"Tidak, Kak. Jangan bilang Ayah!" sela adik perempuannya.
Yizrel menoleh, membentak, "Uma, Ayah harus tahu. Karena Ibu, keluarga kita selalu jadi bahan olokan. Mau kau kita begitu terus?" Â
Sang Ayah dengan sabar menunggu kedua anaknya selesai berurusan.
"Ibu di pasar, Ayah. Pakaiannya buruk. Aku malu melihatnya!" sentak Yizrel.Â
Mata Uma kini berlinangan air mata. Â "Lakukan sesuatu, Ayah. Jemput Ibu!" tangisnya.
"Tidak, Uma. Jangan, Ayah! Ibu akan meninggalkan kita lagi. Dia tidak sayang kepada kita," teriak Yizrel kesal. Wajahnya mengeras.Â
Sang Ayah memandang putra sulungnya dengan hati masygul. Mata anak itu pun berkilat karena berisi air mata. Ah, hatinya yang tak pandai menipu. Ia pun merindukan ibunya.Â
"Yizrel, darimana kau tahu Ibu tak sayang kita? Ibu selalu mengingat kita meski tak bersama kita, Ayah yakin itu. Dan sekarang Ayah akan menjemput Ibu. Kali ini Ibu takkan pergi. Dan takkan ada lagi orang yang mengolok-olok kita. Kau yakin itu?" kata sang Ayah lembut.
Yizrel membuang air matanya, mengangguk. Ia tahu ayahnya tak pernah berbohong.Â
"Anakku, kalau orang menyakiti kita, kita harus memaafkan orang itu sebanyak tujuh kali tujuh puluh kali tujuh. Siapa pun dia, apa pun kesalahannya. Termasuk Ibu. Nah, sekarang jaga adik-adikmu. Ayah akan menjemput Ibu," kata ayahnya sambil memandang Ami, si anak  kenangan yang usia dua tahunnya mengingatkan kepergian ibunya.Â
Ami yang malang. Tanpa air susu ibu. Namun ia bayi yang periang. Â