Mohon tunggu...
Robert Setiadji
Robert Setiadji Mohon Tunggu... Penulis - Warung Om KOMPA dan Tante SIANA Cari Kawan Kolaborasi

Email : Om KOMPA Tante SIANA warung.kata2x@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bisikan dari dasar Empang Kuburan Sentiong

15 September 2020   20:18 Diperbarui: 15 September 2020   20:31 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Air Beriak Tanda Tak Dalam, Empang Beriak Tanda Kecebur.

Lagu :
Eh... Hujan Gerimis Aje,
Ikan Bawal di Asinin...
Dari Hutan Main Kabur Aje,
Pan Ronal minta di Kawinin...

Cerita :
Lagu Gambang Kromong budaya Betawi, Hujan Gerimis...
Dipopulerkan oleh  Benyamin Sueb, kiranya cocok untuk ilustrasi awal kisah cerita tentang Ronald Setiabudi atau Didik ( Veldhuyzen Family Generasi ke 3 ) yang sangat akrab dan familiar dengan Betawi.

Aku tidak terlalu tahu tentang kisah cinta Didik dengan Ran (Bukan Nama sebenarnya) karena tinggal beda kota.
Aku hanya dapat berita dari Papi Tjiptokonyoto kalau Didik sudah menikah.
Papi Tjipto bercerita : kakak mu Didik itu, dikirim kerja ke proyek di Hutan Kalimantan.
Eh ternyata main kabur balik ke Jakarta, dan tiba-tiba minta di kawinin.
Jodoh nya dapat orang Betawi asli, tetangga satu kampung di Gang Harlan.

Sewaktu Papi merantau ke Jakarta dan usahanya mulai jalan, anak-anak lelaki nya yaitu Poly, Didik dan Richard juga Roby pamanku semua ikut diboyong pindah ke Jakarta.
Kecuali aku karena masih balita, namun sering diajak Mami Agnes jenguk Papi di Jakarta.

Pertama-tama aku ke Jakarta yang saat itu Papi sewa rumah sangat sederhana di kampung yang masuknya dari Gang Harlan di daerah Kota Bambu, Petamburan Tanah Abang.

Tepat didepan rumah dihadapan langsung melintang sekitar 30 meteran ada  gundukan tanah mirip bukit yang tingginya melebihi rumah yang disewa Papi dan ternyata itu sebuah kuburan dengan batu nisan besar sekali lebarnya ada 10 meter dan tinggi 5 meter an,  yang mana orang kampung menyebutnya kuburan Sentiong (kuburan cina).

Saat aku tiba di Jakarta, Poly dan Roby sedang siap-siap balik pulang ke Surabaya.
Mereka bilang tidak kerasan dan takut karena sering diganggu hantu.
Sering mimpi didatangi pasukan tentara Tiongkok jaman Dinasti Ming dulu dengan menunggang kuda dan ketika bangun pagi,  ternyata mereka sudah ada di depan rumah dekat kuburan Sentiong itu.
Pernah juga pas bangun pagi, wajah mereka dipenuhi dengan bedak dan sering kalau sedang tidur mendadak bangun dengan kaget karena kakinya ada yang tarik-tarik.

Rumah yang disewa Papi, bentuk bangunan arsitektur adat Betawi berlantai tanah dan tidak ada jamban, sehingga bila ingin kencing atau Buang Air Besar harus pergi ke Empang yang letaknya diseberang rumah dan dekat dengan kuburan Sentiong.

Pada suatu hari kira-kira jam 6 pagi, perutku mulas sakit sekali ingin Buang Air Besar atau BAB
Aku minta Mami antarkan ke empang tetapi Mami sedang repot masak sarapan.
Dan Mami menyuruh Didik untuk mengantarkan aku ke empang untuk BAB, namun Didik enggan dan malas-malasan masih ngantuk.
Karena sudah tak tahan sakit mulasnya, kemudian aku lari pergi sendiri dan tanpa sepengetahuan aku ada Ridwan (bukan nama sebenarnya) anak tetangga teman main yang sebaya usianya dengan ku sekitar lima tahun atau balita, mengikuti aku dari belakang.
Sesampainya di Empang, untuk masuk ke bilik BAB ada dua batang bambu yang terikat jadi satu dan panjang nya sekitar 5 meteran harus dilewati dengan jalan meniti hati-hati sambil jaga keseimbangan seperti orang akrobatik.
Namun karena aku setengah berlari dan batang bambu licin karena basah terkena embun pagi.
Menyebabkan aku terpeleset kecebur kedalam Empang sedalam 2 meteran itu.
Byurrrr...aku masuk kedalam kolam Empang yang warna airnya hijau kecoklatan.
Waktu didalam Empang gelap sekali dan aku hanya bisa bengong...dan meluncur makin kedalam dasar, Kemudian aku melihat keatas ada bayangan cahaya sinar matahari samar-samar, kemudian terlihat cahayanya makin membesar dan aku merasa ada yang mendorong ku ke atas kencang sekali disertai  ada "Bisikan : Lihat dua tangkai bambu itu...kalau sudah sampai diatas permukaan air langsung tangkap dan rangkul erat-erat..."
Benar ketika cahaya sinar makin besar melebar dan makin terang hingga byur...aku menyembul keluar air seperti terdorong terpental dari bawah dengan kencang sehingga aku bisa meraih batang bambu jalan Titian ke bilik itu yang jaraknya sekitar setengah meteran dari permukaan air Empang, dan kemudian langsung marangkulnya erat-erat agar tak jatuh tercebur lagi.
Kemudian aku naikan kedua kakiku dan badanku menjadi posisi merangkak dan ngesot pelan-pelan kearah tepian batas Empang dan tanah.
Setibanya ditanah, langsung aku berdiri dan berlari pulang sambil menangis dengan badan yang penuh kotoran.
Sesampainya dirumah ternyata sudah ada Ridwan yang laporkan ke Mami kalau aku kecebur ke dalam Empang dan Mami juga ada didepan rumah bersiap-siap ke Empang untuk menolong aku.
Sambil menangis aku lapor kecebur kecebur Empang ...dan langsung digendong Mami sambil bicara : "Untung Selamat, Untung Tidak Tenggelam...Siapa yang menolong mu Roy ? Tanya Mami setengah heran...dan aku tidak menjawab dan terus menangis...hu...hu...hu...
Kemudian Mami tanya Ridwan siapa yang menolong Roy...
Ridwan malah takut gemetar dan lari...
Mami makin heran dan bingung dan berkata : lho...Ridwan kok malah lari pulang ?
Mami langsung memarahi Didik sambil memukuli Didik dengan sandal...dan sambil teriak untung si Roy selamat dan tidak tenggelam di Empang...kalau sampai mati gimana hah...
Lain kali jangan malas dan lengah ya...kalau si Roy minta diantarin...kamu layanin dan jagain ya...Awas kalau enggak...
Kata Mami sambil mengacungkan sandal kearah wajah Didik.
Besoknya Papi langsung panggil tukang untuk buat jamban didalam rumah.

Tumbal kuburan Sentiong...

Ridwan teman bermain aku setiap hari dari pagi-pagi hingga sore.
Aku dan Ridwan sering main layangan dari atas bukit gundukan kuburan Sentiong, dan juga main perosotan dari atas turun kebawah.
Suatu pagi ibu Ridwan nangis-nangis dan teriak-teriak...Ridwan...Ridwan...
Aku didalam rumah dan langsung ingin keluar...tapi di halangi oleh Mami...dan berkata : jangan lihat.. jangan lihat...
Tapi samar-samar aku mendengar orang-orang bergunjing berkata : Itu Ridwan lehernya kena tusuk besi pagar tralis dan tembus hingga kebawah kuping, saat panjat pagar tralis terpeleset ...mau ambil layangannya.
Kemudian nyawa Ridwan tidak tertolong dan tewas ditempat.

Melihat kejadian itu, langsung Mami minta pindah rumah.
Mami berkata kepada Papi kalau kawasan rumah itu angker.
Mulai dari Poly, Didik Dan Roby sering di hantui mimpi didatangi mirip Prajurit Tentara Dinasti Ming dan beberapa kali tidurnya dipindah ke kuburan Sentiong hingga Roy yang kecebur hampir tewas tenggelam di Empang tapi tertolong Selamat.
Akhirnya ada yang tewas yaitu Ridwan...itu artinya kuburan Sentiong itu angker dan minta tumbal atau minta korban nyawa...

Ajari Berenang Agar Tak Tenggelam...dan selalu ingat nasehat Mami.

Besok nya Mami minta pulang ke Surabaya dan mengatakan tidak akan ke Jakarta lagi kalau Papi tidak pindah dari rumah angker depan kuburan Sentiong itu.
Benar memang Mami tidak bisa ke Jakarta lagi karena tak lama setelah itu Mami meninggal Dunia.

Tahun 1976 aku ke Jakarta lagi bersama kakak-kakak ku untuk berlibur.
Waktu itu usaha Papi sudah maju dan sudah pindah rumah ke Jl. Cipayung 1 No. 1, Kebayoran Baru.
Dan berkantor di salah satu ruang di lantai dasar Hotel Borobudur lapangan Banteng.
Setiap hari aku dan kakak-kakak ku main ke hotel tersebut dan paling sering adalah berenang.
Dan aku diajari berenang oleh Didik hingga bisa, agar tidak tenggelam lagi.

Mungkin Didik merasa bersalah karena sebabkan aku tenggelam di Empang karena belum bisa berenang.
Dan tentunya Didik selalu ingat nasehat Mami yang terakhir saat di Jakarta yaitu Jangan lengah dan selalu membantu, menjaga dan melindungi Roy.

Benar, ketika aku kuliah di Jakarta yang mengantarkan untuk daftar dan mondar-mandir adalah Didik.
Dan uruskan KTP Jakarta agar mudah memperoleh pekerjaan adalah Didik juga.
Hingga membantu uruskan surat-surat saat aku menikah juga Didik.
Bahkan saat aku menikah yang menjadi Wali nya di Catatan Sipil adalah Didik juga, karena Papi sudah meninggal saat itu.
Rupanya Didik tidak lupa dan selalu ingat nasehat Mami yang terakhir itu.

Hingga suatu hari Didik bersepeda sore-sore, yang mungkin terlalu bersemangat dan jatuh karena Stroke dan kemudian koma hingga meninggal dunia.

Didik wafat 15 September 1995, tepat 3 bulan sebelum Hari Ulang Tahunnya di tanggal 15 Desember di usia 41 tahun.
Meninggal diusia yang terbilang muda bagi seorang ayah yang meninggal kan 1 istri Ran dan 4  orang anak :  Rere, Cit, Ay dan Ajar (bukan nama sebenarnya).

50 tahun kemudian dari saat kejadian tenggelam di Empang...

Pada tahun 2019 lalu sebelum PSBB atau lock down karena wabah Covid-19 dimana Bioskop masih buka.
Aku dan istri nonton film Mandarin Clasic Kolosal, tentang peperangan di Jaman Dinasti Ming.
Saat pulang setelah nonton film, aku menyetir mobil sambil melamun dan ingat kembali cerita film tadi.
Ada adegan bila seorang Jendral atau Pejabat yang tewas karena kalah pertempuran.
Akan dikubur bersama semua istri dan selir juga anak-anak nya serta pegawai dan prajurit-prajurit pengawal setianya berikut kuda-kuda nya.
Semua dikubur dalam satu lobang, oleh karena itu Makam kuburannya harus besar sekali dan tampak seperti bukit gundukan yang ditutup dengan Batu Nisan yang besar sekali.
Aku jadi ingat dengan kuburan Sentiong yang besar dan mimpi-mimpi Prajurit Tentara Berkuda Tiongkok Jaman Dinanti Ming yang kerap datang menghantui mimpi Poly, Didik dan Roby ternyata ada hubungannya.
Ada kemungkinan yang dikubur adalah Jendral Panglima perang beserta seluruh keluarga nya juga seluruh pegawai dan prajurit-prajurit pengawal setianya berikut kuda-kuda nya.

Kemudian aku menyetir mobil sambil mengantuk hingga aku jatuh dalam mimpi tentang Empang kuburan Sentiong dimana aku kecebur tenggelam dalam dasar Empang.
Dan aku melihat keatas ada cahaya sinar yang kecil dan makin membesar melebar makin terang.
Dan "Bisikan itu datang lagi : Hai...Bangun...Bangun..."
Ketika aku bangun dan membuka mata...aku lihat sinar lampu truk kontainer yang terang sekali tepat didepan ku.
Kemudian aku langsung banting setir mobil ke kriri dan terhindar dari tabrakan maut adu banteng dengan truk kontainer.

"Bisikan dari dalam Empang Kuburan Sentiong itu muncul lagi dan menyelamatkan ku lagi."

Istriku yang duduk disebelah ku kaget dan bangun dari tidurnya dan bertanya : kenapa-kenapa ? Mau tabrakan ya ? Ngantuk ya ?
Cepat berhenti dan ngopi sana biar gak ngantuk...

Dan kemudian aku menepi dan berhenti untuk beli kopi instan dipinggir jalan di depan Balai Kota Batavia di Kota Tua yang malam itu masih ramai dengan wisatawan Kota Tua Batavia yang sekarang bernama Jakarta.

Sambil Ngopi aku merenungkan kembali tentang Bisikan itu dan bersyukur juga berterima kasih kepada Tuhan yang telah menyelamatkan aku dengan media Bisikan oleh dan dari siapapun  mahkluk-mahkluknya yang tak terlihat kasat mata.

Seperti pada salah satu firman yang berbunyi :
"Berbahagialah Engkau yang tidak melihat, Namun Percaya..."

Terima kasih Tuhan, Kuasa Penyelamatan Mu Sungguh Luar Biasa...Amin.

Cerita tersebut diatas  terinspirasi dari Kisah Nyata...
Untuk memperingati tepat 25 tahun wafatnya Ronald Setiabudi - Didik
Kakakku yang telah melayani, menjaga dan melindungi aku hingga akhir hayatnya.

Penulis :
Robert Setiadji - Roy
Adik kandung dari :
Ronald Setiabudi - Didik

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun