Pukul 18.00, matahari mulai turun. Langit berwarna jingga keemasan, seolah membakar cakrawala di ujung barat. Kami memasuki wilayah Muara Enim.
"Pak Jaf," kata drh. Asa sambil menunjuk ke kanan, "itu dia... rumah makan Ayam Penyet Ria. Saya pernah ke situ waktu dinas dulu. Rasa ayam bakarnya juara!"
Aku tertawa. "Baik, Asa. Kalau kamu rekomendasikan, berarti layak dicoba."
Mobil berhenti di depan rumah makan sederhana itu. Aroma sambal, ayam goreng, dan nasi panas langsung menyeruak. Kami duduk di meja panjang kayu, melepas sepatu, meluruskan kaki yang penat.
Pesanan kami cepat keluar: dua ayam bakar, dua ayam penyet, dan empat es jeruk.
Rasanya luar biasa. Gurih, pedas, manis --- perpaduan sempurna di tengah lelah perjalanan.
Kami makan sambil berbicara tentang Empat Lawang, tujuan kami.
"Empat nyawa sudah hilang karena rabies tahun ini," ucapku lirih. "Satu dari mereka... dari sana."
Suasana hening seketika. Hanya terdengar sendok yang beradu dengan piring.
Lalu drh. Rudy menatapku dan berkata, "Kita tidak akan biarkan angka itu bertambah, Pak."
Aku mengangguk mantap. "Tidak. Selama masih ada waktu, selama kita masih bisa bergerak, kita akan melawan rabies ini --- dengan vaksin, dengan pengetahuan, dan dengan kepedulian."