Dari atas rumah, Ibu turun dengan langkah hati-hati, membawa baskom besar. "Hati-hati, jangan sampai pecah," katanya lembut.
Kami mulai mengumpulkan telur-telur itu satu per satu. Ibu memungutnya dengan telaten, seperti sedang memungut harapan.
"Sabtu nanti kita bawa ke pasar Kersik Tuo. Kalau lagi mujur, harga bisa naik," ujarnya sambil tersenyum.
Aku ikut tersenyum. Aku suka ikut ke pasar. Di sana ramai, penuh warna dan aroma tanah basah. Lapak kami kecil, tapi Ibu selalu menatanya dengan rapi.
Namun, kadang tak semua telur laku. Ada yang cangkangnya retak, tak bisa dijual. Tapi Ibu selalu bilang,
"Yang retak ini masih rezeki, Ris. Untuk tetangga. Mereka juga manusia, sama seperti kita---butuh makan dan butuh senyum."
Aku sering diam saja, tapi di hati kecilku ada rasa heran. Kenapa Ibu tetap memberi, padahal kami pun tak punya banyak?
Telur untuk Kepala Sekolah
Suatu pagi, hari Senin. Langit abu-abu, dan suara ayam jantan terdengar dari jauh. Ibu memanggilku sebelum berangkat sekolah.
"Ris, bawakan ini untuk Kepala Sekolahmu," katanya sambil menyerahkan bungkusan kecil dari koran bekas.
Aku mengerutkan kening. "Ibu, lagi-lagi untuk beliau? Kita saja makan telur cuma seminggu sekali."