Mohon tunggu...
Erkata Yandri
Erkata Yandri Mohon Tunggu... Praktisi di bidang Management Productivity-Industry, peneliti Pusat Kajian Energi dan pengajar bidang Efisiensi Energi dan Energi Terbarukan pada Sekolah Pascasarjana, Energi Terbarukan, Universitas Darma Persada, Jakarta.

Memiliki pengalaman lebih dari 20 tahun sebagai Manajemen Productivity-Industry dan Energy sebagai Technical Services Specialist dengan menangani berbagai jenis industri di negara ASEAN, termasuk Indonesia dan juga Taiwan. Pernah mendapatkan training manajemen dan efisiensi energi di Amerika Serikat dan beasiswa di bidang energi terbarukan ke universitas di Jerman dan Jepang. Terakhir mengikuti Green Finance Program dari Jerman dan lulus sebagai Green Finance Specialist (GFS) dari RENAC dan juga lulus berbagai training yang diberikan oleh International Energy Agency (IEA). Juga aktif sebagai penulis opini tentang manajemen dan kebijakan energi di beberapa media nasional, juga berhasil mempublikasikan hasil penelitiannya tentang efisiensi energi dan energi terbarukan di berbagai jurnal internasional bereputasi.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik Biarlah di Parlemen, Kerja Biarlah di Kabinet, Bisakah?

19 September 2025   20:20 Diperbarui: 19 September 2025   20:17 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Opini ini tidak jatuh dari langit. Ia lahir dari kegelisahan. Jadi, beginilah ceritanya. Yuks, markibas ... mari kita bahas!

Beberapa bulan lalu, presiden baru mengumumkan kabinetnya. Publik heboh. Semua menunggu nama demi nama. Siapa dapat kursi menteri. Siapa jadi wakil menteri. Siapa nangkring di kursi komisaris BUMN. Rasanya seperti nonton drama berseri. Bedanya, ini bukan drama Korea. Ini drama politik Indonesia.

Belum habis euforia itu, dalam dua-tiga minggu terakhir muncul lagi reshuffle. Nama-nama bergeser. Kursi ditata ulang. Koalisi bergoyang. Dan publik kembali gaduh. Seperti pesta yang belum usai, musiknya dinyalakan lagi.

Saya bukan orang politik. Saya tidak punya kartu partai. Saya tidak punya kepentingan di Senayan. Sehari-hari saya sibuk dengan energi terbarukan, efisiensi industri, hal-hal teknis yang mungkin terasa membosankan bagi sebagian orang. Tapi sebagai warga negara, saya merasa perlu ikut bersuara.

Karena pola ini selalu berulang. Pemilu selesai, euforia reda, lalu dimulai babak baru: arisan kursi. Dan pertanyaan yang mengganggu pikiran saya sederhana: kapan kita selesai berbagi kursi, dan kapan kita benar-benar mulai bekerja?

Kursi yang Tak Pernah Sepi

Setiap habis pemilu, kursi jadi rebutan. Tak ada jeda. Tak ada waktu untuk bernapas. Begitu presiden dilantik, daftar panjang kursi yang harus dibagi pun keluar.

Menteri, wakil menteri, komisaris BUMN, dewan pengawas lembaga tinggi negara. Semua diperebutkan. Seperti meja makan yang penuh lauk, tangan-tangan berebut piring sebelum nasi sempat disendok.

Dulu, kursi menteri sudah cukup. Sekarang, ditambah lagi banyak wakil menteri. Alasan resmi: beban kerja berat, perlu pembagian tugas. Tapi publik tahu, ada juga alasan tak resmi: butuh kursi tambahan untuk memuaskan koalisi.

BUMN pun tak kalah seru. Komisaris jadi incaran. Bukan karena rapat komisaris itu asyik. Tapi karena dua hal yang selalu menggoda: uang dan gengsi. Orang bisa duduk manis, hadir rapat sebulan sekali, tapi kartu namanya berubah jadi “komisaris.” Itu kehormatan. Itu juga kekuasaan.

Di balik layar, suasananya seperti pasar malam. Ada tawar-menawar. Ada deal. Ada kompromi. Kadang yang terpilih bukan yang paling pintar, tapi yang paling tepat secara politik. Publik cuma bisa menonton sambil mengelus dada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun