Sejauh mata memandang hanya kabut yang bergelut melayang lembut ke udara
Udara yang masih berbau mesiu dan aroma kematian yang tak jua hilang
Airmata sudah mengering di sepasang bulat matanya yang kehijauan
Senyumnya hilang menahan kepedihan dan luka yang masih terasa hangat pedih.
Kaisha, terseok dengan kaki luka. Mengitari puing-puing yang telah membakar kota dan menghancurkan segala yang ada.
Luluh lantak tanpa ada sisa, harta benda, maupun manusia. Lalu di mana ia harus mencari Bundanya?
Mencari Ayahnya? Mencari pula saudaranya?
Ia hanya si mungil yang papa dan sebatang kara kini. Hari-hari cerianya terberangus oleh misil lintas benua yang merengut semua kecintaannya.
Kotanya hancur, keluarganya musnah, masa depannya pun pupus sudah
Air mata nya sudah mengering. Membekas di sudut mata bening hijau bulatnya yang kini berkabut pekat. Wajah cantik lucunya tergerus duka dan kepedihan akibat perang.
Sekecil itu, mana ia tahu?
Ia harus menyalahkan siapa?
Meminta pertanggung jawaban kepada siapa?
Yatim piatu yang menggerus sisa masa lalu. Hidupnya yang semula bagai surga.
Entah karena apa ia tidak tahu mengapa?
Langit yang cemerlang, senyum Bunda yang menawan?
Ayahnya yang tegas dan memiliki pelukan hangat?
Kakaknya yang tampan suka menggendongnya?
Semua tinggal masa lalunya yang mematikan semua mimpi kanak-kanak yang ia punya.
Kemana lagi ia mencari surga?
Kemana lagi ia harus bertanya?
Mengapa ada yang harus membunuh dan terbunuh?
Karena apa?
Alasannya apa?