Mohon tunggu...
Ivon Putri Dinita
Ivon Putri Dinita Mohon Tunggu... Mahasiswa FISIP Universitas Brawijaya

Saya Ivon Dinita seorang mahasiswa Ilmu Politik FISIP Universitas Brawijaya yang antusias dalam membahas fenomena politik, seni, dan budaya. Saya percaya bahwa setiap gagasan adalah benih diskusi. Melalui tulisan-tulisan di Kompasiana, saya ingin menjadi penyambung suara yang memantik perspektif baru di kalangan Kompasianer. Menu sajian saya sederhana dilengkapi informasi yang ringan, mudah dipahami, dan menggugah nalar, agar setiap pembaca mudah mencerna. Mari bersama-sama belajar, berdialog, dan memperkaya wawasan bersama!

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Ketika Dunia Digital Berteriak: Kenapa KPI Perlu Meluaskan Sayap Pengawasan?

1 Juli 2025   16:50 Diperbarui: 1 Juli 2025   17:04 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pernahkah Anda merasa cemas saat melihat banjir informasi di media sosial? Hoaks menyebar cepat, ujaran kebencian bertebaran, dan konten yang tidak pantas begitu mudah diakses, bahkan oleh anak-anak. Saat ini kita berhadapan dengan kesenjangan besar: Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), yang tugasnya mengawasi tayangan, seolah hanya bisa melihat dari jauh. Mereka hanya memiliki wewenang atas TV dan radio, berdasarkan undang-undang yang sudah berusia puluhan tahun-tepatnya UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002. Jika diibaratkan seperti mengarahkan senter ke arah matahari, tidak banyak gunanya di tengah terang benderang dunia digital.

Kita semua tahu, konsumsi tontonan dan hiburan sudah banyak berubah. Anak-anak zaman sekarang lebih akrab dengan YouTube, TikTok, atau Netflix daripada siaran televisi. Namun, justru di platform digital inilah konten-konten tanpa filter bisa beredar bebas. Hal ini menimbulkan kekhawatir, terutama para orang tua yang ingin melindungi anaknya dari dampak buruk. Bayangkan saja, negara lain seperti Australia dan Jerman sudah punya aturan yang jauh lebih maju, mereka sudah menyatukan pengawasan media lama dan baru dalam satu kerangka hukum nasional yang ketat. Mereka punya cara cepat untuk menghapus konten negatif. Sementara di Indonesia? Revisi undang-undang kita masih jalan di tempat, bikin kita makin tertinggal jauh dalam soal perlindungan di ruang digital.

Kurangnya aturan yang jelas ini menciptakan lubang besar dalam pengawasan. KPI tidak dapat langsung ikut campur urusan konten di media sosial atau platform streaming. Akhirnya, tugas ini lebih banyak dibebankan ke Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi). Komdigi memang bisa memblokir situs, tapi itu seperti memadamkan api satu per satu saat hutan sudah terbakar. Ini tidak efektif untuk masalah konten yang terus-menerus muncul. Makanya, muncul kekhawatiran besar: kalau konten digital tak terkontrol, bagaimana dengan moral dan karakter generasi muda kita? Oleh karena itu, sudah saatnya KPI punya "taring" di dunia digital. Ini bukan lagi pilihan, tapi keharusan yang mendesak.  

Kenapa Kita Butuh KPI Kuat di Era Digital?

Teknologi digital telah mengubah segalanya. Beberapa tahun yang lalu kita hanya menonton TV atau mendengarkan radio. Sekarang, informasi dan hiburan ada di genggaman tangan. Aturan lama yang hanya bicara soal TV dan radio jadi tidak relevan lagi. KPI saat ini hanya bisa mengawasi apa yang sudah tayang di media konvensional. Padahal, potensi bahaya dari konten digital yang belum diawasi sangat besar.

Memperkuat kewenangan KPI lewat revisi undang-undang sangatlah penting. Dengan aturan yang baru---yang menyatukan pengawasan media lama dan baru---KPI bisa ikut mengawasi platform digital. Tujuannya jelas: melindungi kita semua dari dampak negatif konten internet dan memastikan ekosistem media yang kita miliki jadi lebih sehat dan bertanggung jawab. Kalau tidak, kita akan terus ketinggalan dalam mengatur dunia digital yang bergerak begitu cepat ini.

Bagaimana Menjaga Kebebasan Berekspresi?

Muncul juga kekhawatiran jangan-jangan, kalau KPI punya wewenang lebih luas, akan terjadi sensor berlebihan yang membatasi kita untuk berekspresi. Kita tahu, di masa lalu, stasiun TV sering melakukan sensor berlebihan pada hal-hal kecil, bahkan karakter kartun. Ini bisa membuat tayangan jadi kurang informatif dan membatasi kreativitas.

Lalu, bagaimana caranya agar ini tidak terjadi? Kuncinya ada pada aturan main yang jelas dan transparan. KPI harus lebih banyak membina dan mendidik, daripada langsung memberi sanksi represif. Lewat dialog dan edukasi, pelaku media dan masyarakat bisa paham batasan konten yang sehat.

Untuk itu, perlu ada cara agar masyarakat bisa mengajukan keberatan. Kita bisa membentuk Dewan Etik Digital yang independen, di mana ada perwakilan dari berbagai pihak: akademisi, praktisi media, dan tentu saja masyarakat. Dewan ini bisa jadi penyeimbang. Selain itu, harus ada mekanisme pelaporan yang mudah dan proses banding yang jelas jika konten kita diblokir. Dengan cara ini, pengawasan media baru bisa berjalan seimbang: melindungi kita semua dari bahaya, tanpa mengorbankan hak kita untuk berbicara dan berekspresi.

Pengawasan yang Ideal: Melibatkan Semua Pihak dan Menggunakan Teknologi Canggih 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun