Mohon tunggu...
Jacklyn FayzaHidayat
Jacklyn FayzaHidayat Mohon Tunggu... Lainnya - XII MIPA 6

XII MIPA 6

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Bukan Sultan Belanda

17 November 2021   23:12 Diperbarui: 17 November 2021   23:28 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Pada tahun 1916, di kediaman pasangan Belanda. Aku dididik oleh keluarga Mulder, yang merupakan seorang kepala sekolah Neutrale Javanesche Jongen school. Menurut ayah, keluarga Mulder yang meskipun orang Belanda mereka tidak termasuk musuh dalam selimut. Hal ini atas kehendak ayahanda sendiri yang bermaksud mendidik anak-anaknya dengan penekanan kemandirian dan kesederhanaan. 

Ayahanda menyatakan bahwa anak-anaknya harus menanggalkan semua kemewahan keraton, dan hidup dalam kesederhanaan. Namun tetap bisa belajar dengan baik, layaknya bangsawan. Di keluarga ini, aku dipanggil sebagai Henkie yang merupakan nama pangeran Hendrik dari Belanda.  Nama ini benar-benar jauh dari kesan bangsawan keraton. Semua kehidupan rumah aku lakukan secara mandiri dan penuh disiplin seperti yang diinginkan oleh ayahanda.

"Bagaimana saya bisa membantu anda, tuan? " Pelayan keluarga Mulder bertanya padaku.

Aku yang awalnya sibuk merapikan tempat tidur ,berhenti dan langsung melihat wajah pelayan."Terima kasih tapi aku bisa melakukannya sendiri" Jawabku diakhiri dengan senyum.

"Baik tuan, saya pamit ke belakang" Ucap pelayan kemudian jalan keluar kamar. Namun sebelum benar-benar keluar dari kamar, "Tunggu dulu!" Perintahku. Pelayan kembali berjalan ke arahku. "Iya tuan, ada yang bisa saya bantu?" Tanya Pelayan. "Tolong jangan panggil aku tuan, cukup Henkie saja" Pintaku. "Baik" Jawab pelayan. "Hanya itu saja yang ingin aku sampaikan, sekarang silahkan boleh keluar" Kataku. Setelah itu, pelayan keluar dari kamar dan aku pun kembali melanjutkan aktifitas yang sempat berhenti tadi.

Keluarga Mulder dengan baik hati memberikanku pelayan. Namun aku selalu ingin melakukan segala sesuatu dengan sendiri. Kulakukan ini agar terbiasa hidup mandiri, sesuai yang ayahku perintahkan. Saat aku dititipkan pada keluarga Mulder, ayah tidak lupa padaku, ia selalu mengujungiku. Membuat diriku seperti ikan dalam air.

  Menginjak usia enam tahun, aku menempuh pendidikan di Eerste Europe Lagere School. Di sekolah ini nampak sekali diskriminasi antara anak-anak pribumi dengan anak-anak asing. Khususnya Belanda, banyak sekali diantara mereka yang tinggi hati.  Orang nusantara di ELS adalah minoritas, anak-anak pribumi harus tunduk dan hormat pada semua orang Belanda.

"Kaum pribumi tidak layak sekolah disini". Ledek seorang murid Belanda kepada murid pribumi. "Tolong jaga ucapanmu! Aku berasal dari keluarga ningrat!" Murid pribumi membela diri.Aku hanya melihat pertengkaran mereka dari jauh, hal seperti ini sering kali terjadi di sekolah. Aku sudah muak melihat para murid asing menghina murid pribumi.

   Kemudian, setelah beberapa tahun aku pindah ke Neutrale Europese Lagere School. Yang merupakan sekolah rendah Eropa, diperuntukkan untuk keturunan peranakan Eropa, keturunan timur asing atau pribumi dari golongan ningrat. Di sekolah dasar, aku terkenal aktif. Kegemaranku adalah bermain bola, berkemah, dan antem-anteman, serta memasak. Pada waktu itu aku sudah cukup fasih bebahasa Belanda. Aku juga pindah dari keluarga Mulder ke keluarga Cock.

   Selesai menempuh pendidikan dasar,  kemudian aku melanjutkan pendidikan di Hogere Burger Schcool Semarang. Setelah itu aku dipondokkan pada keluarga Voskuil, dengan kepala keluarga yang bekerja sebagai kepala penjara Mlaten.

"Cuaca disini sangat terasa panas, membuatku mudah haus dan merasa pusing" Keluhku.

"Cuaca di semarang memang panas, apa kamu baik-baik saja?" Tanya salah satu keluarga Voskuil.

"Kurasa cuacanya tidak cocok denganku" Jawabku.

"Aku akan mengatakan pada ayahmu bahwa cuaca Semarang terlalu panas untukmu" Kata salah satu keluarga Voskuil.

Setelah keluarga Voskuil memberitahukan masalahku kepada ayahku. Ayah langsung memutuskan untuk memindahkanku ke Bandung pada 28 September 1927. Dikarenakan iklim yang terlalu panas dan tidak memungkinkan bagi kesehatanku.

   Setelah itu aku dikirim ke Bandung dan dititipkan pada keluarga De Boer dan sekolah di Hogere Burger Schcool (HBS) Bandung. Cuaca disini dirasa cocok untuk kesehatanku. Setelah menyelesaikan studi di HBS, ayah memerintahkan agar aku melanjutkan studi di Belanda. Sultan HB VIII yang merupakan ayahku memang telah berpikir jauh ke depan dan memahami akan tanda-tanda perubahan zaman.

    Putra-puranya sengaja dikirim untuk belajar kepada orang-orang Belanda, dengan maksud agar kami memahami pemikiran penjajah yang kelak akan dihadapi. Sikap Sultan HB VIII ini berbeda dengan Sultan HB VII yang justru memberikan pendidikan kepada putra-putranya di dalam Keraton dengan mendatangkan para Kyai dan sebagainya. Sebelum ayahanda mengirim putra-putranya ke negeri Belanda, terlebih dahulu beliau berpesan agar supaya kami tidak terpikat oleh noni- noni Belanda, hal ini akan mempengaruhi jiwa kami yang sejatinya dipersiapkan untuk menghadapi para penjajah.

   Pada Maret 1930, aku bersama kakakku yang bernama B.R.M. Tinggarto dan ditemani keluarga Hofland seorang administrateur pabrik gula Gesikan di Yogyakarta pergi menuju Belanda. Di Belanda aku memasuki sekolah Gymnasium di Haarlem. Aku tinggal bersama keluarga Ir. W.C.G.H Van Mourik Broekmen yang merupakan seorang Direktur sekolah itu. Di sekolah ini aku menamatkan pendidikan hingga tahun 1934.

  Setelah menamatkan pendidikan untuk tingkat Sekolah Menengah Atas, aku melanjutkan kuliah di Kota Leiden. Aku mengambil jurusan Indologi yaitu jurusan gabungan dari bidang ekonomi dan hukum. Memang jurusan inilah yang paling diinginkan, terlebih matakuliah Tata Negara, aku sangat menyukainya. Selama menjadi mahasiswa di Leiden, aku aktif mengikuti diskusi yang dipimpin oleh Prof. Schrieke. Keaktifanku dalam menempuh studi dan mengikuti diskusi-diskusi mengantarkan aku  meraih gelar Candidaats-examen tahun 1937 dan kemudian aku melanjutkan studi pada tingkat doktoral.

"Aku merasa dapat menyelami karakter orang Belanda melalui pendidikan dan pergaulan dengan Belanda. Ini akan sangat membantu bagi siapapun yang dalam pekerjaannya akan selalu berhubungan dengan orang Belanda."

   Ketika menempuh tingkat doktoral, aku harus pulang memenuhi panggilan ayahanda yang sudah mulai menurun kesehatannya akibat diabetes berat. Meski pendidikanku belum tuntas, namun sudah cukup untuk bekal kelak ketika berjuang melawan Belanda pada masa-masa revolusi di Indonesia. Meski menempuh pendidikan di Eropa, hal ini tidak membuat diriku bersikap pro kepada Belanda, bahkan kelak pengabdian kepada bangsa Indonesia demi mempertahankan kemerdekaan akan sangat terasa kental. Berbeda dengan yang kebanyakan orang khawatirkan, bahwa pendidikan yang kebarat-baratan akan menimbulkan sikap pro kolonialisme.

''Aku yang pendidikannya tegas-tegas bercorak Barat, tidak tumbuh menjadi Sultan Belanda." Aku selalu menegaskan ini pada orang lain.

   Setibanya di tanah air, aku disambut langsung oleh Sultan Hamengku Buwono VIII yang merupakah ayahku. Saat itu pula ayahanda menyerahkan kepadaku Keris Kyai Joko Piturun. Kyai Joko Piturun sebenarnya adalah atribut bagi putra mahkota, sehingga yang mengenakan bisa dianggap sebagai calon penerus tahta.

"Ayah ingin kamu menjadi penerus kesultanan Yogyakarta" Ucap ayah padaku.

Aku menuruti perintah ayah untuk menjadi penerus kesultanan Yogyakarta.

Selang beberapa hari kemudian, ayahanda tutup usia. Kesedihan menimpaku, kehilangan ayah menjadi momen paling berat yang aku alami. Namun aku harus menerima kepergian ayah, dan aku akan berusaha sebaik mungkin memimpin Yogyakarta.

  Sejak ayahanda wafat, kekuasaan Keraton Yogyakarta diambil alih oleh Gubernur Lucian Adam agar tidak terjadi kekosongan kekuasaan. Selanjutnya Gubernur L. Adam membentuk panitia yang memiliki 5 anggota yang diketuai olehku. Pada saat itu aku berusia 27 tahun yaitu usia paling muda diantara paman dan saudara-saudaraku dan aku belum memiliki gelar pangeran sebagaimana lainnya. Kelima anggota tersebut adalah diriku yang menjabat sebagai ketua, sedangkan anggotanya terdiri dari G.P.H. Mangkukusumo, G.P.H. Tejokusumo, Puruboyo serta Pangeran Hangabehi. Aku dipilih sebagai ketua karena sesuai dengan keinginan Sultan HB VIII agar aku menggantikan kedudukannya sebagai Sultan. Namun demikian urusan suksesi kepemimpinan tergantung pada pemerintah Hindia Belanda yang selalu ditandai dengan adanya penandatanganan kontrak politik.

   Kontrak politik yang diajukan oleh pihak Belanda, benar-benar membuatku dan Gubernur L. Adam terlibat perdebatan panjang dan sangat lama. Kontrak politik memang selalu merugikan pihak Kesultanan, namun hal ini tetap saja diterima oleh para raja yang akan naik tahta, karena tekanan Belanda yang kuat dan mustahil untuk bermusuhan secara terbuka.

   Setelah 4 bulan tidak menghasilkan kesepakatan apapun, aku tiba-tiba berubah pikiran. Hal itu yang membuat begitu mengherankan diplomat senior Belanda tersebut karena aku bersedia menerima semua usulan Dr. Lucien Adams. Keputusan itu berdasar bisikan yang menyuruhku menandatangani saja kesepakatan yang diajukan karena Belanda tidak lama lagi akan pergi dari bumi Mataram.

   Satu minggu setelah naskah perjanjian politik ditandatangani, diadakan penobatanku menjadi Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Hari bersejarah tersebut jatuh pada hari Senin Pon tanggal 8 Sapar tahun Jawa Dal 1871 bertepatan dengan tanggal 18 Maret 1940.  Dalam prosesi penobatan ini aku mengucapkan pidato,

   "Sepenuhnya saya menyadari bahwa tugas yang ada dipundak saya adalah sulit dan berat, terlebih-lebih karena ini menyangkut mempertemukan jiwa Barat dan Timur agar dapat bekerja sama dalam suasana harmonis, tanpa yang Timur harus kehilangan kepribadiannya. Walaupun saya telah mengenyam pendidikan Barat yang sebenarnya, namun pertama-tama saya adalah dan tetap adalah orang Jawa. Maka selama tak menghambat kemajuan, adat akan tetap menduduki tempat yang utama dalam Keraton yang kaya akan tradisi ini. Izinkanlah saya mengakhiri pidato saya ini dengan berjanji, semoga saya dapat bekerja untuk memenuhi kepentingan Nusa dan Bangsa, sebatas pegetahuan dan kemampuan yang ada pada saya."

   Para pejabat belanda terkejut mendengar pidatoku. Isi pidato tersebut menunjukkan bahwa aku tetap memegang budaya Jawa, meskipun aku telah lama mengenyam pendidikan di negeri Belanda. Sebagai pewaris budaya, aku tidak ingin menghapuskan kepercayaan masyarakat yang memiliki daya magis, meskipun pengertian kepercayaan itu yang telah menjadi tradisi masyarakat mengalami perubahan.

   Penobatanku mendatangkan harapan baru bagi seluruh masyarakat. Bahkan para cerdik pandai atau kaum intelektual di seluruh tanah air menaruh harapan padaku. Masyarakat sudah membaca di media massa bahwa aku bersikap tepat dan tabah selama perundingan politik dalam menghadapi tekanan Belanda itu. Masyarakat juga sudah mendengar riwayat hidupku yang berpandangan cukup maju dan modern, karena sudah sembilan tahun menekuni ilmu di negeri Belanda sendiri.

   Dua bulan sesudah hari penobatan, aku dihadapkan pada peristiwa sejarah baru, yakni pendudukan Jerman atas Belanda pada tanggal 10 Mei 1940. Kondisi ini disusul dengan  serangan Jepang terhadap Amerika Serikat melalui pemboman Pearl Harbour, pangkalan Angkatan Laut AS yang terbesar di Pasifik. Selanjutnya pemerintah Hindia Belanda menyatakan perang terhadap Jepang. Tanggal 1 Maret 1942 satuan tentara Jepang mulai mendarat di Jawa Barat dan Jawa Tengah, hingga akhirnya pada tanggal 5 Maret 1942 berhasil memasuki Kota Yogyakarta.

   Dengan menyerahnya pemerintah Hindia Belanda kepada Jepang, maka praktis Yogyakarta juga berada dibawah kekuasaan Jepang. Pada zaman pendudukan Jepang, aku dan Paku Alam mendapat perlakuan istimewa. aku dan Sri Paku Alam ditetapkan menjadi Ko (Raja), masing-masing memimpin pemerintahannya sendiri dengan segala hak istimewanya yang dimiliki sebelumnya.

   Semenjak Jepang menguasai Yogyakarta, aku memerintahkan Pepatih Dalem untuk berkantor di Keraton. Dengan demikian maka pihak penjajah Jepang jika ingin mengadakan hubungan denganku tidak perlu melalui Pepatih Dalem. Hal ini dilakukan agar Jepang tidak bisa mengadu dombaku dengan Pepatih Dalem.

   Untuk lebih memperkecil peranan dan kekuasaan Pepatih Dalem, maka aku membagi Pemerintah Kasultanan dalam jawatan-jawatan yang diberi nama Paniradya, yang masing-masing dikepalai oleh seorang kepala Jawatan yang diberi nama Paniradyapati. Dengan adanya jawatan-jawatan ini maka peranan Pepatih Dalem telah tergantikan oleh kepala Jawatan yang membidangi urusannya masing-masing. Sekilas akan nampak bahwa aku memahami betul birokrasi pemerintahan tradisional dengan membentuk semacam Jawatan atau Departemen. Hal tersebut tentu saja hasil dari ketekunannya selama menempuh pendidikan di negeri Belanda.

Aku berhasil mematahkan politik penjajah yang mempergunakan Pepatih Dalem sebagai alat untuk mengabdi kepada kepentingan penjajah dan untuk diadu domba denganku untuk kepentingan penjajah. Aku menghapus fungsi Pepatih Dalem dan aku sendiri berkantor di Kepatihan untuk melakukan kekuasaan Pepatih Dalem dalam memerintah sendiri daerahnya yaitu Kasultanan Yogyakarta. Dengan demikian maka langkah politik dari aku ternyata tepat sekali untuk dapat menghadapi saat-saat Proklamasi Kemerdkaan Republik Indonesia kelak.

   17 Agustus 1945, dengan dikumandangkannya proklamasi oleh Soekarno dan Moh. Hatta, aku segera mengambil sikap. Dua hari setelah proklamasi, aku mengirim telegram ucapan selamat kepada para proklamator. Dua minggu setelahnya, tepatnya tanggal 5 September 1945, aku bersama Paku Alam VIII, mengeluarkan maklumat yang menyatakan bahwa daerah Yogyakarta adalah bagian dari wilayah Republik Indonesia.

    Ketika negara yang baru lahir ini menghadapi tekanan dari pemerintah kolonial yang datang kembali, aku mengundang para tokoh bangsa untuk pindah ke Yogyakarta. Aku menyatakan bahwa Yogyakarta siap menjadi ibukota negara Republik yang baru berdiri tersebut.

   Peranku terhadap republik juga ditunjukkan melalui dukungan finansial. Selama pemerintahan republik berada di Yogyakarta, segala urusan pendanaan diambil dari kas keraton. Hal ini meliputi gaji Presiden/ Wakil Presiden, staff, operasional TNI hingga biaya perjalan dan akomodasi delegasi-delegasi yang dikirim ke luar negeri. Aku sendiri tidak pernah mengingat-ingat berapa jumlah yang sudah dikeluarkan. Bagiku hal ini sudah merupakan bagian dari perjuangan. Bahkan aku memberi amanat kepada penerusku untuk tidak menghitung-hitung apalagi meminta kembali harta keraton yang diberikan untuk republik tersebut.

   Pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda melakukan serangan Agresi Militer II dan sasaran pernyerbuaanya adalah Ibu Kota Yogyakarta. Terjadi peperangan sampai terjadi perang dingin. Presiden Soekarno dan wakil Presiden Mohammad Hatta, Sultan Syahrir dan yang lainnya ditangkap oleh Belanda. Namun aku sendiri tidak, dikarenakan kedudukanku yang istimewa. Pihak Belanda mengajakku untuk bekerja sama, tapi aku menolak ajakan tersebut.

   Aku dan Sri Paku Alam menulis surat yang berisi bahwa diriku melepaskan jabatan sebagai kepala Daerah Istimewa Yogyakarta. Kemudian aku menghubungi Panglima besar Jendral Sudirman, untuk membantuku melakukan serangan kepada  Belanda yang berada di Yogyakarta. Setelah itu aku menghubungi Letkol untuk menjadi pemimpin untuk melawan Belanda.

   Pertempuran Agresi Militer Belanda II telah banyak memakan korban jiwa dan kerusakan masif bagi Indonesia. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendesak agar segera dilakukan perundingan damai secepat mungkin. Akhirnya tanggal 7 Mei 1949, Agresi Militer Belanda II berakhir dengan ditandatanganinya perjanjian Roem-Royen.

   Pada tahun 1949 ketika Soekarno-Hatta beserta seluruh jajaran staff  kabinet RI harus kembali ke Jakarta, aku menyampaikan pesan perpisahan dengan sangat berat hati, "Yogyakarta sudah tidak memiliki apa-apa lagi, silakan lanjutkan pemerintahan ini di Jakarta". Demikianlah aku menjalankan sabda pandita ratu, sesuai telegram yang kukirim dua hari setelah proklamasi, bahwa aku "sanggup berdiri di belakang pimpinan Paduka Yang Mulia".

   Saat itu, Indonesia sedang mengalami fase pasang surut. Di ujung berakhirnya era Orde Lama,  ketika Soeharto mengambil alih kendali pemerintahan, kepercayaan negara-negara dunia kepada Indonesia sedang berada di titik terendah. Tak satupun pemimpin dunia yang mengenal Soeharto.  Indonesia sebagai negara juga sedang dijauhi karena sikap anti-asing yang sangat kuat di era akhir Order Lama. Di saat seperti ini, aku pun menyingsingkan lengan bajuku, keliling dunia untuk meyakinkan para pemimpin negara-negara tetangga bahwa Indonesia masih ada, dan aku tetap bagian dari negara inu. Dengan demikian kepercayaan internasional pelan-pelan dapat dipulihkan kembali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun