Padahal, di sisi lain, Indonesia adalah salah satu produsen telur terbesar di Asia. Ironinya, konsumsi telur masyarakat masih sekitar 130 butir per orang per tahun, jauh di bawah Malaysia yang mencapai 370 butir.
Artinya, rakyat belum cukup makan telur --- bukan karena tidak tersedia, tapi karena tidak terjangkau dan belum terbiasa.
Ayam Potong: Industri Besar yang Tidak Sepenuhnya Menyentuh Rakyat
Berbeda dengan telur, ayam pedaging (broiler) kini didominasi oleh perusahaan integrasi besar.
Semuanya serba efisien: bibit unggul, pakan terstandar, produksi massal, hingga sistem rumah potong modern. Namun, kemajuan ini juga melahirkan ketimpangan struktural.
Sistem kemitraan yang seharusnya menjadi solusi justru sering timpang:
- Peternak plasma menanggung risiko, tapi tidak mengontrol harga;
- Perusahaan inti menentukan semua input dan hasil;
- Transparansi biaya dan pembagian keuntungan sering tidak jelas.
Akibatnya, peternak rakyat kehilangan ruang tumbuh, dan pasar tradisional tertekan oleh suplai besar dari industri yang membanjiri pasar domestik.
Surplus Tapi Konsumsi Rendah: Masalahnya Bukan Produksi, Tapi Sistem
Produksi ayam dan telur nasional sebenarnya sudah cukup. Bahkan, menurut data Kementerian Pertanian, kita surplus secara nasional.
Namun surplus bukan berarti rakyat cukup makan protein.
Masalahnya ada pada empat hal mendasar:
- Distribusi tidak merata. Sentra produksi terkonsentrasi di Jawa, sementara wilayah timur defisit. Biaya logistik tinggi, rantai dingin terbatas.
- Daya beli rendah. Bagi banyak keluarga, daging ayam dan telur masih dianggap lauk "spesial", bukan makanan pokok.
- Kurangnya edukasi gizi. Banyak yang belum sadar pentingnya protein hewani bagi tumbuh kembang anak.
- Ketimpangan struktur pasar. Produksi besar terkonsentrasi di korporasi, sementara peternak kecil bersaing di pasar bebas tanpa perlindungan harga.