Mohon tunggu...
Erkata Yandri
Erkata Yandri Mohon Tunggu... Praktisi di bidang Management Productivity-Industry, peneliti Pusat Kajian Energi dan pengajar bidang Efisiensi Energi dan Energi Terbarukan pada Sekolah Pascasarjana, Energi Terbarukan, Universitas Darma Persada, Jakarta.

Memiliki pengalaman lebih dari 20 tahun sebagai Manajemen Productivity-Industry dan Energy sebagai Technical Services Specialist dengan menangani berbagai jenis industri di negara ASEAN, termasuk Indonesia dan juga Taiwan. Pernah mendapatkan training manajemen dan efisiensi energi di Amerika Serikat dan beasiswa di bidang energi terbarukan ke universitas di Jerman dan Jepang. Terakhir mengikuti Green Finance Program dari Jerman dan lulus sebagai Green Finance Specialist (GFS) dari RENAC dan juga lulus berbagai training yang diberikan oleh International Energy Agency (IEA). Juga aktif sebagai penulis opini tentang manajemen dan kebijakan energi di beberapa media nasional, juga berhasil mempublikasikan hasil penelitiannya tentang efisiensi energi dan energi terbarukan di berbagai jurnal internasional bereputasi.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik Biarlah di Parlemen, Kerja Biarlah di Kabinet, Bisakah?

19 September 2025   20:20 Diperbarui: 19 September 2025   20:17 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Dhanil Prayudy  Wibowo: https://www.pexels.com/photo/garuda-pancasila-national-emblem-of-indonesia-33650329/

Banyak timses yang kehebatannya ada di panggung kampanye. Mereka pandai bicara. Pandai menggiring opini. Pandai membuat massa bergerak. Itu luar biasa untuk memenangkan pemilu. Tapi ketika masuk ke ruang rapat kementerian, skill itu tidak selalu berguna.

Akhirnya, kalau kursi strategis diisi hanya karena jasa kampanye, rakyatlah yang jadi korban. Keputusan penting terlambat. Program macet. Birokrasi pincang. Negara kehilangan arah.

Timses memang punya jasa. Tapi tidak semua jasa harus dibayar dengan kursi kekuasaan.

Adakah Solusi untuk Timses?

Pertanyaan besar selalu sama: kalau bukan kursi, lalu apa? Bagaimana imbalan untuk tim sukses yang sudah jungkir balik di lapangan?

Mereka keluar modal. Mereka pakai tenaga. Mereka pakai waktu. Mereka tidak digaji. Wajar kalau berharap balas jasa. Dan inilah yang sering jadi alasan pembagian kursi politik.

Tapi ada jalan lain. Jalan yang lebih sehat. Jalan yang tidak merusak profesionalisme birokrasi.

Pertama, biaya kampanye harus transparan. Jangan lagi semua ditumpuk di pundak tim sukses. Partai harus berani buka catatan. Berani bikin mekanisme ganti rugi resmi. Jadi, tim sukses tahu apa yang mereka dapat. Tidak perlu berharap kursi sebagai balas jasa.

Kedua, tim sukses bisa disalurkan ke jalur politik murni. Mereka yang punya massa bisa ikut pileg. Mereka yang piawai komunikasi bisa masuk ke struktur partai. Mereka yang tangguh di lapangan bisa jadi manajer kampanye profesional. Bukan sekadar “pemain bayangan” yang hilang setelah pesta usai.

Ketiga, berikan ruang terhormat di luar eksekutif. Mereka bisa dilibatkan dalam dewan penasihat, forum advokasi publik, atau program literasi politik. Ada honor, ada pengakuan, tapi tidak merusak dapur kerja negara.

Dan jangan lupa, ada opsi pelatihan dan sertifikasi politik. Timses yang serius bisa dipoles jadi kader sejati. Mereka belajar tata kelola. Mereka naik kelas. Dari sekadar penggerak massa, jadi calon pemimpin masa depan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun