Mohon tunggu...
Dr. Jafrizal
Dr. Jafrizal Mohon Tunggu... Dr.drh. Jafrizal, MM, Dosen, MV Ahli Madya, Ketua PDHI Sumsel 2016-2024, Praktisi dan Owner Jafvet Clinic, Abdi Negara di Pemprov Sumsel, POV Prov Sumsel, Dosen Ekonomi Industri dan Agribisnis

Hobinya berfikir, menulis, berkata dan melakukan apa yang telah dikatakan...

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Hari Ayam dan Telur Nasional 2025: Saatnya Menata Arah, Menghadirkan Keadilan Pangan

13 Oktober 2025   14:38 Diperbarui: 13 Oktober 2025   14:38 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Telur dan Ayam.untuk Protein Hewani Masyarakat (Jaf)

Hari Ayam dan Telur Nasional 2025: Saatnya Menata Arah, Menghadirkan Keadilan Pangan

Setiap tahun, Hari Ayam dan Telur Nasional (HATN) dirayakan di seluruh Indonesia sebagai wujud syukur atas melimpahnya sumber protein hewani yang paling terjangkau bagi rakyat. Namun di balik gegap gempita kampanye "Ayo Makan Ayam dan Telur", terselip pertanyaan besar yang harus kita jawab bersama:

Mengapa produksi ayam dan telur kita sudah surplus, tapi tingkat konsumsi masyarakat masih rendah?

Mengapa peternak rakyat tidak tumbuh, padahal mereka menjadi tulang punggung ketahanan pangan selama ini?

Pertanyaan-pertanyaan ini tidak sekadar kritik, tetapi cermin dari sistem yang belum seimbang.

Industri besar berkembang pesat, teknologi maju, tapi rakyat di kandang-kandang kecil masih berjuang melawan harga pakan, fluktuasi pasar, dan rendahnya daya beli.

Peternak Rakyat: Pilar yang Bertahan di Tengah Tekanan

Telur adalah simbol ketahanan pangan rakyat. Di balik sebutir telur yang kita makan, ada kerja keras peternak kecil --- bangun subuh, beri pakan, rawat ayam, dan berharap harga jual tidak jatuh.

Namun realitanya, harga telur di tingkat peternak sering tak menutup biaya produksi.

Peternak rakyat berhadapan dengan tiga persoalan klasik:

  • Harga pakan yang terus naik, sementara harga jual telur tidak mengikuti.
  • Distribusi yang dikuasai tengkulak, membuat margin keuntungan terkikis.
  • Ketiadaan jaminan harga, membuat usaha peternakan seperti "bermain di lotre pasar."

Padahal, di sisi lain, Indonesia adalah salah satu produsen telur terbesar di Asia. Ironinya, konsumsi telur masyarakat masih sekitar 130 butir per orang per tahun, jauh di bawah Malaysia yang mencapai 370 butir.

Artinya, rakyat belum cukup makan telur --- bukan karena tidak tersedia, tapi karena tidak terjangkau dan belum terbiasa.

Ayam Potong: Industri Besar yang Tidak Sepenuhnya Menyentuh Rakyat

Berbeda dengan telur, ayam pedaging (broiler) kini didominasi oleh perusahaan integrasi besar.

Semuanya serba efisien: bibit unggul, pakan terstandar, produksi massal, hingga sistem rumah potong modern. Namun, kemajuan ini juga melahirkan ketimpangan struktural.

Sistem kemitraan yang seharusnya menjadi solusi justru sering timpang:

  • Peternak plasma menanggung risiko, tapi tidak mengontrol harga;
  • Perusahaan inti menentukan semua input dan hasil;
  • Transparansi biaya dan pembagian keuntungan sering tidak jelas.

Akibatnya, peternak rakyat kehilangan ruang tumbuh, dan pasar tradisional tertekan oleh suplai besar dari industri yang membanjiri pasar domestik.

Surplus Tapi Konsumsi Rendah: Masalahnya Bukan Produksi, Tapi Sistem

Produksi ayam dan telur nasional sebenarnya sudah cukup. Bahkan, menurut data Kementerian Pertanian, kita surplus secara nasional.

Namun surplus bukan berarti rakyat cukup makan protein.

Masalahnya ada pada empat hal mendasar:

  • Distribusi tidak merata. Sentra produksi terkonsentrasi di Jawa, sementara wilayah timur defisit. Biaya logistik tinggi, rantai dingin terbatas.
  • Daya beli rendah. Bagi banyak keluarga, daging ayam dan telur masih dianggap lauk "spesial", bukan makanan pokok.
  • Kurangnya edukasi gizi. Banyak yang belum sadar pentingnya protein hewani bagi tumbuh kembang anak.
  • Ketimpangan struktur pasar. Produksi besar terkonsentrasi di korporasi, sementara peternak kecil bersaing di pasar bebas tanpa perlindungan harga.

Akibatnya, surplus tidak menetes menjadi kesejahteraan.

Kita seperti rumah dengan dapur penuh makanan, tapi penghuninya belum semua bisa makan dengan layak.

Permentan 10/2024: Peluang Menata Ulang Peternakan Ayam

Meskipun Permentan 10/2024 bukan "regulasi kemitraan" secara eksklusif, ia mengandung ketentuan yang mengatur bagian-bagian yang berkaitan dengan kemitraan, antara lain:

1. Pembagian alokasi DOC (bibit) antara internal dan eksternal / kemitraan

Dalam sosialisasi Permentan 10/2024, disebutkan bahwa alokasi DOC FS broiler untuk "internal dan kemitraan" dibatasi maksimal 50% dari total, sedangkan minimal 50% tersedia untuk eksternal atau mandiri .

Artinya, regulasi baru mencoba mengatur agar perusahaan integrasi dan kemitraannya tidak menguasai seluruh suplai bibit secara internal, sehingga memberi ruang bagi peternak mandiri untuk mengakses bibit.

2. Pengaturan kewajiban rumah potong unggas dan kapasitas pemotongan

Bagi pelaku usaha ayam ras pedaging dengan "chick-in" tertentu, diwajibkan memiliki atau menguasai rumah potong unggas (RPHU) bersertifikasi NKV dan fasilitas rantai dingin. Juga terdapat target kapasitas pemotongan livebird minimal (%) dari produksi sendiri .

Regulasi ini dapat mempengaruhi kemitraan antara peternak dengan integrator atau industri, karena kemitraan harus menaati persyaratan fasilitas hilir yang ditetapkan.

3. Penyediaan, peredaran, dan pengawasan tata niaga

Regulasi ini memperkuat pengaturan distribusi dan tata niaga ayam ras dan telur konsumsi, yang menyentuh hubungan antara produsen (termasuk peternak/plasma) dengan pedagang / pasar.

Dalam konteks kemitraan, aspek pengawasan distribusi dan transparansi ini penting agar mitra (peternak rakyat) tidak dirugikan oleh praktik perdagangan yang tidak adil.

Membangun Keseimbangan: Integrasi untuk Industri dan Ekspor, Rakyat untuk Pasar Tradisional

Indonesia perlu menata ulang arah pasar dan peran pelaku usaha agar ekosistem peternakan menjadi adil dan berkelanjutan.

1. Perusahaan integrasi harus diarahkan ke industri olahan dan ekspor.

Mereka punya modal, teknologi, dan standar internasional --- cocok untuk memenuhi kebutuhan:

  • Industri makanan olahan (nugget, sosis, ayam siap saji),
  • Hotel, restoran, katering industri,
  • Pasar ekspor unggas beku ke Asia dan Timur Tengah.

Dengan demikian, produksi besar mereka terserap di pasar besar, bukan membanjiri pasar rakyat.

2. Peternak rakyat difokuskan untuk memenuhi pasar tradisional dan ritel lokal.

Mereka menjadi penjaga ketahanan pangan daerah, penyedia daging segar dan telur konsumsi, serta penggerak ekonomi pedesaan.

Untuk itu, perlu:

  • Kelembagaan ekonomi peternak (koperasi, BUMDes ternak, asosiasi);
  • Skema kredit dan asuransi usaha rakyat;
  • Pelatihan manajemen dan biosecurity sederhana agar produktivitas meningkat tanpa kehilangan jati diri.

3. Pemerintah membangun pasar baru untuk industri integrasi.

Pasar ekspor, industri pangan besar, hingga e-commerce protein segar bisa menjadi outlet produksi korporasi besar, sehingga tidak mengganggu kestabilan harga di pasar rakyat.

Peran Pemerintah: Dari Pengawas Menjadi Pengarah

Pemerintah tidak cukup hanya mengawasi, tetapi harus menjadi pengarah keseimbangan sistem.

Beberapa langkah yang dapat ditempuh:

  • Menetapkan peta jalan integrasi--rakyat dengan segmentasi pasar yang jelas;
  • Memberikan insentif bagi perusahaan yang menyalurkan produk ke ekspor atau industri pangan;
  • Mengatur harga acuan yang melindungi peternak rakyat;
  • Memastikan pengawasan kemitraan berbasis data transparan dan digital.

Dengan langkah ini, kita tidak lagi bicara tentang "siapa kalah atau menang", tetapi bagaimana semua tumbuh bersama.

Dari Surplus Menuju Kesejahteraan

Hari Ayam dan Telur Nasional 2025 seharusnya menjadi momen kesadaran nasional bahwa tujuan pembangunan peternakan bukan sekadar produksi tinggi, tetapi keseimbangan antara produksi, konsumsi, dan kesejahteraan.

Kita sudah mampu menghasilkan ayam dan telur dalam jumlah besar. Sekarang tugas kita adalah mendistribusikan kesejahteraan dari surplus itu.

Perusahaan integrasi menjadi motor industri dan ekspor.

Peternak rakyat menjadi penopang ketahanan pangan lokal.

Pemerintah menjadi pengarah keseimbangan dan penjamin keadilan pasar.

Dengan sinergi ini, surplus tidak lagi menjadi beban, tetapi menjadi berkah.

Dan ayam serta telur --- bukan hanya simbol pangan, tetapi juga simbol kemandirian bangsa.

Dari Kandang ke Keadilan

Hari Ayam dan Telur Nasional bukan sekadar perayaan, tetapi pengingat bahwa pangan adalah urusan kemanusiaan dan keadilan.

Dari kandang rakyat di pelosok hingga industri besar yang menembus ekspor, semuanya punya tempat, peran, dan tanggung jawab.

Indonesia tidak akan kekurangan ayam atau telur. Yang kita butuhkan adalah keberanian menata ulang sistem agar semua pihak tumbuh bersama.

Ketika itu tercapai, maka dari kandang rakyatlah lahir kedaulatan pangan yang sesungguhnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun