Mohon tunggu...
Iwan Setiawan
Iwan Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Menulis untuk Indonesia

Pustakawan, dan bergiat di pendidikan nonformal.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Skripsi yang Tinggal Selangkah

12 Mei 2023   16:13 Diperbarui: 12 Mei 2023   16:15 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi daftar periksa skripsi (pixabay.com)

Saat itu, dunia dilanda pandemi. Virus ganas Corona, yang kemunculannya terbilang baru, menyerang dengan digdaya. Korban berjatuhan di tiap belahan dunia. Roda kehidupan tersendat. Banyak sektor dalam kehidupan mengalami goncangan. Lantas, tata kehidupan baru pun muncul. Satu upaya bertahan agar roda kehidupan terus bergelinding.

Dunia pendidikan jadi satu sektor yang terguncang. Praktik sistem pendidikan tatap muka yang telah berjalan sekian lama seketika terhenti. Sekolah-sekolah menutup pintu rapat-rapat dari kehadiran siswa, guru, dan siapa pun. Begitu pula dengan kampus dan kantor. Segala bentuk kegiatan pertemuan ditiadakan. Upaya agar virus tidak berkembang, bersimaharaja, menyerang korban tanpa belas kasihan.

Kegiatan pembelajaran dipindahkan ke rumah. Perangkat teknologi internet, yang kemunculannya jadi penanda era dunia yang baru serta merta jadi tumpuan. Menjadi jembatan yang menghubungkan jutaan siswa dengan guru-guru mereka. Mashasiswa dengan dosen.  Dan para pekerja dengan lingkungan tempat mereka bekerja.

**

Aku mengusap lembut rambut Tiara. Di hadapannya menyala laptop tua, perangkat yang kuberi sejak ia  duduk di bangku SMA. Nyala layarnya tak lagi seterang dulu. Nyala yang begitu tergantung pada sumber listrik, tidak lagi pada baterai yang melekat di punggungnya.

"Bagaimana skripsimu, Neng?"

"Lagi persiapan sidang proposal, Pah. Bu Erna pembimbingku menyetujui tema yang kuajukan tempo hari. Ia mendorong agar Ara selekasnya mengajukan usulan untuk sidang proposal."

Aku menarik nafas lega. Gadis kecilku sepertinya tak mendapat kesulitan. Kegiatannya tampak baik-baik saja. Proposal skripsinya sudah disetujui dosen yang begitu lekat dengannya. Bukan sekali dua kali ia terlibat dalam pekerjaan bersama sang dosen.

Kedekatan itu bertambah dengan kehadiranku. Pada setiap awal semester, aku menghadap dosen baik hati itu guna mendapat rekomendasi keringanan biaya kuliah. Bu Erna adalah dosen wali bagi Ara.

Air mata selalu tak kuasa kutahan. Namun senantiasa kusembunyikan dari pandangan Ara. Aku tak tega melihatnya mondar-mandir pergi ke kampus, kantor kelurahan, dan kantor kecamatan. Mengurus segala persyaratan agar dihitung sebagai mahasiswa penerima keringanan biaya UKT, Uang Kuliah Tunggal di kampusnya. "Semestinya kau tidak melakukannya, anakku. Andai saja aku tergolong orang tua yang berkecukupan", batinku.

Penghasilanku sebagai sopir di satu keluarga, jauh dari cukup untuk bisa menyediakan menu makan yang baik bagi Ai istriku, Ara, dan dua adiknya. Penghasilan yang kecil itu masih juga kubagi untuk membayar listrik, air, dan uang saku ala kadarnya bagi mereka. Bagaimana bisa bila uang gaji yang sedikit itu masih juga kusisihkan untuk membayar uang kuliah? Namun, kasih sayang Tuhan jauh lebih besar. Ada saja jalan bagiku mendapat rezeki menutupi kebutuhan harian.

Ara anak yang baik. Ia memahami kesulitanku yang tertatih-tatih membiayai uang kuliahnya. Pernah satu waktu, ia menyodorkan amplop yang masih belum terbuka lem penutupnya. "Pakai uang ini saja Pah untuk membayar UKT".

Di kali yang lain ia pulang kuliah dengan wajah cerah. Dipanggilnya kedua adik serta kami berdua ke ruang tengah. Ia menyerahkan kantong plastik berisi pensil, spidol, penyerut dan karet penghapus kepada kedua adiknya. Ia menyerahkan kantong plastik lain untuk kami buka. Di dalamnya terdapat kue-kue, dan minuman kopi kemasan. Rupanya ia baru usai membantu dosennya beres-beres berkas untuk pindah ruangan.

**

"Coba disusul ke kampus, Pah. Sudah hampir jam sepuluh Ara belum pulang", kata istriku, Ai.

"Tunggu sebentar biar hujannya sedikit reda."

Kecemasan kami tentu saja demikian besar. Kami khawatir pada keselamatan Ara. Keadaan Pandemi yang belum tampak akan usai menghantui pikiran. Kami takut Ara terkena virus mematikan itu. Kami tak ingin ia masuk bangsal rumah penampungan tempat isolasi penderita Covid-19. Saat itu orang yang terjangkit ramai dikirim ke sana. Berduyun mereka datang, seperti hendak mengunjungi mall di masa normal.

Kami pun khawatir ia mengalami nasib seperti pamannya, Sukman. Atau temannya semasa SMA, Khusnul yang tak dapat diselamatkan dari gempuran wabah ini. Berbagai ketakutan menghinggapi benak aku dan istriku.  

"Ke mana aku menyusulnya?"

"Ke tempat biasa. Tadi ia pamit untuk berkonsultasi dengan Pak Peter. Bu Erna lagi tugas di luar sampai minggu depan. Habis itu Ara akan wawancara ke berbagai tempat, mengumpulkan bahan skripsinya."

Aku menyalakan mesin Si Hitam, satu-satunya motor milik keluarga. Mencari Ara di tengah situasi pandemi tentu tidaklah mudah. Banyak badan jalan permukiman yang ditutup warga. Membatasi pergerakan manusia yang ditengarai sebagai pembawa virus mematikan itu. Menuju tempat Ara berada mesti muter-muter jalan.  

Aku tak habis pikir. Pada pusaran kasus penderita yang senantiasa menanjak, masih saja ada instansi yang tak mengendurkan kegiatannya. Sukman terjangkit Covid sepulang ia berdinas ke luar kota. Ia menunaikan kewajibannya sebagai tenaga fungsional di kantornya yang mengurusi soal anggaran. Lain lagi dengan Khusnul yang bekerja sebagai tenaga medis. Keduanya menyerah pada terjangan virus corona. Kami tak ingin, bahkan membayangkan pun tidak, hal yang sama terjadi pada Ara, gadis kecil kami.

"Saya mencari anak saya. Waktu pamit, ia mengatakan pergi ke sini"    

"Semua ruangan telah terkunci, Pak. Saya pastikan tidak ada orang di gedung ini"

Jawaban petugas keamanan yang telah kukenal baik itu menambah kekhawatiran yang bercokol dalam hati. Ara tidak kujumpai di tempat biasa ia berada. Di studio arsitektur milik kampusnya ini. Aku berpikir untuk mencoba menghubungi Sania, teman sekampus Ara. Namun nihil, ia tak mengangkat panggilanku sebagaimana yang terjadi pada Ara.

Aku memutuskan untuk kembali ke rumah. Dalam gelap malam yang semakin larut tidaklah mudah menelisik setiap jengkal tanah untuk mencari Ara gadis kecilku. Aku susuri kawasan seputar Jalan Setiabudi dengan hati menangis. Aku tinggalkan Kampus kebanggaan Ara, UPI dengan lara. Semoga tak terjadi hal buruk padamu, Ara.

**

Permukaan meja di kamar Ara dipenuhi buku, diktat kuliah, dan  buku catatan. Laptop Ara pun teronggok dengan layar tertutup. Kubayangkan sosok Ara yang duduk di kursi besi menghadap meja. Tubuhnya yang tinggi membuat punggungnya terlihat seperti melengkung saat ia duduk.

Kubuka-buka buku catatan milik Ara. Tertera outline skripsi yang tengah ia susun. Sejumlah poin telah ia beri penanda centang, pertanda poin-poin itu telah selesai ia kerjakan. Tinggal poin-poin dengan bunyi tulisan: cari data, studi pustaka, uji hipotesis, dan revisi yang  menyisakan ruang untuk diberi tanda centang. Entah, poin-poin ini telah ia garap atau menunggu waktu untuk ia selesaikan.

Aku memutar-mutar di kamar Ara dengan perasaan sedih. Hari itu genap seminggu kamar ini tak bertuan. Ara belum kembali sejak kepergiannya tempo hari. Kehilangan ini telah kulaporkan kepada pihak yang berwenang. Polisi menerima laporan yang ku buat dan menyatakan akan menindak lanjutinya sesegera mungkin.

Tak ada yang bisa kulakukan selain pasrah pada Tuhan. Berserah diri terhadap takdir yang ia beri. Ara adalah permata hati kami. Harapan terindah kami pada sosok dewi yang kelak akan mengangkat kehidupan keluarga.

Kini, sosok dewi itu menjauh. Ia tak lagi berada di tengah-tengah kami. Padahal, tinggal selangkah ia menuntaskan skripsinya. Tinggal selangkah ia membawa kami merengkuh derajat kehidupan yang lebih baik. Satu tekad yang ia rawat sejak lama.

   

 

 

.     

 

  

  

     

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun