Mohon tunggu...
Ita Siregar
Ita Siregar Mohon Tunggu... Administrasi - Pengarang. Pemetik cerita. Tinggal di Balige.

Merindu langit dan bumi yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gomer

21 September 2022   06:07 Diperbarui: 21 September 2022   06:30 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Laki-laki itu bergegas, memberi perintah kepada Ben, pembantunya. Kini ia paham arti kedatangan seorang bapak tua yang berjalan kaki puluhan kilometer dari Efraim, hanya untuk memberinya 161 gram perak, 180 liter padi, dan seekor domba jantan muda, dan berkata kepadanya, "Tuhan berkata, kau memerlukannya."  

Ini kali ketiga aku menebus Gomer dari jalanan, batinnya. Istriku. Istri yang meninggalkan suaminya demi laki-laki yang membelikannya pakaian dan perhiasan indah dari kapal-kapal Tarsis, dan rempah ratu-ratu Mesir. 

"Lihatlah, Hosea! Aku bukan perempuanmu. Aku tak cukup menjadi ibu anak-anakmu. Tubuhku tak sanggup setia kepadamu. Biarkan aku pergi," kata-kata Gomer tiap kali pergi meninggalkannya.

Kata-kata itu memang pedih namun tak pernah  menusuk hatinya hingga luka. Gomer, aku mencintaimu bukan karena kecantikanmu. Aku mencintaimu apa pun dirimu. Mengertikah kau dengan cinta semacam itu, Gomer?  

Tuhan telah jatuh hati kepadamu. Kau adalah embun pagi yang sejuk. Bunga bakung yang indah. Mawar yang menjulurkan akarnya dengan kuat dan ranting-rantingnya merambat tinggi ke langit. Kau takkan dilupakan, Gomer. Relakan dirimu subur seperti kebun yang dirawat pemiliknya.  

"Tuan!" Ben mengagetkan lamunannya. 

Mereka sudah tiba di mulut pasar. Matahari sudah turun, membayang dua puluh sentimeter dari kepala. Mata Ben memandang ke satu arah. 

Di sana, seorang laki-laki kerempeng berwajah keras berteriak seperti orang gila, mengobral perempuan nyaris telanjang yang tak lagi memuaskan, namun tubuhnya masih berguna menjadi budak di ladang atau selimut malam, kapan pun diperlukan. Ia meneriakkan sejumlah harga yang lebih rendah daripada seekor keledai dungu yang sekarat. 

Mulut pedagang itu berhenti mengoceh ketika sekantong perak disodorkan ke tangannya dan dua karung padi didekatkan ke kakinya. 

"Perempuan ini istriku. Aku datang untuk menebusnya. Sekantong perak dan dua karung padi ini cukup untuk menghidupimu setahun, dan membayar biaya yang sudah kaukeluarkan untuk memberi makan istriku selama ini," ucap laki-laki berjubah di depannya.

Pedagang itu tertegun. Peluhnya belum mengering saat kantong perak itu berpindah tangan. Ia menyaksikan laki-laki berjubah itu mendekati perempuan yang dijualnya, yang bahkan ia tak tahu namanya, dan berkata kepadanya, "Mari kita pulang." 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun