Banyak timses yang kehebatannya ada di panggung kampanye. Mereka pandai bicara. Pandai menggiring opini. Pandai membuat massa bergerak. Itu luar biasa untuk memenangkan pemilu. Tapi ketika masuk ke ruang rapat kementerian, skill itu tidak selalu berguna.
Akhirnya, kalau kursi strategis diisi hanya karena jasa kampanye, rakyatlah yang jadi korban. Keputusan penting terlambat. Program macet. Birokrasi pincang. Negara kehilangan arah.
Timses memang punya jasa. Tapi tidak semua jasa harus dibayar dengan kursi kekuasaan.
Adakah Solusi untuk Timses?
Pertanyaan besar selalu sama: kalau bukan kursi, lalu apa? Bagaimana imbalan untuk tim sukses yang sudah jungkir balik di lapangan?
Mereka keluar modal. Mereka pakai tenaga. Mereka pakai waktu. Mereka tidak digaji. Wajar kalau berharap balas jasa. Dan inilah yang sering jadi alasan pembagian kursi politik.
Tapi ada jalan lain. Jalan yang lebih sehat. Jalan yang tidak merusak profesionalisme birokrasi.
Pertama, biaya kampanye harus transparan. Jangan lagi semua ditumpuk di pundak tim sukses. Partai harus berani buka catatan. Berani bikin mekanisme ganti rugi resmi. Jadi, tim sukses tahu apa yang mereka dapat. Tidak perlu berharap kursi sebagai balas jasa.
Kedua, tim sukses bisa disalurkan ke jalur politik murni. Mereka yang punya massa bisa ikut pileg. Mereka yang piawai komunikasi bisa masuk ke struktur partai. Mereka yang tangguh di lapangan bisa jadi manajer kampanye profesional. Bukan sekadar “pemain bayangan” yang hilang setelah pesta usai.
Ketiga, berikan ruang terhormat di luar eksekutif. Mereka bisa dilibatkan dalam dewan penasihat, forum advokasi publik, atau program literasi politik. Ada honor, ada pengakuan, tapi tidak merusak dapur kerja negara.
Dan jangan lupa, ada opsi pelatihan dan sertifikasi politik. Timses yang serius bisa dipoles jadi kader sejati. Mereka belajar tata kelola. Mereka naik kelas. Dari sekadar penggerak massa, jadi calon pemimpin masa depan.