakang di bagian kanan bangku tengah , ada Rizky,Nanda Kevin dan Oda . teman-teman terbaikku, mereka menatapku , aku tidak tahuapa yang ada di hati mereka . mungkin marah kesel karena aku sudah meninggalkanmereka, meninggalkan band jingga yang baru saja kami bentuk.

“ Teman-temantak banyak apa yang ingin aku katakan pada kalian . setahun kita bersama tlahbanyak yang aku lewati bersama kalian, aku akan mengingat kalian. Aku akanmerindukan kelas ini. Mungkin selama setahun telah banyak yang telah akulakukan bersama kalian . mungkin aku telah membuat kesalahan-kesalahan yangdisengaja ataupun tidak. Aku minta maaf. “ satu-persatu teman. Temanmenyalamiku. 

“ Kaubenar-benar pergi, sobat.” Ucap Kevin ketika sampai giliran dia menyalamiku .sambil menepuk pundakku. Di susul teman-teman yang lain, Rizky ananda dan odamereka hanya diam saat menjabat tanganku. Di tatapnya mataku dan aku mengerti apa yang mereka rasakan meski hanya dengan diam.aku mengerti mereka pasti kehilanganku seperti aku tak ingin kehilangan mereka. Tapi hidup harus terusberjalan.  

Setelah kubicarakan dengan Ibu Angkatku hari ini benar-benar kuputuskan untuk pulang.Pagi-pagi. Aku sudah pamitan dengan Bapak. Angkatku.hari ini aku akan mengakhiri semua penderitaanku.Aku sudah berada di depan Bapak angkatku. Yang duduk tenag di tempat biasa. Kuberanikan diriku untuk berbicara dengannya .

“ Pak maafkan, Saya harus pulang…” Ucapku tegas. Bapak angkatku menatapku lama sebelum bicara.

“ Kamu itu mausaya jadikan sarjana kok , pulang “ aku hanya diam dan menatapnya . wajahnya datar tak menununjukkan perasaan apapun bahkan ia seperti tak menyesal atau meminta maaf dengan apa yang pernah dilakukannya padaku .

“ Tungggusebentar” Pak Susastio masuk

ke dalam kamar sebentar kemudian ia keluar dengan amplop putih.

“ ini untukmu.”Tanpa basa –basi kuterima amplop itu dan mengucapkan terimakasih karena kalau tidak. Amplop itu pasti di lemparkannya kemukaku. Satu persatu kupamiti seisi Rumah itu tanpa terkecuali, bahkan semua pembantu dan tukang kebunnya. MasBima, Mba, Larasati , Dan Pak Arian menjabat erat tanganku . seolah – olah kamitak akan pernah bertemu lagi. Dan memang mungkin kami tidak akan pernah bertemu lagi. Tapi bagaimanapun aku telah menjadi bagian dari keluarga besarnya. Dan merekapun telah menjadi bagian dari perjalanan hidupku. Aku akan mengingatnya mengingat semua yang pernah terjadi di Rumah ini. 

“ Syan apapunyang terjadi kau harus sekolah .” pesan Pak Arian ketika menjabat tanganku. Ditepuk-tepuknya pundakku beberapa kali.

“ Kau hebat,Syan . jarang sekali Anak yang bertahan satu minggu di Rumah ini tapi kau mampu bertahan satu tahun. Aku hanya tersenyum. 

“ Sukses, Ya.Syan .” ucap mas Bima sambil memasukkan sesuatu ke dalam tasku bagian belakang.

“ Lupakan semuahal buruk yang pernah terjadi di rumah ini ambil positifnya .” Pesannya

padaku.

“ Syan, kau jagoan, terimakasih selama ini kau telah jagain Bapak. Hanya kau satu-satunya anak yang mampu bertahan sedemikian lama . Maafkan Bapak, maafkan kami jugaSyan.”

“ Tidak apa-apakok mba, Sama-sama aku juga minta maaf mungkin selama di sini aku telah membuatbanyak kesalahan. Mba Larasati tersenyum di usapnya rambutku yang sudah mulai kumal dengan tangannya yang lembut.

“ Ini buat Syan“

“ Tadi sudah kok, mba dari Mas Bima, juga Bapak.”

“ Ssst, nggakboleh nolak rejeki.” Ucapnya sembari memasukkan amplop putih ke dalam sakuku. Aku tak bisa menolaknya. Oh, Tuhan banyak sekali uang yang aku dapat darimereka.

“ jangan lupa ngasih kabar kalau sudah sampai Syan. Dan kalau ada kesempatan sekali waktu mainlah kemari.”

“ Iya, mba , terimakasih untuk semuanya, aku tidak tahu apa yang akan kukatakan sekali lagi terimakasih” Mereka tersenyum,  berat rasanya berpisah dengan mereka . Namun ini Sudah keputusanku.

Kini kulangkahkan kakiku dengan pasti meski Aku tidak tahu apakah Ibu akan meneruskan sekolahku atau tidak. Kupasrahkan semuannya pada Tuhan.

Senja mulaimembiaskan Warna jingga dilangit mengiringi langkah lelahku . kesebuah terminal bus antar kota . hahaha.. ternyata Aku gagal aku menertawakan diriku sendiri…namun meski Aku tidak berhasil aku mendapatkan banyak hal. pengalamanhidup yang mungkin tidak didapat orang lain mungkin mungkin hanya aku yangmerasakannya. Meski banyak perih yang meraja saat tinggal di Rumah PakSusastio. Tapi banyak kenangan manis juga yang tidak begitu saja bisa akulupakan.-Bersambung (JB)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun