Mohon tunggu...
Iwan Setiawan
Iwan Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Menulis untuk Indonesia

Pustakawan, dan bergiat di pendidikan nonformal.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Skripsi yang Tinggal Selangkah

12 Mei 2023   16:13 Diperbarui: 12 Mei 2023   16:15 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi daftar periksa skripsi (pixabay.com)

Penghasilanku sebagai sopir di satu keluarga, jauh dari cukup untuk bisa menyediakan menu makan yang baik bagi Ai istriku, Ara, dan dua adiknya. Penghasilan yang kecil itu masih juga kubagi untuk membayar listrik, air, dan uang saku ala kadarnya bagi mereka. Bagaimana bisa bila uang gaji yang sedikit itu masih juga kusisihkan untuk membayar uang kuliah? Namun, kasih sayang Tuhan jauh lebih besar. Ada saja jalan bagiku mendapat rezeki menutupi kebutuhan harian.

Ara anak yang baik. Ia memahami kesulitanku yang tertatih-tatih membiayai uang kuliahnya. Pernah satu waktu, ia menyodorkan amplop yang masih belum terbuka lem penutupnya. "Pakai uang ini saja Pah untuk membayar UKT".

Di kali yang lain ia pulang kuliah dengan wajah cerah. Dipanggilnya kedua adik serta kami berdua ke ruang tengah. Ia menyerahkan kantong plastik berisi pensil, spidol, penyerut dan karet penghapus kepada kedua adiknya. Ia menyerahkan kantong plastik lain untuk kami buka. Di dalamnya terdapat kue-kue, dan minuman kopi kemasan. Rupanya ia baru usai membantu dosennya beres-beres berkas untuk pindah ruangan.

**

"Coba disusul ke kampus, Pah. Sudah hampir jam sepuluh Ara belum pulang", kata istriku, Ai.

"Tunggu sebentar biar hujannya sedikit reda."

Kecemasan kami tentu saja demikian besar. Kami khawatir pada keselamatan Ara. Keadaan Pandemi yang belum tampak akan usai menghantui pikiran. Kami takut Ara terkena virus mematikan itu. Kami tak ingin ia masuk bangsal rumah penampungan tempat isolasi penderita Covid-19. Saat itu orang yang terjangkit ramai dikirim ke sana. Berduyun mereka datang, seperti hendak mengunjungi mall di masa normal.

Kami pun khawatir ia mengalami nasib seperti pamannya, Sukman. Atau temannya semasa SMA, Khusnul yang tak dapat diselamatkan dari gempuran wabah ini. Berbagai ketakutan menghinggapi benak aku dan istriku.  

"Ke mana aku menyusulnya?"

"Ke tempat biasa. Tadi ia pamit untuk berkonsultasi dengan Pak Peter. Bu Erna lagi tugas di luar sampai minggu depan. Habis itu Ara akan wawancara ke berbagai tempat, mengumpulkan bahan skripsinya."

Aku menyalakan mesin Si Hitam, satu-satunya motor milik keluarga. Mencari Ara di tengah situasi pandemi tentu tidaklah mudah. Banyak badan jalan permukiman yang ditutup warga. Membatasi pergerakan manusia yang ditengarai sebagai pembawa virus mematikan itu. Menuju tempat Ara berada mesti muter-muter jalan.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun